Makalah Perkembangan Sosial-Emosional Anak Sekolah Dasar Kelas Rendah ini bisa menjadi sumber rujukan bagi pembaca dalam memahami pola perkembangan anak.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami penjatkan kehadirat Alloh SWT, yang atas rahmat-Nya kami
dapat menyelesaikan penyusunan makalah Perkembangan Peserta Didik “Perkembangan Sosial - Emosional Anak Sekolah Dasar Kelas Rendah”.
Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Perkembangan Peserta Didik di Universitas Muria Kudus.
Dalam penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan, baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.
Aamiin…..
DAFTAR
ISI
Halaman
Kata Pengantar........................................................................................
i
Daftar Isi..................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..........................................................................................
1
B. Perumusan Masalah...................................................................................
2
C. Tujuan Penulisan....................................................................................... 2
D. Metode Penulisan......................................................................................
2
E. Manfaat Penulisan.....................................................................................
3
F. Sistematika
Penulisan................................................................................
3
BAB II PEMBAHASAN
A. Makna Perkembangan Sosial.....................................................................
4
B. Bentuk-Bentuk Tingkah Laku Sosial
pada Anak......................................
6
C. Hubungan Pertemanan (Rekan Sebaya)....................................................
8
D. Perkembangan Identitas Diri (Self Identity)............................................... 11
E. Implikasi Terhadap Kegiatan
Pembelajaran..............................................
15
F. Konsep
Kemandirian.................................................................................
17
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan................................................................................................
20
B. Saran..........................................................................................................
21
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................
22
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Suatu perubahan kehidupan yang cukup esensial pada anak usia
SD adalah semakin meluasnya lingkungan pergaulan. Sejak memasuki lembaga
pendidikan pra-sekolah atau taman kanak-kanak, anak memperoleh perluasan yang
sangat berarti dalam jangkauan interaksi sosialnya. Kalau semula ia hanya
bergaul dengan lingkungan keluarga dan teman sebaya yang ada di sekitar
rumahnya maka sekarang ia mulai mengenal guru dan teman-tema sekelasnya.
Semakin luas dan kompleksnya lingkungan pergaulan anak
tersebut adalah suatu proses kehidupan yang wajar dalam arti merupakan suatu
tugas perkembangan yang secara normal perlu dijalani oleh anak. Bukan hanya
tuntutan lingkungan yang membuat anak berperilaku seperti itu, tetapi perkembangan
internal pribadi anak sendiri sendiri juga mendorongnya untuk semakin
memperluas lingkup pergaulannya. Secara internal, dalam diri anak juga terjadi
perubahan-perubahan yang mendorongnya untuk lebih interest terhadap interaksi
pertemanan dan pergaulan sosial yang lebih luas. Dikuasaina berbagi perangkat
keterampilan fisik dan bahasa serta semaki berkurangnya ketergantungan kepada
pihak orang tua. Mendorong anak untuk memperluas lingkup interaksi sosialnya.
Begitu pula, pengalamna-pengalaman menyenangkan yang didapat dari hubunga teman
sebaya semain menumbuhkan minat anak utuk memperluas lingkungan pergaulannya.
Sesuai dengan kekhasan perkembangan
sosial dan pribadi anak di atas, ada beberapa aspek esensial yang perlu
dipahami oleh calon guru SD, yakni berkenaan dengan perkembangan emosi,
hubungan pertemanan, dan perkembangan identitas diri. Pemahaman tentang aspek
perkembangan anak tersebut diharapkan dapat membantu dalam merancang suasana
lingkungan belajar yang kondusif bagi perkembangan sosial-pribadi anak.
Manfaat lain yang dapat diperoleh
dengan memahami perkembangan sosial-pribadi anak adalah memberikan landasan
konseptual dalam menentukan alternatif perlakuan pendidikan terhadap anak didik
yang sesuai dengan perkembangannya. Dengan demikian, guru diharapkan akan bisa
menjadi fasilitator perkembangan sosial-pribadi anak.
B. Perumusan
Masalah
Dari latar belakang di atas, penulis
merumuskan beberapa masalah yang berkaitan dengan perkembangan sosial dan
konsep kemandirian, yakni:
1. Apakah makna dari perkembangan
sosial?
2. Bagaimana bentuk-bentuk tingkah laku
sosial pada anak SD?
3. Bagaimana hubungan pertemanan anak SD dengan
teman sebayanya?
4. Bagaimana
perkembangan identitas diri anak pada usia SD?
5. Apa implikasi
dari perkembangan sosial bagi perkembangan lingkungan belajar yang kondusif?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Memberikan
informasi mengenai makna dari perkembangan sosial.
2. Memberikan
informasi mengenai bentuk-bentuk tingkah laku sosial pada anak usia SD.
3. Memberikan
informasi mengenai hubungan pertemanan pada anak usia SD.
4. Memberikan
informasi mengenai perkembangan identitas diri anak pada usia SD.
5.
Memberikan
informasi mengenai lingkungan belajar yang kondusif bagi perkembangan
sosial-pribadi anak.
D. Metode
Penulisan
Untuk
mendapatkan data dan informasi yang diperlukan, penulis menggunakan metode
studi kepustakaan atau teknik studi pustaka. Yakni dengan menganalisis dan
menelaah buku-buku khususnya yang berhubungan dengan Perkembangan Sosial dan
Kemandirian Anak Sekolah Dasar.
E. Manfaat
Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini adalah:
1.
Pembaca,
khususnya mahasiswa calon guru mengetahui makna dari perkembangan sosial.
2. Pembaca,
khususnya mahasiswa calon guru mengetahui bentuk-bentuk tingkah laku sosial
pada anak usia SD.
3. Pembaca,
khususnya mahasiswa calon guru mengetahui dan memahami hubungan pertemanan pada
anak-anak usia SD.
4.
Pembaca,
khususnya mahasiswa calon guru mengetahui dan memahami perkembangan identitas
diri pada anak usia SD.
5. Pembaca,
khususnya mahasiswa calon guru mengetahui bagaimana lingkungan belajar yang
kondusif bagi perkembangan sosial-pribadi anak.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna Perkembangan Sosial-emosional
Anak-anak
menjelang masuk SD, telah mengembangkan keterampilan berpikir, bertindak, dan
pengaruh sosial yang lebih komplek. Anak-anak pada usia sekitar ini, pada
dasarnya egosentris dan dunia mereka adalah rumah, keluarga, dan sekolah.
Selama duduk di kelas rendah SD, anak mulai percaya diri tetapi juga sering
rendah diri. Pada tahap ini mereka mulai mencoba membuktikan bahwa mereka
dewasa. Mereka merasa “ saya dapat mengerjakan sendiri tugas itu”.
Konsentrasi
anak mulai tumbuh pada kelas-kelas tinggi SD. Mereka dapat lebih banyak
meluangkan waktu untuk tugas-tugas pilihan mereka, dan sering kali mereka
dengan senang hati menyelesaikannya. Pada tahap ini terjadi tumbuhnya tindakan
mandiri, kerja sama dengan kelompok, dan bertindak menurut cara-cara yang dapat
diterima lingkungan. Mereka juga peduli terhadap permainan yang jujur.
Selama
masa ini anak mulai menilai diri sendiri dengan membandingkannya terhadap orang
lain. Anak-anak lebih mudah menggunakan perbandingan sosial (social
comparison) terutama untuk norma-norma sosial yang sesuai dengan jenis
tingkah laku mereka.
Sebagai
akibat dari perubahan struktur fisik dan kognitif, anak pada kelas tinggi SD
berupaya untuk tampak lebih dewasa. Mereka ingin diperlakukan sebagai orang
dewasa. Pada masa ini tampak perubahan-perubahan yang berarti dalam kehidupan
sosial dan emosional mereka. Di kelas tinggi SD anak laki-laki dan perempuan
menganggap keikutsertaan dalam kelompok menumbuhkan perasaan bahwa dirinya
berharga. Teman-teman mereka menjadi lebih penting dari pada sebelumnya. Mereka
menyatakan kesetiakawanan dengan anggota kelompok teman sebaya melalui pakian
atau prilaku.
Hubungan
antara anak dan guru sering berubah. Di awal-awal tahun kelas tinggi SD,
hubungan ini menjadi lebih komplek. Ada siswa yang menceritakan informasi
pribadi kepada guru, tetapi tidak menceritakan kepada orang tuanya. Beberapa
anak pra remaja memilih guru mereka sebagai model. Sementara itu ada anak
membantah guru dengan cara-cara yang tidak dibayangkan seperti sebelumnya.
Bahkan beberapa anak secara terbuka menentang gurunya.
Salah satu
tanda mulai munculnya perkembangan indentitas diri anak remaja adalah
reflektivitas, yaitu kecendrungan untuk berpikir tentang apa yang sedang
berkecamuk dalam benak mereka dan mengkaji diri sendiri. Anak remaja mulai
meyakini bahwa ada perbedaan antara apa yang dipikirkan dan rasakan sebagaimana
mereka berprilaku. Mereka mengkritik sifat pribadi mereka, membandingkan diri
mereka dengan orang lain, dan mencoba untuk mengubah pribadinya. Remaja menjadi
lebih sadar atas keunikan mereka dan perbedaannya dibandingkan dengan orang
lain. Mereka belajar bahwa orang lain tidak dapat mengetahui apa yang mereka
pikirkan dan rasakan. Isu perkembangan kepribadian yang dominan pada remaja
adalah “siapa dan apa sebenarnya diriku?”.
Inilah kepedulian utama remaja terhadap indentitas dirinya. Remaja mencapai
indentitas dirinya pada usia 18 tahun sampai 22 tahun.
B. Bentuk-Bentuk Tingkah Laku Sosial
pada Anak
Melalui pergaulan atau hubungan sosial, baik dengan orang
tua, anggota keluarga, orang dewasa lainnya maupun teman bermainnya, anak mulai
mengembangkan bentuk-bentuk tingkah laku sosial, diantaranya sebagai berikut.
1. Pembangkangan (Negativisme)
Pembangkangan yaitu suatu bentuk tingkah laku melawan. Tingkah laku
ini terjadi sebagai reaksi terhadap penerapan disiplin atau tuntutan orang tua
atau lingkungan yang tidak sesuai dengan kehendak anak. Tingkah laku ini mulai
muncul pada kira-kira usia 18 bulan dan mencapai puncaknya pada usai tiga
tahun. Berkembangnya tingkah laku negativisme pada usia ini dipandang pada usia
yang wajar. Setelah usia empat tahun, biasanya tingkah laku ini mulai menurun.
Antara usia empat dan enam tahun, sukap membangkang/melawan secara fisik
beralih menjadi sikap melawan secara verbal (menggunakan kata-kata). Sikap
orang tua terhadap tingkah laku melawan pada usia ini, seyogiyanya tidak memandangnya sebagi
pertanda bahwa anak itu anak nakal, keras kepala, tolol atau sebutan lainnya
yang negatif.
Dalam hal ini, sebaiknya orang tua mau memahami tentang proses perkembangan
anak, yaitu bahwa secara naluriah anak itu mempunyai dorongan untuk berkembang
dari posisi “dependent” (ketergantungan) ke posisi “independent” (bersikap mandiri). Tingkah
laku melawan merupakan salah satu bentuk dari proses perkembangan tersebut.
2. Agresi (aggression)
Agresi yaitu perilaku menyerang balik
secara fisik (nonverbal) maupun kata-kata (vebal). Agresi ini merupakan salah
satu bentuk reaksi terhadap frustrasi (rasa kecewa karena tidak terpenuhi
kebutuhan/keinginannya) yang dialaminya. Agresi ini mewujud dalam perilaku
menyerang, seperti: memukul, mencubit, menendang, menggigit, marah-marah dan
mencaci maki. Orang tua yang menghukum anak yang agresif, menyebabkan
meningkatnya agresivitas anak. Oleh karena itu, sebaiknya orang tua berusaha
untuk mereduksi, mengurangi agresivitas anak tersebut dengan cara mengalihkan
perhatian/keinginan anak, memberikan mainan atau sesuatu yang diinginkannya
(sepanjang tidak membahayakan keselamatannya), atau upaya lain yang bisa
meredam agresivitas anak tersebut.
3. Berselisih/bertengkar (quarreling)
Berselisih/bertengkar terjadi apabila seorang anak merasa
tersinggung atau terganggu oleh sikap dan perilaku anak lain, seperti diganggu
pada saat mengerjakan sesuatu atau direbut barang atau mainannya.
4. Menggoda (teasing)
Menggoda yaitu sebagai bentuk lain dari
tingkah laku agresif. Menggoda merupakan serangan mental terhadap orang lain
dalam bentuk verbal (kata-kata ejekan atau cemoohan), sehingga menimbulkan
reaksi marah pada orang yang disekitarnya.
5. Persaingan (rivarly)
Persaingan yaitu keinginan untuk melebihi orang
lain dan selalu didorong (distimulasi) oleh orang lain. Sikap persaingan ini
mulai terlihat pada usia empat tahun, yaitu persaingan untuk prestise dan pada usia enam tahun,
semangat bersaing ini berkembang dengan lebih baik.
6. Kerjasama (cooperation)
Kerjasama yaitu sikap mau bekerja sama dengan
kelompok. Anak yang berusia dua atau tiga tahun belum berkembang sikap
bekerjasamanya, mereka masih kuat sikap “self-centered”-nya.
Mulai usia tiga tahun akhir atau empat tahun, anak sudah mulai menampakkan
sikap kerjasamanya dengan anak lain.
Pada usia enam atau tujuh tahun, sikap kerja sama ini sudah berkembang
dengan lebih baik lagi. Pada usia ini anak mau bekerja kelompok dengan
teman-temannya.
7. Tingkah laku berkuasa (ascendant behavior)
Tingkah laku berkuasa yaitu sejenis tingkah laku untuk
menguasi situasi sosial, mendominasi atau bersikap “bussiness.” Wujud dari
tingkah lauk ini, seperti: meminta, menyuruh, dan mengancam atau memaksa orang
lain untuk memenuhi kebutuhan dirinya.
8. Mementingkan diri sendiri (selfishness)
Mementingkan diri sendiri yaitu sikap egosentris dalam
memenuhi interest atau keinginannya.
Anak ingin selalu dipenuhi keinginannya dan apabila ditolak, maka dia protes
dengan menangis, menjerit atau marah-marah.
9. Simpati (sympathy)
Simpati yaitu sikap emosional yang mendorong
individu untuk menaruh perhatian terhadap orang lain, mau mendekati atau
bekerja sama dengannya. Seiring dengan bertambahnya usia, anak mulai dapat
mengurangi sikap “selfish”-nya dan
dia mulai mengembangkan sikap sosialnya, dalam hal ini rasa simpati terhadap
orang lain.
Perkembangan sosial anak sangat
dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya, baik orang tua, sanak keluarga, orang
dewasa lainnya atau teman sebayanya. Apabila lingkungan sosial tersebut
memfasilitasi atau memberikan peluang terhadap perkembangan anak secara
positif, maka anak akan dapat mencapai perkembangan sosialnya secara matang.
Namun, apabila lingkungan sosial itu kurang kondusif, seperti perlakuan orang
tua yang kasar; sering memarahi; acuh tak acuh; tidak memberikan bimbingan;
teladan; penagajaran; atau pembiasaan terhadap anak dalam menerapakan
norma-norma, baik agama maupun tatakrama/budi pekerti;cenderung menampilkan
perilaku maladjustment, seperti :
bersifat minder, senang mendominasi orang lain, bersifat egois/selfish, senang mengisolasi
diri/menyendiri, kurang memiliki perasaan tenggang rasa, dan kurang
mempedulikan norma dalam berperilaku.
C. Hubungan Pertemanan (Rekan Sebaya)
Salah satu dimensi dari perkembangan
sosial anak adalah hubungan pertemanan. Hubungan pertemanan ini di tandai
dengan semakin terlibatnya anak dalam aktivitas atau interaksi dengan teman
sebaya.
Ada dua faktor utama yang mendorong
anak untuk membangun hubungan pertemanan yaitu :
1. Menguasai perangkat keterampilan
fisik dan komunikasi sehingga memungkinkan anak untuk lebih memperluas jaringan
hubungan dengan orang lain.
2. Melalui teman sebaya mereka dapat
membangun kultur kelompoknya yang berbeda dengan kultur pergaulan orang dewasa.
Dilihat dari proses perkembangannya,
hubungan pertemanan ini sejalan dengan bertambahnya usia anak. Menurut Hartup dalam Buku Perkembangan Peserta Didik (Vesta et, 1992) dengan semakin
bertambah usia, anak akan lebih banyak menggunakan waktu dengan teman sebayanya
dan relatif sedikit dengan orangtuanya.
Ketika memasuki usia SD, anak lebih
antusias dan lebih banyak terlibat dalam aktivitas-aktivitas bermain yang
bersifat kooperatif (cooperative play).
Intensitas hubungan maupun waktu keterlibatannya mengalami peningkatan. Bentuk
kegiatan bermain anak-anak usia SD lazimnya berlangsung dalam adegan kelompok
yang melibatkan koordinasi dan pencapaian tujuan.
Dilihat dari faktor-faktor yang
memepengaruhinya, ada lima unsur determinan yang memepengaruhi hubungan
pertemanan, yakni:
1. Kesamaan Usia
Unsur ini lebih memungkinkan anak untuk memiliki minat-minat
dan tema-tema pembicaraan atau kegiatan
yang sama sehingga mendorong terjalinnya hubungan pertemanan.
2. Faktor Situasi
Dalam pemilihan permainan, misalnya, di saat berjumlah
banyak anak-anak akan cenderung memilih permainan kompetitif dari pada
permainan kooperatif; aktivitas di ruang terbuka mendorong permainan kooperatif
yang mengguanakan orang atau objek sebagai simbol; dan seterusnya.
3. Keakraban
Kolaborasi dalam pemecahan masalah lebih baik dan efisien
bila dilakukan oleh anak di antara teman sebaya yang akrab. Keakraban ini jug
mendorong munculnya perilaku yang kondusif bagi terbentuknya persahabatan.
4. Ukuran Kelompok
Bila jumlah anak dalam kelompok hanya sedikit, maka
interaksi yang terjadi cenderung lebih baik, lebih kohesif, lebih berfokus, dan
lebih berpengaruh.
5. Perkembangan Kognitif Anak
(khususnya berkenaan dengan Social Problem Solving Skills)
Anak yang kemampuan kognitifnya meningkat, hubungan dengan rekan sebayanya juga
meningkat. Anak-anak yang memiliki keterampilan kognisi lebih unggul akan
cenderung tampil sebagai pemimpin atau sekurang-kurangnya sebagai anggota
kelompok yang berpengaruh, khususnya di saat kelompok menghadapi persoalan yang
perlu dipecahkan.
Selanjutnya, salah satu bentuk
khusus dari hubungan pertemanan yang mungkin di alami oleh anak usia SD adalah
persahabatan. Persahabatan adalah hubungan yang intens dan lama antar dua atau
beberapa anak yang diwarnai oleh loyalitas, keintiman, dan saling menyayangi .
Terjalinnya persahabatan dapat didorong oleh unsur kesamaan (usia, jenis kelamin, ras, orientasi pendidikan,
orientasi budaya, dan sejenisnya), minat, keterbukaan diri, saling berbagi
informasi, dan keinginan pemecahan masalah.
Perilaku-perilaku prososial seperti
saling berbagi , membantu, dan bekerja sama lebih umum terjadi diantara sesama
sahabat. Meskipun adanya konflik tidak dapat dihindari, dalam persahabatan hal
itu lazimnya diatasi bukan dengan cara konfrontasi dan kekerasan, melainkan
dengan saling menerima alasan sehingga sampai kepada solusi yang sama-sama
menang (win-win solution).
Gejala
lain yang juga dapat terjadi dalam hubungan pertemanan adalah munculnya
anak-anak yang populer (popular children),
anak yang diabaikan (neglected children),
dan anak yang ditolak (rejected children). Kecenderungan anak populer,
diabaikan, atau ditolak ini biasanya sangat berkaitan erat dengan pola
kepribadian dan perilaku yang bersangkutan.
1. Anak Populer (popular
children)
Anak populer adalah yang banyak disukai oleh teman-temannya. Anak populer biasanya memiliki
kemampuan intelektual, karakteristik fisik yang menarik, serta memiliki
kemampuan interaksi (memulai interaksi, mempertahankan interakasi, dan memecahkan
masalah).
2. Anak yang
Diabaikan (neglected children)
Anak yang diabaikan adalah yang
dibiarkan atau cenderung tidak diperhatikan oleh teman-temannya. Anak yang diabaikan biasanya
menunjukkan perilaku enggan bicara, kurang aktif, dan malu-malu.
3. Anak yang
Ditolak (rejected children)
Anak
yang ditolak adalah yang kehadirannya tidak diterima oleh
teman-temannya. Anak yang ditolak biasanya berperilaku agresif, anti sosial,
mengganggu, dan tidak peduli terhadap situasi. Anak yang ditolak cenderung
memiliki efek jangka panjang seperti kenakalan dan gangguan mental.
Permasalahan anak-anak yang diabaikan
dan ditolak dapat diatasi dengan menerapkan program sekolah yang terpadu.
Tujuan program ini adalah untuk menolong dan berusaha menarik perhatian
teman-teman sebaya mereka dengan cara-cara yang positif dan mempertahankan
perhatian dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan, mendengarkan dengan
cara yang hangat dan bersahabat serta apabila berbicara mengenai diri mereka
sendiri, bicarakanlah hal-hal yang menarik minat teman sebaya. Mereka juga
diajarkan untuk memasuki kelompok secara lebih efektif.
Selain itu, tujuan program pelatihan
bagi anak-anak yang ditolak haruslah untuk membantu mereka mendengarkan
teman-teman sebaya dan mendengarkan apa yang mereka katakan dan bukan mencoba
mendominasi interaksi teman-teman sebaya. Anak-anak yang ditolak dilatih untuk
bergabung dengan teman-teman sebaya tanpa mengubah apa yang sedang berlangsung
dalam kelompok teman sebaya. Anak-anak mungkin perlu dimotivasi untuk
mengguanakan strategi ini dengan suatu bujukan sehingga program tersebut
berjalan dengan efektif dan memuaskan.
D. Perkembangan Identitas Diri (Self Identity)
Salah satu unsur kepribadian
terpenting adalah konsep diri (self-concept), yakni keseluruhan persepsi
seseorang tentang dirinya, abilitas, perilaku, harga diri, dan kepribadiannya.
Konsep diri seseorang akan sangat mempengaruhi cara yang bersangkutan melihat
dan memperlakukan dirinya sendiri dan cara-cara ia berinteraksi dengan lingkungannya.
Konsep diri ini banyak dimensinya, namun yang akan dideskripsikan di sini
dibatasi pada penjelasan tentang konsep identitas diri (self identity) dari Erikson.
Erikson (Conny R.
Setiawan: 1998) berpendapat
bahwa “tema utama kehidupan ialah pencarian
identitas. Identitas diri seseorang ini tidak sekedar menyangkut pemahaman dan
penerimaan dirinya sendiri, melainkan selalu terkait pula dengan pemahaman dan
penerimaan terhadap masyarakat (lingkungan).”
Dalam pandangan Erikson, identitas
pribadi seseorang terbentuk melalui perkembangan proses krisis psikososial.
Menurutnya, setiap individu akan dihadapkan pada krisis-krisis kehidupan dalam setiap fase
perkembangannya. Jika individu mampu mengatasi krisis-krisis yang dihadapinya,
maka ia akan memiliki kepribadian yang sehat atau terintegrasi dan kemampuan
untuk menguasai lingkungan. Sebaliknya, kalau seseorang gagal menyelesaikan
krisis-krisis tersebut, maka ia akan menjadi orang yang hanyut dalam arus
kehidupan.
Meskipun perkembangan identitas diri
ini mencapai puncak krisis pada masa remaja, proses perkembangannya dimulai
sejak bayi, yakni di saat bayi mengenali dan merasa dikenali oleh ibunya. Sejak
itu, seseorang mengembangkan identitas dirinya hingga terus sampai tua. Selama
hidup seseorang, ada delapan tahap krisis yang akan dilalui. Namun, yang akan
dijelaskan di sini hanya krisis yang dialami oleh bayi hingga masa kanak-kanak.
1. Kepercayaan Lawan Ketidakpercayaan (Basic Trust vs Basic Mistrust)
Kepercayaan dasar (Basic
Trust) ialah kepercayaan yang sifatnya fundamental pada diri bayi kepada
orang lain dan lingkungannya. Kepercayaan dasar ini juga mencakup kepercayaan
dan perasaan bahwa dirinya dipercayai dan bahwa ada keterkaitan antara
kebutuhan-kebutuhan dirinya dengan lingkungannya. Bayi yang memiliki
kepercayaan dasar dapat memperkirakan bahwa ibunya akan memeberinya makan bila
ia lapar dan menghiburnya bila ia merasa takut atau kesakitan. Ia dapat
memberikan toleransi bila ibunya tidak ada karena ia yakin bahwa ibunya akan
kembali.
Kepercayaan dasar akan terbentuk melalui perlakuan orang tua
dan orang dewasa lainnya yang berupaya memenuhi berbagai kebutuhan ndan
keinginannya. Bila si bayi merasa terjamin kehidupannya, maka ia akan
mengembangkan kepercayaan dasar ini. Sebaliknya, bila bayi merasa
kebutuhan-kebutuhannya tidak terjamin atau tidak ditanggapi, maka ia akan
menumbuhkan sikap dan rasa tidak percaya terhadap orang lain dan lingkungannya.
Ia mungkin akan cenderung menjadi orang
yang penuh curiga dan waswas terhadap orang lain. Dengan demikian, seorang bayi
yang kelahirannya tidak diharapkan oleh orangtuanya dan kemudian diperlakukan
secara tidak wajar akan memiliki peluang yang besar untuk menumbuhkan sikap
tidak percaya diri.
Dalam taraf tertentu, sebenarnya sikap tidak percaya ini
tetap dibutuhkan yaitu guna mendeteksi kemungkinan bahaya atau situasi yang
tidak menyenangkan dan untuk membedakan antara orang-orang yang dapat dipercaya
dengan yang tidak dipercaya. Akan tetapi, bila perasaan tidak percaya ini lebih
besar daripada rasa percayanya, maka anak (atau kelak sesudah dewasa) akan
menjadi frustasi, menarik diri, dan penuh curiga.
2. Kemandirian Lawan Malu dan Keraguan
(Autonomy vs Shame and Doubt)
Pada usia kira-kira dua sampai tiga tahun, anak semakin independen
baik secara fisik maupun psikologis. Ia dapat berjalan, berbicara, mengambil
sesuatu, dan melakukan hal-hal lainnya. Kemampuan-kemampuan tersebut membuat
anak memiliki peluang-peluang baru untuk berkembangnya kepribadian.
Namun, pada saat yang sama anak juga menghadapi
kerawanan-kerawanan baru seperti kecemasan atau perpisahan dengan orang tua,
khawatir kalau buang air besar (kontrol anal) tidak berhasil, dan berbagai
kekhawatiran lainnya. Keberhasilan anak dalam mengatasi krisis pada masa ini
akanmengembangkan rasa kemandirian. Sebaliknya, bila anak tidak berhasil
mengatasi krisis-krisis kehidupan pada usia ini, maka ia akan cenderung menjadi
orang pemalu dan penuh keraguan.
Dalam membantu krisis otonomi lawan malu dan keraguan ini,
idealnya orang tua menciptakan iklim yang mendukung anak untuk mengembangkan
kontrol diri tanpa harus kehilangan harga diri. Di sini diperlukan adanya
keseimbangan antara tuntutan tugas aktivitas yang dilakukan anak dengan taraf
kemampuan anak serta bantuan atau kontrol dari pihak orang tua. Anak yang
dipaksakan untuk melakukan tugas-tugas yang diluar kemampuannya sehingga banyak
gagal, atau anak yang terlalu dikendalikan sehingga kurang memiliki kesempatan,
akan cenderung mengembangkan sikap yang ragu-ragu atau takut dan malu dalam
berbuat. Sebaliknya, bila anak diberi kesempatan yang cukup dan sepadan dengan
kemampuannya serta mendapat bimbingan secara wajar, maka ia akan cenderung
mengembangkan sikap mandiri.
3. Inisiatif Lawan Merasa Berdosa (Initiative vs Guilt)
Krisis inisiatif lawanmerasaberdosa ini dialami anak pada
usia sekitar empat sampai lima tahun. Pada usia ini, anak mengalami suatu
gejala psikologis untuk mengidentifikasi diri dengan orang lain. Karenanya,
agar anak memiliki keyakinan yang mantap bahwa dirinya adalah seorang pribadi,
ia perlu mendapat gambaran tentang akan menjadi orang macam apa dirinya di
kemudian hari. Jadi, tema tahap ini ialah identifikasi anak kepada tokoh
idealnya.
Kecenderungan untuk mengidentifikasikan diri tersebut
mendorong perkembangan kesadaran atau kata hati (conscience) dan juga menumbuhkan seperangkat minat, sikap, dan
perilaku jenis kelamin. Kondisi demikian mendukung anak untuk berinisiatif,
membentuk dan mencapai tujuan, serta untuk berkompetisi.kemampuan inisiatif
didukung oleh peningkatan kemampuan mobilitas, kecakapan fisik, bahasa, kognisi
dan imajinasi kreatif. Bila anak mendapat kesempatan yang memadai untuk
berprakarsa dan berinisiatif, maka kemampuan dan dorongan untuk berprakarsanya
akan terpelihara dan berkembang. Sebaliknya, kalau anak terlalu banyak ditegur
atau dikekang, maka ia mungkin menjadi merasa serba salah dan penuh keraguan.
Sebenarnya anak lazimnya berada padasuatu posisi tertentu
dalam suatu kontinum yang merentang dari posisi keberhasilan berinisiatif
sampai ke posisi tercekam oleh rasa bersalah. Rasa bersalah ini berkaitan
dengan kesadaran yang berlebihan dalam menghukum perilaku-perilaku yang
dianggapnya salah. Jika anak cenderung mengembangkan sikap rasa berdosa yang
berlebihan ini, maka akibatnya bukan saja memiliki perasaan bersalah secara berlebihan,
tetapi ia juga akan diliputi oleh perasaan bahwa dirinya harus senantiasa
melakukan sesuatu, senantiasa bersaing, dan senantiasa berbuat sesuatu agar
dirinya mempunyai nilai sebagai manusia.
4. Mampu Berkarya Lawan Inferioritas (Industry vs Inferiority)
Pada masa ini, usia enam tahun hingga remaja, anak-anak
memasuki usia berkarya (industrial age).
Mereka mulai masuk sekolah tempat mempelajari dan mengembangkan berbagai ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk kepentingan hidupnya pada
saat sekarang dan nanti. Mereka sekarang dituntuut untuk menyelesaikan berbagai
pekerjaan atau tugas dengan baik. Pengalaman-pengalaman keberhasilan yang
diperolehnya akan menumbuhkan perasaan dan kepercayaan bahwa dirinya mampu
berkarya atau menyelesaikan sesuatu (industry).
Sebaliknya, kalau pada masa ini anak mengalami banyak kegagalan apalagi
disertai kecerobohan, maka ia akan merasa tidak percaya terhadap kemampuan yang
dimilikinya sehingga cenderung merasa inferior atau merasa bahwa dirinya tidak
berarti.
E. Implikasi
Terhadap Kegiatan Pembelajaran
Sekolah adalah lembaga pendidikan yang
berfungsi untuk memfasilitasi proses perkembangan anak secara menyeluruh. Tidak
hanya aspek pengetahuan dan intelektual anak yang perlu diperhatikan dan
dibina, akan tetapi keseluruhan aspek perkembangan termasuk aspek sosial anak.
Dilihat dari pemahaman terhadap aspek
perkembangan sosio-emosional anak sebagaimana telah dipaparkan di atas,
terdapat beberapa implikasi yang seyogiyanya diperhatikan oleh para calon guru
SD. Implikasi-implikasi tersebut terutama berkenaan dengan penciptaan suatu
lingkungan belajar yang kondusif bagi tumbuh kembang anak.
Pertama, untuk meningkatkan kemampuan
anak dalam menyadari dan menghayati pengalaman-pengalaman emosionalnya, dapat
juga dilakukan melalui aktivitas bermain peran, pemutaran film, dan
aktivitas-aktivitas sejenis lainnya yang diperlihatkan kepada mereka tentang
bagaiman orang mengekspresikan emosinya secara wajar dan tidak wajar serta
kosekuensi-konsekuensinya.
Yang lebih penting dari
aktivitas-aktivitas di atas adalah perlunya figur dari guru yang dapat
memberikan contoh tentang bagaimana mengekspresikan dan mengendalikan emosi
secara wajar dalam kehidupan sehari-hari. Aktivitas semacam bermain peran dan
semacamya tidak akan banyak berarti tanpa didukung oleh penciptaan lingkungan
sekolah yang kondusif.
Singkatnya, disamping perlu adanya
program-program pengayaan yang berkenaan dengan upaya pengembangan sosioemosi
anak, diperlukan pula upaya penciptaan kondisi yang memberi kesempatan kepada
setiap anak untuk mengembangkan dan mengekspresikan emosinya secara wajar
sesuai dengan kultur yang berlaku dengan disertai contoh kongkrit dari guru
dalam perilaku sehari-hari.
Kedua, yang perlu diperhatikan adalah
menonjolnya peran teman sebaya bagi anak SD. Keberadaan teman sebaya bagi anak
SD merupakan hal yang sangat berarti, bukan saja sebagai sumber kesenangan bagi
anak melainkan dapat mengembangkan banyak aspek perkembangan anak. Hal ini
mengimplikasikan perlunya aktivitas-aktivitas pendidikan atau pembelajaran baik
di kelas maupun di luar kelas yang memberikan banyak kesempatan kepada anak
untuk berdialog diantara sesama mereka. Akan lebih baik kalau sekolah
menyediakan berbagai kegiatan yang terprogram dan terencana untuk mereka
sehingga aktivitas anak-anak dapat lebih terarahkan sesuai dengan yang
diharapkan.
Berkenaan dengan perkembangan
indentitas diri, sekolah perlu menyelaraskan kondisi lingkungan sekolah dan
perlakuan-perlakuan yang diberikan dengan kondisi anak. Guna menumbuhkan
perasaan dan keyakinan mampu berkarya atau berprestasi (sense of industry), sekolah perlu memberikan berbagai alternatif
pilihan kegiatan yang memungkinkan anak untuk memperlihatkan kelebihan-kelebihan
yang dimilikinya. Unsur penghargaan dari sekolah kepada semua anak juga
merupakan hal penting guna mengembangkan sense
of industry ini. Selain itu, guna mengembangkan kesadaran identitas jenis
kelamin sesuai dengan kultur yang berlaku sangat diperlukan adanya figur dari
pihak guru dan upaya-upaya condotioning
lainnya. Upaya-upaya conditioning ini
dapat dilakukan dari mulai cara berpakaian, pembagian tugas, sampai pada
bimbingan karir.
BAB III
KESIMPULAN DAN
SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan tentang
perkembangan sosial anak dan konsep kemandirian anak SD, penulis mencoba
membuat kesimpulan sebagai berikut:
1. Perkembangan sosial merupakan
pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Dapat juga diartikan sebagai
proses belajar untuk menyesuikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral, dan
tradisi; meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi dan
berkerja sama.
2. Melalui pergaulan atau hubungan
sosial, baik dengan orang tua, anggota keluarga, orang dewasa lainnya maupun
teman bermainnya, anak mulai mengembangkan bentuk-bentuk tingkah laku sosial,
diantaranya: (1) Pembangkangan (Negativisme); (2) Agresi (aggression); (3) Berselisih/bertengkar (quarreling); (4) Menggoda (teasing); (5) Persaingan (rivarly); (6) Kerjasama
(cooperation); (7) Tingkah laku berkuasa (ascendant behavior); (8) Mementingkan diri sendiri (selfishness); (9) Simpati (sympathy).
3. Hubungan pertemanan ini di tandai
dengan semakin terlibatnya anak dalam aktivitas atau interaksi dengan teman
sebaya. Ketika memasuki usia SD, anak lebih antusias dan lebih
banyak terlibat dalam aktivitas-aktivitas bermain yang bersifat kooperatif (cooperative play). Intensitas hubungan
maupun waktu keterlibatannya mengalami peningkatan.
4. Identitas pribadi seseorang terbentuk
melalui perkembangan proses krisis psikososial. Setiap individu akan dihadapkan pada
krisis-krisis kehidupan dalam setiap fase
perkembangannya. Jika individu mampu mengatasi krisis-krisis yang dihadapinya,
maka ia akan memiliki kepribadian yang sehat atau terintegrasi dan kemampuan
untuk menguasai lingkungan. Sebaliknya, kalau seseorang gagal menyelesaikan
krisis-krisis tersebut, maka ia akan menjadi orang yang hanyut dalam arus
kehidupan.
5. Implikasi
terhadap pembelajaran, yakni perlunya aktivitas-aktivitas pendidikan atau
pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas yang memberikan banyak
kesempatan kepada anak untuk berdialog diantara sesama mereka. Akan lebih baik
kalau sekolah menyediakan berbagai kegiatan yang terprogram dan terencana untuk
mereka sehingga aktivitas anak-anak dapat lebih terarahkan sesuai dengan yang
diharapkan.
B. Saran
Setelah membaca makalah ini kami
sebagai penyusun menyarankan dan mengharapkan terutama kepada mahasiswa calon
guru SD masa depan agar memberikan kesempatan kepada semua siswanya untuk
mengembangkan dan mengekspresikan emosinya secara wajar, dengan disertai contoh
konkrit dari gurunya dalam kehidupan sehari-hari, serta dapat memahami dan
memfasilitasi apa yang dibutuhkan oleh siswa untuk mengembangkan bakat yang
dimilikinya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. dan Asrori, M. (2005). Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik.
Jakarta: Bumi Aksara.
Yusuf, LN. S. (2011). Psikologi Perkembangan Anak & Remaja.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Budiamin, A., Hafidz, D. dan Daim.
(2006). Perkembangan Peserta Didik.
Bandung: UPI Press.
Proyek Pendidikan Guru Sekolah Dasar.
(1998). Perkembangan dan Belajar Peserta
Didik. Jakarta: Depdikbud.
Http://bintangcentaury.blogspot.com/2013/09/perkembangan-sosio-emosional-anak.html
Demikianlah materi tentang
Makalah Perkembangan Sosial-Emosional Anak Sekolah Dasar Kelas Rendah yang sempat kami berikan dapat bermanfaat. semoga materi yang kami berikan dan jangan lupa juga untuk menyimak
Makalah Bahasa Indonesia yang telah kami posting sebelumnya. semoga materi yang kami berikan dapat membantu menambah wawasan anda semikian dan terimah kasih. Semoga dapat membantu menambah wawasan anda semikian dan terimah kasih.
Anda dapat mendownload Makalah diatas dalam Bentuk Document Word (.doc) melalui link berikut.