Rujukan kali ini adalah pembahasan dengan tema makalah agama Islam. Makalah ini sangat relevan untuk sekedar dibaca atau sebagai sumber referensi bagi teman-teman sekalian.
KATA
PENGANTAR
Puji
dan syukur kami sampaikan kepada Allah SWT karena atas rahmat, nikmat, dan karunia-Nya
lah kami dapat menyelesaikan makalah berjudul “Hukum Islam di Indonesia” sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan.
Hukum
adalah sesuatu yang sangat dekat dengan kehidupan manusia untuk mengatur
kehidupan menjadi lebih teratur dan sesuai pada aturannya. Karena itulah kami
menggali berbagai informasi dari segala sumber bacaan baik dari buku maupun website di internet agar dapat
memperoleh informasi dan pengetahuan guna menyusun makalah ini lebih baik.
Penulisan
makalah ini bertujuan untuk memenuhi tanggung jawab dalam menyelesaikan tugas
mata kuliah Agama Islam dan sebagai bahan diskusi untuk lebih memahami dan
menghayati hokum islam dan peranannya bagi kehidupan.
Tiada
manusia yang sempurna begitu juga kami. Kami telah berusaha untuk mengerjakan
makalah ini dengan sebaik-baiknya, namun mohon maaf jika ada kesalahan. Dan
kami pun mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak yang
telah membantu baik moril maupun materil
Akhir
kata, semoga makalah ini dapat diterima dan memberikan manfaat serta dapat
dijadikan bahan bacaan oleh pembaca
Palembang, Februari 2014
Penulis,
BAB
1
PENDAHULUAN
a. LATAR
BELAKANG
Hukum sangat erat kaitannya dengan kehidupan
masyarakat. Hukum dapat menjadi batasan dalam bertindak, maupun dapat mengatur
kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Namun apakah sekarang hukum ditegakkan
dengan seadil-adilnya? Banyak sekali penyelewengan dalam hukum salah satunya
karena ketidaktahuan mereka mengenai fungsi dan dampaknya. Dalam
pembukaan UUD 1945 disebutkan,
"…maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang
terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan yang Maha Esa…".
Dari paragraf
tersebut nampak jelas, bahwa hukum
dalam islam dan hukum nasional saling berkesinambungan satu sama lain. Melihat
masyarakat Indonesia sebagian besar beragama islam dan Indonesia
merupakan Negara hukum, yang berkeinginan untuk membentuk suatu hukum baru
sesuai dengan kebangsaan Indonesia dan tidak bertentangan dengan hukum islam.
Makalah ini dibuat
agar kita dapat memahami sumber hukum islam serta kaitannya dengan hukum
nasional di Indonesia serta dapat menghayati pelaksanaannya agar kehidupan
masyarakat dapat menjadi lebih terarah ke masa depan yang lebih baik.
b. RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
saja macam-macam Hukum Islam dan peranannya sebagai pedoman kegiatan umat islam
?
2. Bagaimana
fungsi Hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat ?
3. Bagaimana
kontribusi Hukum Islam dalam Perundang-undangan di Indonesia ?
c. TUJUAN
PENULISAN
Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu
Mahasiswa dapat :
1. Menjelaskan kedudukan Al-Qur’an sebagai
pedoman kegiatan umat islam.
2. Menjelaskan arti dan fungsi Assunnah.
3. Menjelaskan peranan Assunnah sebagai petunjuk
muslim.
4. Menjelaskan kedudukan akal pikiran manusia
dalam berijtihad.
5. Menjelaskan peranan Ijtihad sebagai sumber
pengembangan nilai-nilai islam.
6. Menjelaskan fungsi hokum islam dalam
kehidupan bermasyarakat.
7. Menyebutkan kontribusi hukum islam dalam
perundang-undangan di Indonesia.
d. MANFAAT
PENULISAN
1. Mahasiswa
mampu menjelaskan macam-macam Hukum Islam dan peranannya sebagai pedoman
kegiatan umat islam.
2. Mahasiswa
mengetahui dan mampu menjelaskan fungsi Hukum Islam dalam kehidupan
bermasyarakat.
3. Mahasiswa
mengetahui dan mampu mendeskripsikan kontribusi Hukum Islam dalam
Perundang-undangan di Indonesia
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
HUKUM ISLAM
A.
PENGERTIAN AL-QUR’AN DAN RUANG LINGKUPNYA
- Pengertian
Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah wahyu Allah SWT yang
merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai sumber hukum
dan pedoman hidup bagi pemeluk Islam dan bernilai ibadat yang membacanya.
- Ruang
Lingkupnya Al-Qur’an
Pokok-pokok isi Al-Qur’an ada 5:
1.
Tauhid, kepercayaan terhadap Allah, malaikat-malaikat
Nya, Kitab-kitab Nya, Rosul-rosul Nya, Hari Akhir dan Qodho, Qadar yang baik
dan buruk.
2.
Tuntutan ibadat sebagai perbuatan yang jiwa tauhid.
3.
Janji dan Ancaman
4.
Hidup yang dihajati pergaulan hidup bermasyarakat untuk
kebahagiaan dunia dan akhirat.
5.
Inti sejarah orang-orang yang taat dan orang-orang yang
dholim pada Allah SWT.
- Dasar-dasar
Al-Qur’an Dalam Membuat Hukum
1.
Tidak memberatkan
“Allah tidak membenari seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
Misalnya:
a) Boleh
tidak berpuasa pada bulan Ramadhan.
b) Boleh
makan-makanan yang diharamkan jika dalam keadaan terpaksa/memaksa.
c) Boleh
bertayamum sebagai ganti wudhu’
2.
Menyedikitkan beban
Dari prinsip tidak memberatkan itu,
maka terciptalah prinsip menyedikitkan beban agar menjadi tidak berat. Karena
itulah lahir hukum-hukum yang sifatnya rukhsah. Seperti: mengqashar sholat.
3.
Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum
Hal ini dapat
diketahui, umpamanya; ketika mengharamkan khomr.
1)
Menginformasikan manfaat dan mahdhorotnya.
2)
Mengharamkan pada waktu terbatas, yaitu; sebelum
sholat.
3)
Larangan secara tegas untuk selama-lamanya.
B.
KEDUDUKAN HADIST, IJMA’ DAN QIYAS
1.
Kedudukan Al-Hadist/Al-Sunnah
Nabi Muhammad
sebagai seorang rosul menjadi panutan bagi umatnya disamping sebagai ajaran
hukum. Baik yang diterima dari Allah yang berupa Al-Qur’an maupun yang
ditetapkan sendiri yang berupa al-Sunnah. Banyak sekali masalah yang sulit
ditemukan hukumnya secara eksplisit dalam Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan
utama, maka banyak orang mencarinya dalam as-Sunnah.
Selain
diindikasikan dalam Al-Qur’an, para ulama pun telah bersepakat untuk menetapkan
al-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam.
Sunnah yang
dijalankan Nabi pada dasarnya adalah kehendak Allah juga. Dalam arti bahwa
Sunnah itu sebenarnya adalah risalah dari Allah yang manifestasikan dalam
ucapan, perbuatan dan penetapan Nabi. Maka sudah sepantasnya, bahkan seharusnya
bilamana Sunnah Nabi dijadikan sumber dan landasan ajaran Islam.
2.
Kedudukan Ijma’
Kebanyakan ulama
menetapkan, bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dan sumber ajaran Islam dalam
menetapkan suatu hukum. Firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 59 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rosulnya dan Ulil Amri
diantara kamu.”
Maka dapat
disimpulkan bahwa, apabila mujtahid telah sepakat terhadap ketetapan hukum
suatu masalah/peristiwa, maka mereka wajib ditaati oleh umat.
Ijma’ dapat
dijadikan alternatif dalam menetapkan hokum suatu peristiwa yang didalam
Al-Qur’an atau as-Sunnah tidak ada atau kurang jelas hukumnya.
3.
Kedudukan Qiyas
Qiyas menduduki
tingkat keempat, sebab dalam suatu peristiwa bila tidak terdapat hukumnya yang
berdasarkan nash, maka peristiwa itu disamakan dengan peristiwa lain yang
mempunyai kesamaan dan telah ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an. Mereka
mendasarkan hal tersebut pada firman Allah dalam surat Al-Hasyr ayat 2 yang
artinya; “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran hai orang-orang
yang mempunyai pandangan.”
C.
PENGERTIAN TENTANG NASH DAN SYARI’AH
1. Pengertian
Nash
Menurut bahasa,
Nash adalah raf’u asy-syai’ atau munculnya segala sesuatu yang tampak. Oleh
sebab itu, dalam mimbar nash ini sering disebut munashahat, sedangkan menurut
istilah antara lain dapat dikemukakan di sini menurut:
a.
Ad-Dabusi:
Artinya:
“Suatu lafazh yang maknanya lebih
jelas daripada zhahar bila ia dibandingkan dengan lafzh shahir.”
b.
Al-Bazdawi
“Lafazh yang lebih jelas maknanya
daripada makna lafazh zhahir yang diambil dari si pembicaranya bukan dari
rumusan bahasa itu sendiri.”
Dari
definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa nash mempunyai tambahan
kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari rumusan bahasanya,
melainkan timbul dari pembicara sendiri yang bisa diketahui dengan qarinah.
Atas dasar uraian
tersebut, Muhammad Adib Salih berkesimpulan bahwa yang dimaksud nash itu
adalah:
“Nash adalah suatu lafazh yang
menunjukkan hukum dengan jelas, yang diambil menurut alur pembicaraan, namun ia
mempunyai kemungkinan ditakshish dan takwil yang kemungkinannya lebih lemah
daripada kemungkinan yang terdapat dari lafazh zhahir. Selain itu, ia dapat
dinasikh pada zaman risalah (zaman Rasul).”
Sebagai contoh
adalah ayat Al-Qur’an, seperti yang dijadikan contoh dari lafazh zhahir.
وَاَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَى.
Dilalah nash dari
ayat tersebut adalah tidak adanya persamaan hukum antara jual beli dan riba.
Pengertiannya
diambil dari susunan kalimat yang menjelaskan hukum. Di sini nash lebih memberi
kejelasan daripada zhahir (halalnya jual beli dan haramnya riba) karena
maknanya diambil dari pembicaraan bukan dari rumusan bahasa.
2. Pengertian
Syari’ah
Dilihat dari sudut
kebahasaan kata, syari’ah bermakna “Jalan yang lapang atau jalan yang dilalui
air terjun.”
Syari’ah adalah
semua yang disyari’atkan Allah untuk kaum muslimin baik melalui Al-Qur’an
ataupun melalui Sunnah Rasul.
Syari’ah itu
adalah hukum-hukum yang disyari’atkan Allah bagi hamba-hamba Nya (manusia) yang
dibawa oleh para Nabi, baik menyangkut cara mengerjakannya yang disebut
far’iyah amaliyah (cabang-cabang amaliyah). Dan untuk itulah fiqih dibuat, atau
yang menyangkut petunjuk beri’tiqad yang disebut ashliyah i’tiqadiyah (pokok keyakinan),
dan untuk itu para ulama menciptakan ilmu kalam (ilmu tauhid).
Pengertian
syari’ah menurut Syaikh Mahmud Shaltut yakni, syari’at menurut bahasa ialah
tempat yang didatangi atau dituju manusia dan binatang untuk minum air. Menurut
istilah ialah hukum-hukum dan tata aturan yang disyari’atkan Allah buat
hamba-Nya agar mereka mengikuti dan berhubungan antar sesamanya.
Perkataan syari’ah
tertuju pada hukum-hukum yang diajarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Kemudian dimasukkan kedalamnya hukum-hukum yansg telah disepakati (di ijma’)
oleh para sahabat Nabi, tentang masalah-masalah yang belum ada nashnya dan yang
belum jelasa dalam Al-Qur’an ataupun as-Sunnah (masalah yang di ijtihad), juga
dimasukkan kedalamnya hokum-hukum yang ditetapkan melalui qiyas. Dengan
perkataan lain syari’at itu adalah hukum-hukum yang telah dinyatakan dan
ditetapkan oleh Allah sebagai peraturan hidup manusia untuk diimani, diikuti
dan dilaksanakan oleh manusia didalam kehidupannya.
Pengertian
syari’ah menurut Muhammad Salam Maskur dalam kitabnya al-Fiqh al-Islamy. Salah
satu makna syari’ah adalah jalan yang lurus.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat
al-Jaatsiyah: 18
ثُمَّ جَعَلْنَكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِّنَ اْلأَمْرِ
فَاتَّبِعْهَاوَلاَ تَتَّبِعْ اَهْوَآءَ الَّذِيْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ. (الجاثية:
18)
“Kemudian Kami
jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu,
maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang
tidak mengetahui.” (QS. Al-Jaatsiyah: 18)
para fuqaha
memakai kata syari’ah sebagai nama bagi hukum yang ditetapkan Allah untuk para
hamba-Nya dengan perantara Rasul-Nya, supaya para hamba-Nya itu melaksanakannya
dengan dasar iman, baik hukum itu mengenai lahiriah maupun yang mengenai akhlak
dan aqaid, kepercayaan dan bersifat batiniah.
Menurut
asy-Syatibi di dalam kitabnya al-Muwafaqat, “Bahwa syari’ah itu adalah
ketentuan hukum yang membatasi perbuatan, perkataan dan i’tiqad, orang-orang
mukallaf.”
Demikianlah makna
syari’at, akan tetapi jumhur mutaakhirin telah memakai kata syari’ah untuk nama
hukum fiqh atau hukum Islam, yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf. Atas
dasar pemakaian ini, timbul perkataan: Islam itu adalah aqidah dan syari’ah
sebagaimana dikemukakan Syekh Mahmud Shaltut. Syari’ah Islam adalah syari’ah
penutup, syari’ah yang paling umum, paling lengkap, dan mencakup segala hukum,
baik yang bersifat keduniaan maupun keakhiratan.[1]
D.
TEORI DAN KONSEP ISTIMBATH HUKUM DALAM ISLAM
Bila para ulama
hadist dihadapkan kepada suatu masalah, pertama kali para ulama ahlul haidst
mencari penyelesaian masalah itu kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi/Rasul.
Apabila para ulama hadist mendapat hadist yang berbeda-beda, maka mereka
mengambil hadist sebagai sumber hukum, dari hadist yang diriwayatkan oleh para
perawi hadist yang lebih utama dan memenuhi persyaratan. Kalau para ulama
tersebut tidak menemukan hadistnya, selanjutnya mereka meninjau dan mempedomani
pendapat para sahabat Nabi. Andaikata tidak juga diperoleh pendapat para
sahabat mengenai masalah yang sedang dihadapi para ulama hadist tersebut, maka
selanjutnya barulah mereka melaksanakan ijtihad untuk menyelesaikan suatu
masalah hukum Islam, atau mereka belum/tidak menyampaikan fatwa kepada
masyarakat. Masa mereka enggan berfatwa ini tidak lama, hanya sampai kepada
masa wafatnya Imam Daud ibnu Ali.
Para ulama Fuqaha
sesudah itu selalu memperhatikan/melaksanakan fatwa, baik yang telah terjadi,
walaupun yang belum atau mungkin terjadi, berarti mereka selalu melaksanakan
ijtihad terhadap sesuatu masalah yang baru, dan belum teratur dasar hukumnya,
sehingga segala masalah dapat mereka tentukan hukumnya berdasarkan hasil
ijtihad para ulama hadist (aliran Madrasah Hadist).
E.
IJTIHAD DAN PERBEDAAN MAZDHAB
- Ijtihad
Pengertian Ijtihad
Dari segi bahasa,
ijtihad berarti; mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan. Sedang menurut
pengertian syara’ ijtihad adalah:
اَ ْلإِجْتِهَادُ:
اِسْتَفْرَاغُ الْوُسْعِ فِيْ نَيْلِ جُكْمٍ َِرْعِيٍّ بِطَرِيْقِ
اْلإِسْتِنْبَاطِ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ.
Menggunakan
seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan
memetik/mengeluarkan dari kitab dan sunnah.[2]
Adapun pengertia
ijtihad ialah: Mencurahkan segala tenaga (pikiran) untuk menemukan hukum agama
(syara’), melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara tertentu. Tanpa dalil
syara’ dan tanpa cara tertentu, maka hal tersebut merupakan pemikiran dengan
kemauan sendiri semata-mata dan hal tersebut tidak dinamakan ijtihad.[3]
Ijtihad mempunyai
peranan yang penting dalam kaitannya pengembangan hukum Islam. Sebab, dalam
kenyataannya di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat Muhkamat (jelas
kandungannya) dan ada yang Mutasyabihat (memerlukan penafsiran (belum terang).
Dari sinilah, sehingga ajaran Islam selalu menganjurkan agar manusia
menggunakan akalnya. Apalagi agama Islam sebagai Rahmatan lil Alamin (Rahmat
bagi seluru alam) membuat kesediaannya dalam menerima perkembangan yang dialami
umat manusia. Sehingga secara pasti cocok dan tepat untuk diterapkan dalam
setiap waktu dan tempat. Maka peranan ijtihad semakin penting untuk membuktikan
keluasan dan keluwesan hukum Islam.
- Perbedaan
Mazdhab
Menurut bahasa
mazdhab berarti “Jalan atau tempat yang dilalui.” Menurut istilah para Faqih
Mazdhab mempunyai dua pengertian yaitu:
1.
Pendapat salah seorang Imam Mujtahid tentang hukum
suatu masalah.
2.
Kaidah-kaidah istinbath yang dirumuskan oleh seorang
imam.
Dari kedua
pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa pegertian mazdhab adalah: “Hasil
ijtihad seorang imam (Mujtahid Mutlaq Mustaqil) tentang hukum suatu masalah
atau tentang kaidah-kaidah istinbath.”
Dengan
demikian,bahwa pengertian bermazdhab adalah: “Mengikuti hasil ijtihad seorang
imam tentang ukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath.”[4]
Orang yang
melakukan ijtihad disebut Mujtahid. Para Imam Mujtahid seperti Imam Hanafi,
Maliki, Syahi’i dan Imam Ahmad bin Hambali, sudah cukup dikenal di Indonesia
oleh sebagian besar umat Islam. Untuk mengetahui pola pemikiran masing-masing
Imam Mazdhab bagi seseorang itu sangat terbatas, bahkan ada yang cenderung
hanya ingin mendalami mazdhab tertentu saja. Hal ini disebabkan, karena
pengaruh lingkungan atau karena ilmu yang diterima hanya dari ulama/guru yang
menganut suatu mazdhab saja.
Menganut suatu
aliran mazdhab saja, sebenarnya tidak ada larangan, tetapi jangan hendaknya
menutup pintu rapat-rapat, sehingga tidak dapat melihat pemikiran-pemikiran
yang ada pada mazdhab yang lain yang juga bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah SAW. Hal ini dimaksudkan, agar seseorang tidak fanatik kepada suatu
mazdhab.
Andaikata sukar
menghindari kefanatikan kepada suatu mazdhab, sekurang-kurangnya mampu
menghargai pendapat orang lain yang berbeda dengan pendapatnya.
Dibawah ini akan dikemukakan beberapa
tokoh Imam Mazdhab.
A.
IMAM HANAFI
Dasar-dasar mazdhab Imam Hanafi dalam
menetapkan suatu hukum.
1. Al
Kitab
Al Kitab
adalah sumber pokok ajaran Islam. Segala permasalahan hukum agama merujuk kepada
al-Kitab tersebut atau kepada jiwa kandungannya.
2. As-Sunnah
As-Sunnah
adalah berfungsi sebagai penjelasan al-Kitab, merinci yang masih bersifat umum
(global).
3. Aqwalush
Shahabah (perkataan sahabat)
Perkataan
sahabat memperoleh posisi yang kuat dalam pandangan Abu Hanifah. Karena
menurutnya, mereka adalah orang-orang yang membawa ajaran Rasul sesudah
generasinya.
4. Al-Qiyas
Abu Hanifah
berpegang kepada Qiyas. Apabila ternyata dalam Al-Qur’an, Sunnah atau perkataan
sahabat tidak beliau temukan.
5. Al-Istihsan
6. Urf
Pendirian
beliau adalah mengambil yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari dari
keburukan serta mempertahankan muamalah-muamalah manusia dan apa yang
mendatangkan maslahat bagi mereka. Beliau melakukan segala urusan (bila tidak
ditemukan dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijmak atau Qiyas, dan apabila tidak baik
dilakukan dengan cara Qiyas) beliau melakukannya atas dasar istihsan selama
dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakukan istihsan, beliau kembali
kepada Urf manusia.
B.
IMAM MALIKI BIN ANAS
Dasar-dasar mazdhab Imam Maliki.
1. Al-Qur’an
2. Sunnah
Rasul yang beliau pandang sah.
3. Ijmak
para ulama Madinah, tetapi kadang-kadang beliau menolak hadist apabila ternyata
berlawanan/tidak diamalkan oleh para ulama Madinah.
4. Qiyas
5. Istishlah
(Mashalihul Mursalah)
C.
IMAM SYAFI’I
Dasar-dasar hukum yang dipakai Imam
Syafi’i.
Mengenai dasar-dasar hukum yang
dipakai oleh Imam Syafi’i sebagai acuan pendapatnya termaktub dalam kitabnya
ar-Risalah sebagai berikut:
1.
Al-Qur’an
2.
As-Sunnah
Beliau mengambil sunnah tidaklah
mewajibkan yang mutawatir saja, tetapi yang ahad pun diambil dan dipergunakan
pula untuk menjadi dalil, asal telah mencukupi syarat-syaratnya, yakni selama
perawi hadist itu orang kepercayaan, kuat ingatan dan bersambung langsung
sampai kepada Nabi SAW.
3.
Ijmak
Dalam arti bahwa para sahabat
semuanya telah menyepakatinya
4.
Qiyas
Imam Syafi’i memakai Qiyas apabila
dalam ketiga dasar hukum diatas tidak tercantum, juga dalam keadaan memaksa.
5.
Istidlal (Istishhab)
D.
IMAM AHMAD BIN HAMBALI
Imam Hambali dalam menetapkan suatu
hukum adalah dengan berlandaskan kepada dasar-dasar sebagai berikut:
1.
Nash Al-Qur’an dan Hadist, yakni apabila beliau
mendapatkan nash, maka beliau tidak lagi memperhatikan dalil-dalil yang lain
dan tidak memperhatikan pendapat-pendapat sahabat yang menyalahinya.
2.
Fatwa Sahaby, yaitu ketika beliau tidak memperoleh nash
dan beliau mendapati suatu pendapat yang tidak diketahuinya, bahwa hal itu ada
yang menentangnya, maka beliau berpegang kepada pendapat ini, dengan tidak
memandang bahwa pendapat itu merupakan Ijmak.
3.
Pendapat sebagian sahabat yaitu apabila terdapat
beberapa pendapat dalam suatu masalah, maka beliau mengambil mana yang lebih
dekat kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
4.
Hadist Mursal atau Hadist Daif. Hadist Mursal atau
Hadist Daif akan tetap dipakai, jika tidak berlawanan dengan sesuatu atsar atau
dengan pendapat seorang sahabat.
5.
Qiyas, baru beliau pakai apabila beliau memang tidak
memperoleh ketentuan hukumnya pada sumber-sumber yang disebutkan pada poin 1-4
diatas.
BAB III
PEMBAHASAN
A. PROSPEK
HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Dalam membicarakan
prospek hukum Islam di Indonesia, setidaknya ada dua aspek yang perlu untuk
dikedepankan:
1. Aspek
kekuatan dan peluang. Keduanya berkaitan dengan hukum Islam dan umat Islam yang
berperan sebagai pendukung prospek hukum Islam di Indonesia.
2. Aspek
kelemahan dan hambatan. Aspek ini berkaitan dengan kehidupan hukum di Indonesia
yang menjadi kendala bagi prospek penerapan hukum Islam sebagai hukum positif
di Indonesia.
Adapun aspek kekuatan[5]
a. Al-Qur'an
dan hadits, yang selain memuat ajaran tentang aqidah dan akhlaq, juga memuat
aturan-aturan hukum kemasyarakatan, baik bidang perdata maupun pidana.
Ketiga esensi ajaran ini telah
menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam Islam. Ketiganya bagaikan
segi tiga sama kaki yang saling mendukung yang daripadanya kemudian lahir
prinsip-prinsip hukum dalam Islam, asas dan tujuan-tujuannya.[6]
b. Syareat
Islam datang untuk kebaikan manusia semata, sesuai dengan fitrah dan kodratnya
yang karenanya sangat menganjurkan berbuat kebaikan, dan melarang perbuatan
yang merusak.[7] Dengan
demikian, maka produk-produk hukumnya akan senantiasa sesuai dengan kebutuhan
normal manusia, kapan pun dan di man apun sebab syareat Islam dibangun
di atas dan demi kebaikan manusia itu sendiri sehingga akan tetap diminati.
c. Dalam
sejarah perjalanan hukum di Indonesia, keberadaan hukum Islam dalam hukum
nasional merupakan perjuangan eksistensi, yang merumuskan keadaan hukum
nasional Indonesia pada masa lalu, masa kini dan akan datang, bahwa hukum Islam
itu ada di dalam hukum nasional, baik dalam hukum tertulis maupun tidak
tertulis, dalam berbagai lapangan kehidupan hukum dan praktek hukum.[8]
d. Telah
terwujudnya kontribusi hukum Islam dalam hukum nasional, baik dalam bentuk UU
maupun IP,[9]
merupakan bukti nyata tentang kekuatan dan kemampuan hukum Islam dalam
berintegrasi dengan hukum nasional.
Aspek-aspek
kekuatan tersebut akan semakin eksis dengan memperhatikan beberapa aspek
pendukung sebagai berikut:
- Pancasila, yang tertuang
dalam Pembukaan UUD-45 sebagai dasar Negara, yang sila-silanya merupakan
norma dasar dan norma tertinggi bagi berlakunya semua norma hukum dasar
Negara,[10]
telah mendudukkan agama (terutama pada sila pertama) pada posisi yang
sangat fundamental, serta memasukkan ajaran dan hukumnya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Hal ini berarti, bahwa secara
filosofis-politis hubungan Pancasila dengan agama sangat erat, karena
menempatkannya pada posisi sentral, pertama dan utama.
Dengan demikian, ajaran (termasuk
hukum) Islam yang merupakan agama anutan mayoritas penduduk Indonesia, diberi
dan memiliki peluang besar untuk mewarnai hukum nasional.
- Dalam GBHN 1993-1998, antara
lain disebutkan:
"…berfungsinya system hukum yang
mantap, bersumberkan Pancasila dan UUD 1945 dengan memperhatikan tatanan hukum
yang berlaku, yang mampu menjamin kepastian, ketertiban…".[11]
Dari muatan GBHN
tersebut, tampak jelas adanya peluang hukum Islam untuk ikut andil dalam
pembangunan hukum nasional. Hal ini mengingat, bahwa hukum Islam termasuk ke
dalam tatanan hukum yang berlaku dalam masyarakat, yang mampu menjamin
kepastian, ketertiban, keadilan, kebenaran dan seterusnya sebagaimana yang
diinginkan oleh hukum itu sendiri. Semua itu terjadi karena hukum Islam
bersumber dari syareat sebagaimana telah dipaparkan di atas, sesuai
dengan ajaran Allah, Dzat Yang Maha Sempurna dalam segala-Nya.
Dengan
memperhatikan berbagai aspek tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
prospek hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional sangat cerah dan baik.
B. FUNGSI
HUKUM ISLAM DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
Tujuan hukum Islam, baik secara global maupun secara
detail, mencegah kerusakan pada manusia dan mendatangkan kemaslahatan bagi
mereka: mengarahkan mereka kepada kebenaran, dan kebajikan, serta menerangkan
jalan yang harus dilalui oleh manusia.
Hukum Islam disyariatkan oleh Allah dengan tujuan utama
untuk merealisasikan dan melindungi kemaslahatan umat manusia, baik individu
ataupun kolektif untuk menjamin, melindungi dan menjaga kemaslahatan tersebut
Islam menetapkan sejumlah aturan, baik berupa perintah atau larangan. Perangkat
aturan ini disebut hukum pidana Islam. Sedangkan tujuan pokok dalam penjatuhan
hukum dalam syari’at Islam ialah pencegahan dan pengajaran serta pendidikan.
Oleh karena tujuan hukum adalah pencegahan, maka
besarnya hukuman harus sedemikian rupa yang cukup
mewujudkan tujuannya, dan dengan demikian maka terdapat prinsip keadilan dalam
menjatuhkan hukuman. Dengan demikian, maka hukuman dapat berbeda-beda terutama
hukuman ta’zir.
Menurut definisi mutakalimin, agama ditujukan untuk
kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat. Islam sebagai agama memiliki hukum
yang fungsi utamanya terhadap kemaslahatan umat. Adapun fungsi adanya hukum
Islam adalah sebagai berikut:
a. Fungsi
Ibadah
Hukum Islam adalah aturan Tuhan yang harus dipatuhi umat
manusia dan kepatuhan merupakan ibadah yang sekaligus juga merupakan indikasi
keimanan seseorang.
b. Fungsi Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Hukum Islam telah ada dan eksis mendahului masyarakat
karena ia adalah bagian dari kalam Allah yang qadim. Namun dalam
prakteknya hukum Islam tetap bersentuhan dengan masyarakat. Penetapan hukum
tidak pernah mengubah atau memberikan toleransi dalam hal proses
pengharamannya. Contoh: Riba dan khamr tidak diharamkan secara sekaligus tetapi
secara bertahap oleh karena itu kita memahami fungsi kontrol sosial yang
dilakukan lewat tahapan riba dan khamr.
c. Fungsi Zawajir
Fungsi hukum Islam sebagai sarana pemaksa yang
melindungi warga masyarakat dari segala bentuk ancaman serta perbuatan yang
membahayakan.Fungsi ini terlihat dalam pengharaman membunuh dan berzina, yang
disertai dengan ancaman hokum atau sanksi hokum. Qishash, Diyat,
ditetapkan untuk tindak pidana terhadap jiwa/ badan, hudud untuk tindak
pidana tertentu (pencurian , perzinaan, qadhaf, hirabah, dan riddah),
dan ta’zir untuk tindak pidana selain kedua macam tindak pidana
tersebut. Adanya sanksi hokum mencerminkan fungsi hokum Islam sebagai sarana
pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari segala bentuk ancaman serta
perbuatan yang membahayakan. Fungsi hokum Islam ini dapat dinamakan dengan Zawajir.
d. Fungsi Tanzim wa Islah
al-Ummah
Fungsi tersebut adalah sarana untuk mengatur sebaik
mungkin dan memperlancar proses interaksi sosial sehingga terwujudnya
masyarakat harmonis, aman dan sejahtera.Dalam hal-hal tertentu, hokum Islam
menetapkan aturan yang cukup rinci dan mendetail sebagaimana terlihat dalam
hokum yang berkenaan dengan masalah yang lain, yakni masalah muamalah,
yang pada umumnya hokum Islam dalam masalah ini hanya menetapkan aturan pokok
dan nilai-nilai dasarnya. Perinciannya diserahkan kepada para ahli dan
pihak-pihak yang berkompeten pada bidang masing-masing, dengan tetap
memperhatikan dan berpegang teguh pada aturan pokok dan nilai dasar tersebut.
Fungsi ini disebut dengan Tanzim wa ishlah al-ummah. Ke empat fungsi
hokum Islam tersebut tidak dapat dipilah-pilah begitu saja untuk bidang hokum
tertentu, tetapi satu dengan yang lain saling terkait.(1,2)
Adapun metode-metode pengambilan hukum Islam yaitu
Ijma’ dan Qiyas, Istihsan, Al- Maslahat, Al- Mursalat atau Istihlah, Saddu Al-
Zari’at.
1. Ijma dan Qiyas
a. Ijma
Ijma adalah kesepakatan para ulama mujtahid dalam memutuskan
suatu perkara atau hukum. Ijmā dilakukan untuk merumuskan suatu hukum yang
tidak disebutkan secara khusus dalam kitab Al-Qur’an dan sunah.
Contoh
Ijma:
ü
Menjadikan sunnah sebagai salah satu sumber
hukum Islam.
ü
Pengumpulan dan pembukuan Al-qur’an sejak
pemerintahan Abu Bakar tetapi idenya berasal dari Umar bin Khatab
ü
Penetapan awal ramadhan dan syawal berdasarkan
ru’yatul hilal.
b. Qiyas
Qiyas adalah mempersamakan hukum suatu masalah yang belum ada
kedudukan hukumnya dengan masalah lama yang pernah ada karena alasan yang sama.
Contoh
Qiyas :
ü
Setiap minuman yang memabukan contohnya mensen,
sabu-sabu dan lain-lain disamakan dengan khamar, ilatnya sama-sama
memabukan.
ü
Harta anak wajib dikeluarkan zakat disamakan
dengan harta dewasa. Menurut syafei karena sama-sama dapat tumbuh dan
berkembang, dan dapat menolong fakir miskin.
ü
Mengatakan telmi kepada ortu disamakan dengan
membentak dan ah, karena ilatnya sama-sama menyakiti dengan ucapan.
2. Istihsan
Menurut bahasa, istihsan berarti
menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh,
ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada
suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara'.
Jadi singkatnya, istihsan adalah
tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena ada
suatu dalil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
Misal yang paling sering dikemukakan adalah peristiwa
ditinggalkannya hukum potong tangan bagi pencuri di zaman khalifah Umar bin
Al-Khattab ra. Padahal seharusnya pencuri harus dipotong tangannya. Itu adalah
suatu hukum asal. Namun kemudian hukum ini ditinggalkan kepada hukum lainnya,
berupa tidak memotong tangan pencuri. Ini adalah hukum berikutnya, dengan suatu
dalil tertentu yang menguatkannya.
Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan
hukumnya berdasar nash, yaitu pencuri harus dipotong tangannya. Kemudian
ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari
peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain.
Dalam hal ini, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan
menghendaki perpindahan hukum itu.
Contoh Istihsan :
Menurut Madzhab Hanafi: sisa minuman burung buas,
seperti sisa burung elang burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal
diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan. Menurut qiyas jali sisa minuman
binatang buas, seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum
karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu
diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung Minum dengan mulutnya,
sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya. Menurut qiyas khafi bahwa burung
buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang buas. Mulut binatang buas
terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh
yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan
merupakan najis. Oleh karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu
dengan dagingnya yang haram dimakan, demikian pula air liurnya. Dalam hal ini
keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan
binatang buas. Berdasarkan keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas
jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
3. Al Maslahat Al Mursalat
Merupakan metode penetapan hukum yang kasus atau
maslahatnya tidak dapat ditetapkan atau diatur secara eksplisit di dalam
Al-Qur’an dan hadist, dan tidak pula bertentangan dengan keduanya.
Contoh
:
Dalam pelayaran dengan kapal laut, dimana kapal
demikian olengnya dan besar kemungkinan akan tenggelam jika semua barang yan
ada di dalamnya tidak dibuang ke laut. Dalam keadaan semacam itu diperbolehkan
membuang barang-barang ke laut, meskipun tidak seizin yang empunya demi untuk
kemaslahatan penumpang, yaitu menolak bahaya yang mengancam keselamatan jiwa
mereka.
4. Saddu al-Zari’at
Saddu al-Zari’at
diartikan sebagai upaya mujtahid untuk menetapkan larangan terhadap kasus hukum
yang pada dasarnya mubah. Larangan itu berkesinambungan dimaksudkan untuk
menghindari perbuatan lain atau tindakan lain yang dilarang.
Ada empat kategori Zari’at berdasarkan pada kemungkinan
membawa dampak negatif, yaitu :
1.
Zari’at yang pasti akan membawa manfaat, seperti
menggali sumur di jalan umum yang gelap terhadap zari’at semacam ini para ahli
fiqih telah sepakat melarangnya.
2.
Zari’at yang jarang membawa mafsadat, seperti
menanam dan membudidayakan pohon anggur.
Meskipun buah anggur ada kemungkinan dibuat minuman keras, hal itu termasuk
jarang. Karena itu, menurut ahli fiqih menanam anggur tidak perlu dilarang.
3.
Zari’at yang berdasarkan hukum yang kuat akan membawa
kepada mafsadat, seperti menjual anggur kepada orang atau perusahaan yang biasa
memproduksi minuman keras. Zari’at ini harus dilarang.
4.
Zari’at yang seringkali membawa mafsadat, namun
kekawatiran terjadinya tidak sampai pada tingkat dugaan kuat, melainkan atas
dasar asumsi biasa. Misalnya, transaksi jual beli secara kredit. Diasumsikan
dalam transaksi tersebut akan membawa mafsadat terutama bagi debitur. Mengenai zari’at ini para ahli ushul
fiqh berbeda pendapat. Ada yang berpendapat harus dilarang dan ada pula yang
sebaliknya.(3,4)
C.
KONTRIBUSI HUKUM ISLAM DALAM PEMBANGUNAN HUKUM
NASIONAL
Islam
sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia, tentu sangat
berpengaruh terhadap pola hidup bangsa Indonesia. Perilaku pemeluknya tidak
lepas dari syari'at yang dikandung agamanya. Melaksanakan syari'at agama yang
berupa hukum-hukum, menjadi salah satu parameter ketaatan seseorang dalam
menjalankan agamanya.
Bagi
kalangan muslim, jelas yang dimaksudkan sebagai hukum adalahHukum Islam, yaitu
keseluruhan aturan hukum yang bersumber pada AIquran, dan sunnah Rasul.
Kaidah-kaidah
yang bersumber dari Allah SWT kemudian lebih dikonkretkan diselaraskan dengan
kebutuhan zamannya rnelalui ijtihad atau penemuan hokumoleh
para mujtahid dan pakar di bidangnya masing-masing, baik secara perorangan
maupoun kolektif.
Dalam
perjalanan kodifikasi hukum nasional Indonesia, keberadaan hokum Islam sangat
penting, selain sebagai materi bagi penyusunan hukum nasional, hokum Islam juga
menjadi inspirator dan dinamisator dalam pengembangan hokum nasional. Hukum
Islam sangat dekat dengan sosioantropologis bangsa Indonesia,sehingga
kehadirannya dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat luas.Kedekatan
sosioantropologis Hukum Islam dengan masyarakatnya menjadifenomena tersendiri
ditandai dengan maraknya upaya formalisasi pemberlakuansyari'at Islam di
berbagai wilayah di Indonesia.
Sebagai
negara berdasar atas hukum yang berfalsafah Pancasila, Negara melindungi agama,
penganut agama, bahkan berusaha memasukkan hukum agamaajaran dan hukum agama
Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagaimana pernyataan the founding
father RI, Mohammad Hatta, bahwa dalampengaturan negara hukum Republik
Indonesia, syari'at Islam berdasarkan AI-Qur'andan Hadis dapat dijadikan
peraturan perundang-undangan Indonesia sehingga orangIslam mempunyai sistem
syari'at yang sesuai dengan kondisi Indonesia.7 DekritPresiden 5 Juli 1959 −
dalam salah satu konsiderannya − menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar
1945, danadalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.
maka era ini dapat dikatakan era penerimaan hukum Islam sebagai sumber
otoritatif.
Sistem
hukum yang mewarnai hukum nasional1 kita di Indonesia selama inipada dasarnya
terbentuk atau dipengaruhi oleh tiga pilar subsistem hukum yaitu sistem hukum barat, hukum adat dan sistem
hukum Islam.
Sistem Hukum Barat merupakan
warisan penjajah kolonial Belanda. Sementara Sistem Hukum Adat bersendikan atas dasardasaralam pikiran
bangsa Indonesia, dan untuk dapat sadar akan sistem hukum adatorang harus
menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup di dalam masyarakatIndonesia.
Kemudian sistem Hukum Islam, yang
merupakan sistem hukum yangbersumber pada kitab suci AIquran dan yang
dijelaskan oleh Nabi Muhammaddengan hadis/sunnah-Nya serta dikonkretkan oleh
para mujtahid dengan ijtihadnya.
Hukum
Islam memiliki prospek dan potensi yang sangat besar dalam pembangunan hukum
nasional. Ada beberapa pertimbangan yang menjadikan hokum Islam layak menjadi
rujukan dalam pembentukan hukum nasional yaitu:
1. Undang-undang
yang sudah ada dan berlaku saat ini seperti, UU Perkawinan, UU Peradilan
Agama, UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Pengelolaan Zakat, dan UU Otonomi
Khusus Nanggroe Aceh Darussalam serta beberapa undangundang lainnya yang
langsung maupun tidak langsung memuat hukum Islam seperti UU Nomor 10 Tahun
1998 tentang perbankan yang mengakui keberadaan Bank Syari'ah dengan prinsip
syari'ahnya., atau UU NO. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang semakin
memperluas kewenangannya, dan UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Jumlah
penduduk Indonesia yang mencapai lebih kurang 90 persen beragama Islam
akanmemberikan pertimbangan yang signifikan dalam mengakomodasi kepentingannya.
3. Kesadaran
umat Islam dalam praktek kehidupan sehari-hari. Banyak aktifitas keagamaan
masyarakat yang terjadi selama ini merupakan cerminan kesadaran mereka
Bila dilihat dari realitas politik dan
perundang-undangan di Indonesianampaknya eksistensi hukum Islam semakin patut
diperhitungkan seperti terlihatdalam beberapa peraturan perundangan yang
kehadirannya semakin memperkokohHukum Islam:
1. Undang-Undang
Perkawinan
Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan, Pada Pasal 2 undang-undang ini,
ditulis bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya. Sementara dalam pasal 63 menyatakan bahwa, yang
dimaksud pengadilan dalam Undang-undang ini adalah Pengadilan Agama bagi mereka
yang beragama Islam.
2. Undang-Undang
Peradilan Agama
Undang-Undang
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disahkan. Undang-undangini membuktikan
bahwa Peradilan Agama sudah sepantasnya hadir, tumbuh, serta dikembangkan di
bumi Indonesia. Hal ini membuktikan adanya kontribusi umat Islam sebagai umat
yang mayoritas.
3. Undang-Undang
Penyelenggaraan Ibadah Haji
Indonesia
termasuk negara yang paling banyak jamaah hajinya. Sebabkuota yang ditentukan
oleh Arab Saudi adalah 1 persen dari total jumlahpenduduk suatu negara.
Indonesia berpenduduk sekitar 250 juta, makakuota haji sekitar 250 ribu jiwa.
Agar
penyelenggaraan haji bisa berjalan lancar, tidak ada kesulitan, baikdi dalam
negeri maupun ketika di luar negeri, maka diperlukan manajemenyang baik.
Apalagi haji dilaksanakan jauh dari negeri Indonesia, yaitu lebihdari 10.000
mil, melibatkan banyak orang dan departemen, dilaksanakanserentak dengan jutaan
manusia dari seluruh dunia dalam satu tempatdan waktu yang sama. Untuk itu,
pemerintah harus terlibat langsung dalampenyelenggaraannya, sebab menyangkut nama
baik negara Indonesia.Untuk mendukung upaya penyelenggaraan ibadah haji yang
efektif,efisien dan terlaksana dengan sukses, maka pemerintah
mengeluarkanUndang-Undang Nomor 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
IbadahHaji. Kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri AgamaNomor 224
tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh.
4. Undang-Undang
Pengelolaan Zakat
Negara
menjamin warganya melaksanakan ajaran agamanya,melindungi fakir miskin dan
untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakatIndonesia sebagaimana tercantum dalam
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1),Pasal 29 dan Pasal 34 UUD 1945, maka
pemerintah perlu membuatperangkat yuridis yang akan mendukung upaya tersebut.
Kemudian lahirlahUU Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Untuk melaksanakan
UU tersebut muncul Keputusan Presiden Nomor 8 tahun 2001 tentang Badan Amil
Zakat Nasional, yang di dalamnya mencantumkan perlunya tigakomponen untuk
melaksanakan pengelolaan zakat, yaitu Badan Pelaksana,Dewan Pertimbangan dan
Komisi Pengawas. Sebelum berlakunya UU diatas, sejak masa penjajahan Belanda
sudah ada perundang-undangan yangberkaitan dengan zakat, yaitu Bijblad Nomor 2
tahun 1893 tanggal 4 Agustus1893 dan Bijblad Nomor 6200 tanggal 28 Februari
1905.
5.
Undang-Undang
Wakaf
Undang-Undang Nomor
41 Tahun 2004 tentang Wakaf disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 27
Oktober 2004 oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 159).
Sebenarnya di
Indonesia sudah ada beberapa Peraturan Perundang-undangan tentang wakaf, antara
lain adalah Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1997 tentang perwakafan tanah
milik. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1997 itu hanya mengatur
tentang wakaf sosial (wakaf umum) di atas tanah milik seseorang atau badan
hukum. Tanah yang diwakafkan dalam Peraturan Pemerintah itu dibatasi hanya
tanah milik saja, sedangkan hak-hak atas tanah lainnya seperti hak guna usaha,
hak guna bangunan dan hak pakai tidak diatur. Di samping itu benda-benda lain
seperti uang, saham dan lain-lain juga belum diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Oleh karena itu, pengembangan wakaf di Indonesia cukup tersendat-sendat.
Jika
dibandingkan dengan beberapa peraturan perundang-undangan tentang wakaf ini
terdapat beberapa hal baru dan penting. Beberapa diantaranya adalah mengenai
masalah nazhir, harta benda yangdiwakafkan (mauquf bih), dan peruntukan harta
wakaf (mauquf ‘alaih), serta perlunya dibentuk Badan Wakaf Indonesia. Berkenaan
dengan masalah nazhir, karena dalam undang-undang ini yang dikelola tidakhanya
benda tidak bergerak yang selama ini sudah lazim dilaksanakan di Indonesia,
tetapi juga benda bergerak seperti uang, logam mulia, surat berharga,
kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa dan lainlain, maka nazhirnya
pun dituntut mampu untuk mengelola benda-benda tersebut.
Dalam
undang-undang ini harta benda wakaf tidak dibatasi padabenda tidak bergerak
saja tetapi juga benda bergerak seperti uang, logammulia, surat berharga,
kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewadan benda bergerak lain
sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Undang-Undang
Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh
Memasuki era
reformasi, kemerdekaan mengeluarkan pendapatterbuka luas. Pemerintah pun sangat
responsif terhadap aspirasimasyarakat kehidupan demokrasi berjalan dinamis.
Aspirasi
rakyat Aceh yang selama Orde Baru tidak tersalurkan, kaliini mendapat respon
yang luar biasa dari Pemerintah. Kehidupan rakyat Aceh yang religius,
menjunjung tinggi adat, dan telah menempatkanulama pada peran yang sangat
terhormat dalam kehidupan masyarakat,berbangsa dan bernegara perlu dilestarikan
dan dikembangkan.
Untuk itu,
akhirnya pemerintah memberikan jaminan kepastianhukum dalam penyelenggaraan
keistimewaan yang dimiliki rakyat Acehsebagaimana tersebut di atas dengan
munculnya Undang-Undang Nomor44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
7.
Undang-Undang
Otonomi Khusus di Aceh
Sistem
Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia menurutUUD 1945 mengakui dan
menghormati satuan-satuan Pemerintah Daerahyang bersifat khusus atau istimewa
yang diatur dalam Undang-undang
Melihat
karakter sosial dan masyarakat Aceh dengan budaya Islam yangkuat, dan telah
memberikan semangat juang yang tinggi pada masaperjuangan memperebutkan
kemerdekaan negara Indonesia. Maka seiringdengan munculnya era reformasi serta
aspirasi rakyat Aceh. Pemerintahmemberikan otonomi khusus. Sehubungan dengan
itu ditetapkan UndangundangNomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Propinsi
Daerah Istimewa Aceh Darussalam.
Dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 tentangOtonomi Khusus Propinsi
Daerah Istimewa Aceh, salah satunya dalambidang hukum, maka baru-baru ini telah
disahkan Qanun (Perda) Nomor13 tahun 2003 tentang Judi, Nomor 14 tahun Minuman
Keras, Nomor 15tahun 2003 tentang Hal Mesum dan telah diterapkan Hukuman
Cambuk.
8. Undang-undang
Tentang Perbankan Syari'ah
Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, yang diundangkan padatanggal 10 November 1998, menandai
sejarah baru di bidang perbankan yangmulai memberlakukan sistem ganda dual
system banking di Indonesia, yaitu konvensional dan syari’ah.
Tren
perkembangan perbankan syariahyang begitu cepat dengan memperoleh simpatik luas
dari umat muslim dan jugadari nonmuslim. Sistem Perbankan Syariah berdiri di
atas akad-akad yang telahdisepakati bersama dengan prinsip syariah tak boleh
merugikan dan juga tidakboleh membebankan kerugian bersama kepada salah satu
pihak. Keuntunganmenjadi keuntungan bersama, dan juga kerugian menjadi kerugian
yang harusditanggung bersama.
Sistem
perbankan syariah telah teruji dan terbukti di seluruh dunia,termasuk
Indonesia, dalam menghadapi krisis moneter yang dapat terjadi kapansaja.
Pemerintah telah menyatakan keseriusannya untuk menelaah urgensipembuatan UU
Perbankan Syariah di Indonesia, dan akhirnya pada tanggal 17Juni 2008 DPR
mengesahkan Undang-Undang Tentang Perbankan Syariahyang diundangkan pada
tanggal 16 Juli 2008. Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2008 Nomor 94
tentang Perbankan Syariah, dan TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4867).
9.
Undang-Undang
No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang- Undang No. 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama
Pada tanggal
28 Februari 2006, UU No. 7 tahun 1989 tentangPeradilan Agama telah diamandemen
melalui UU No. 3 tahun 2006tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 (Lembaran
Negara RepublikIndonesia tahun 2006 Nomor 22). Perubahan tersebut dilakukan
karena UU No. 7 tahun 1989 tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum
masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan.
Kewenangan
Peradilan Agama yang semula bertugas dan berwenangmemeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara tingkat pertamaantara orang-orang yang beragama
Islam di bidang: perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah, waqaf dan shadaqah.
Berdasarkan UUNo. 3 tahun 2006 kewenangannya diperluas dalam bidang
ekonomisyari’ah meliputi: Bank Syari’ah, Asuaransi, Asuransi Syari’ah,
ReasuransiSyari’ah dan Surat Berharga Berjangka Menengah Syari’ah,
SekuritasSyari’ah, Pengadilan Syari’ah, Dana Pensiun Lembaga Keuangan
(DPLK)Syari’ah, Bisnis Syari’ah dan Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah.
Dalam beberapa
tahun belakangan ini perkembangan bidang-bidangekonomi syari’ah memang pesat.
Ini yang akan menjadi problem ke depan.Transaksi bisnis syari’ah bukan saja
dilakukan oleh orang yang beragamaIslam, tetapi juga sangat mungkin antara
orang Islam dan bukan Islam.Problemnya, apakah Peradilan Agama berwenang
menangani sengketaSyari’ah antara orang Islam dengan yang bukan Islam.
Oleh karena
itu dalam penjelasan Pasal 49 UU No. 3 tahun 2006,dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan “antara orang-orang yangberagama Islam adalah termasuk orang
atau badan hukum uyang dengansendirinya menundukan diri dengan sukarela kepada
hukum Islammengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama
sesuaidengan ketentuan Pasal 49.
Hal yang perlu
menjadi perhatian adalah eksistensi Peradilan Agamayang telah mendapat
pengakuan secara konstitusional . Dengan masuknyaPeradilan Agama ke dalam UUD
1945, tidak akan ada perdebatan lagimengenai kehadiran peradilan agama dalam
sistem kekuasaan kehakimandi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
10. Kompilasi
Hukum Islam
Perwujudan
hukum bagi umat Islam di Indonesia terkadang menimbulkan pemahaman yang
berbeda. Akibatnya, hukum yang dijatuhkan sering terjadi perdebatan di kalangan
para ulama. Karena itu diperlukan upaya penyeragaman pemahaman dan kejelasan
bagi kesatuan hukum Islam.
Keinginan itu
akhirnya memunculkan Kompilasi
Hukum Islam (KHI),yang saat ini telah menjadi salah satu pegangan
utama para hakim di lingkungan Peradilan Agama. Sebab selama ini Peradilan
Agama tidak mempunyai bukustandar yang bisa dijadikan pegangan sebagaimana
halnya KUH Perdata. Dan pada tanggal 10 Juni 1991 Presiden menandatangani
Inpress No.1 Tahun 1991yang merupakan instruksi untuk memasyarakatkan KHI.
BAB V
PENUTUP
A.
SIMPULAN
1. Al-Qur’an adalah
kalamullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat
Jibril. Al-Qur’an tertulis dalamn bentuk mushaf diawali dengan surat al-fatihah
dan ditutup dengan an-Nas. Al-Qur’an mempunyai kedudukan yang sanagt penting
bagi manusia sebagai pedoman kehidupan
2. As-Sunnah berarti
perkataan, perbuatan, dan taqrir nabi Muhammad SAW yang berfungsi sebagai
penguat hukum yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an, memberikan rincian terhadap
pernyataan Al-Qur’an yang bersifat global, membatasi kemutlakan yang dinyatakan
dalam Al-Qur’an, dan menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh
Al-Qur’an.
3. Ijtihad yaitu
menggunakan keseluruhan kesanggupan berfikir untuk menetapkan hukum syara’
dengan jalan mengeluarkan hukum dari al-Qur’an dan Sunnah
4. Fungsi hukum islam
dalam kehidupan bermasyarakat yaitu fungsi ibadah, fungsi amar ma’ruf nahi
munkar, fungsi zawazir, dan fungsi tanzim wa Islah al Ummah.
5. Kontribusi hukum
islam yang sudah menjadi hukum nasional antara lain hukum perkawinan, hukum
tentang pelaksanaan haji, bagi hasil, infaq dan wakaf.
B.
SARAN
[1] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Raja Grafindo Persada, Jakarta , 2003), hal. 5-7
[2] Dr. H. Moh. Rifai, Fiqh, (Semarang : CV. Wicaksana, 2003), hal. 124
[3] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), hal.
33
[4] Ibid, 86
[5] Bandingkan dengan Muin Salim, Konstitusionalisasi Hukum Islam di
Indonesia (Makalah), h. 3-5
[6] Tentang Prinsip, tujuan dan asas hukum Islam, bisa ditelaah
selengkapnya dalam: Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Usul al-Syare'ah,
Jilid II (Beirut :
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt), h. 3-4; Rahmat Djarmika, Jalan Mencari Hukum
Islam Upaya ke Arah Pemahaman Metodologi Ijatihad, dalam Aspek Hukum
Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, (Jakarta:
FP-IKAHA, 1994), h. 146-157
[7] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Jilid I (Cet II:
Beirut: Maktabah al-Imam, 1987), h. 266; QS. 2: 195
[8] Andi Rasdiyanah, Problematika dan Kendala…, h. 5-6
[9] Seperti UU No. 1, tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. 7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama, IP No. 1, tahun 1991 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, serta UU No. 7 1992 tentang Bank (Muamalat).
0] [1Andi Rasdiyanah, Kontribusi Hukum Islam dalam Mewujudkan Hukum
Pidana Nasional, Makalah disampaikan pada upacara pembukaan Seminar Nasional
tentang Kontribusi Hukum Islam Terhadap Terwujudnya Hukum Pidana Nasional
yang Berjiwa Kebangsaan, Yogyakarta,
2 Desember 1995, h. 4
Majlis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ,
Garis-Garis Besar Haluan Negara Republik Indonesia, 1993-1998 (Surabaya : Bina Pustaka
Tama, tt), h. 33-34
Demikianlah materi tentang makalah agama Islam yang sempat kami berikan. semoga materi yang kami berikan dan jangan lupa juga untuk menyimak materi seputar Makalah Wawasan Nusantara yang telah kami posting sebelumnya. Semoga dapat membantu menambah wawasan anda semikian dan terimah kasih.
EmoticonEmoticon