Makalah Bahasa Bali- Jika dalam postingan ini, anda kurang mengerti atau susunanya tidak teratur, anda dapat mendownload versi .doc makalah berikut :
Download
SARGA
I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Kasusastraan Bali sampun kaloktah
ring dura Negara krana kaluwihan lan madaging piteket – piteket sane
ngeranayang pikayunanne becik .
Kasusastraan Bali puniki kaperangang
dados kalih inggih puniki :
Ø
KESUSASTRAAN BALI PURWA
Ø
KESUSASTRAAN BALI ANYAR ( MODERN )
Ring makalah puniki jaga kawedarang
indik kasusastraan Bali Purwa miwah Bali Anyar .
2. RUMUSAN MASALAH
1) Napi sane kanikaang ring
kasusastraan Bali ?.
2) Napi punika kasusastraan Bali
Purwa miwah perangan ipun ?
3) Napi punika kasusastraan Bali
Anyar miwah perangan ipun ?
SARGA
II
TETUJON
Tetojon makalah puniki kakaryanin
inggih punika
1.
Salah sinunggil tugas sane kaicen olih ibuk guru Bahasa Daerah Bali
2.
Semangdane para pemilet utawi sane ngwacen makalah puniki uning ring indik
kawentenan kasusastraan bali lan uning daging – daging kamahatmian budaya bali
druene winaka sarana , ngwerdiang tur ngelimbakang budaya inucap .
3.
Anggen ngelestariamg kasusastraan bali sane sampun sue nenten kaplajahin olih alit
- alit sareng sami .
4.
Mangda iraga sareng sami uning daging susastra punika prasida anggen tetimbang
tur sesuluh midabdabin gegodan idup.
B. TETUJON MLAJAHIN SASTRA BALI
Tetujon mlajahin utawi ngwacen
sekancan sastra bali inggih ipun :
1)
Anggen ngamanahang , ngidepang napi sane kauungguhang .
2)
Anggen paplajahan mangda madrue konsep budaya bali .
3)
Anggen ngrereh gambaran indik budaya bali .
4)
Anggen dasar rasa banggi ring dewek awinan uning ring soroh susastra bali .
5)
Anggen nglanturang pewarisan budaya bali .
6)
Anggen nyelimurang ati .
1.3 Tujuan
Agar
pembaca makalah ini mengetahui dan memahami apa arti Bahasa Bali, arti Bahasa
feodal dan agar pembaca mengetahui dan paham kalau Bahasa Bali itu bukanlah
Bahasa Feodal. Sehingga pembaca tidak salah paham akan hubungan bahasa Bali
dengan Bahasa feudal.
1.4 Manfaat
Agar
mahasiswa dapat menginterpretasikan bahasa bali yang bukanlah sebagai bahasa
feodal. Dengan mengetahui dan memahami bahasa bali bukanlah bahasa feodal, para
pembaca dapat merealisasikan isi makalah ini dalam kehidupan.
C . SASTRA BALI GAMBARAN MASYARAKAT
BALI
Yening
iraga mangkin seneng ngwacen soroh sekancan sarwa sastra bali sinah iraga
pacang uning ring kaweruhan indik parindik jagat miwh masyarakat bali . Awinan
pidagingan sastra bali punika dados marupa gambaran masyarakat bali .
Upami yening ngwacen utawi
nembangang geguritan tembang ginada sane majudul Eda Ngaden Awak Bisa sane
kaketus saking geguritan basur sakadi :
Eda ngaden awak bisa
Depang anake ngadanin
Geginane buka nyampat
Anak sai tumbuh luu
Ilang luu ebuk katah
Yadin ririh
Liu enu paplajahan
Daging tembange punika sampun
manyinahang I raga tusing dadi nyombongang awak ,yadiapin I raga ririh pesan
.krana jele pesan yan ada anak demen nyombongang awak.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Bahasa Bali
Bahasa
Bali berasal dari kata “Bal” dalam bahasa Sansekerta yang artinya “kekuatan”,
jadi kata “Bali” berarti “pengorbanan” yang berarti supaya kita tidak melupakan
kekuatan kita. Supaya kita selalu siap untuk berkorban. Sebagai bahasa, bahasa
Bali merupakan bahasa warisan budaya Bali yang sangat penting yang harus
dilestarian dan dikembangkan. Hal ini hendaknya menjdai kewajiban seluruh
generasi manusia Bali untuk memahami makna yang terkandung di dalamnya, serta
mentransformasikan dalam konteks tuntutan perkembangan zaman.
Bahasa
Bali adalah salah satu bahasa daerah di negara Indonesia yang dipeliahara
dengan baik oleh masyarakat penuturnya, yaitu etnis Bali. Bahasa
Bali merupakan bahasa ibu atau bahasa pertama bagi sebagian besar
masyarakat Bali, dipakai secara luas sebagai alat komunikasi dalam berbagai
aktivitas kehidupan sosial masyarakat Bali. oleh karena itu, bahasa Bali
merupakan pendukung kebudayaan Bali yang tetap hidup dan berkembang di Bali.
Dilihat dari jumlah penuturnya, bahasa Bali didukung oleh lebih kurang setengah
juta jiwa dan memiliki tradisi tulis sehingga bahasa Bali termasuk bahasa
daerah besar diantara beberapa bahasa daerah di Indonesia.
Bahasa
bali merupakan suatu ilmu tata wicara / berbicara (bahasa daerah) yang memiliki
systematika baik dari segi penlafalan dan aksara (mempunyai system syllabic)
sebagai alat komunikasi bagi masyarakat bali pada khususnya. Dalam
penerapannya, bahasa bali lebih sering digunakan dalam dibidang sosiolinguistik
bahasa bali yang lebih menekankan pada penggunaan bahasa berdasarkan objek
penelitian antara hubungan bahasa yang digunakan dengan faktor-faktor social
dalam masyarakat hindu di bali yang mengenal system kasta (warna) / kelas
penggolongan masyarakat itu sendiri.
Pada bahasa bali atau keterampilan berbicara (kepewaraan) dengan menggunakan
bahasa bali yang harus diperhatikan adalah kaidah-kaidah yang menyangkut aturan
dalam berbicara dengan menggunakan bahasa bali tersebut. Dalam artian, tidak
semena-mena dalam menggunakan bahasa bali sebagai sarana komunikasi baik dengan
siapa yang menjadi lawan bicara pada konteksnya agar memiliki kaidah yang patut
/ baik, benar dan sesuai dengan penggunaannya dalam kehidupan.
Peradaban masyarakat bali, sejak dari dulu hingga sekarang yang pada umumnya
selalu menggunakan bahasa daerahnya sebagai sarana komunikasi yaitu bahasa
bali. Jika ditinjau dari segi historis , bahasa bali mengenal tiga periodisasi
yaitu :
1. Bahasa Bali Kuna adalah bahasa bali yang dipakai sebagai
alat komunikasi pada zaman raja-raja Bali kuna sebagaimana ditemukannya
prasasti-prasasti bali kuna baik itu lontar yang berisikan huruf / bahasa jawa
kuna.
2. Bahasa Bali tengahan , adalah bahasa bali yang dipakai untuk
menuliskan karya-karya sastra seperti kidung-kidung, babad, wariga, usada,
usana, niti dan sebagainya.
3. Bahasa Bali Kepara atau Bahasa Bali Lumrah , adalah bahasa
Bali yang masih hidup sampai sekarang yang dipakai sebagai alat komunikasi
dalam kehidupan sehari-hari, untuk mengadakan suatu interaksi dengan lawan
bicaranya. Bahasa bali periode yang terakhir, jika dilihat dalam pemakaiannya
memiliki system tingkatan-tingkatan yang dalam bahasa itu disebut dengan Sor-Singgih
Basa Bali .
Masyarakat bali , dalam etika pergaulannya selalu dilandasi dengan sonpan
santun, yang terpola dalam bingkai “ manyama braya” ini sebagai
membentuk karakter dan pola pikir termasuk sikap mental orang bali, sehingga
dalam berkomunikasi pun akan selalu memilih dan memilah ketika dihadapi suatu
konteks / keadaan yang merujuk pada situasi saat memakai tingakatan-tingkatan
Bahasa bali yang bertujuan untuk menyesuaikan dan ketepatan / kecakapan
berbicara dengan identitas / status lawan bicaranya. Setiap komunikasi dalam
pergaulan, tata karma dapat dipastikan ada didalamnya. Dalam hal ini tata karma
dalam pergaulan sangat diperlukan dengan adanya etika dan kesopansantunan
berbahsa. Antara tata karma dan bahasa dalam pergaulan hidup bermasyarakat,
keduanya tidak dapat dipisahkan, ibarat benang yang dijalin menghasilakn
suatu tenunan yang utuh.
Dalam penggunaan Sor-Singgh Bahasa Bali dalam kehidupan bermasyarakat orang
Bali, menurut kamus bahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan
Dasar Provinsi Bali menguraikan bahwa kata Sor berarti bawah, singgih berarti
halus atau hormat. Sor-Singgih. Jadi Sor-Singgih Basa Bali berarti aturan
tentang tingkat-tingkatan atau tinggi rendah yang menyangkut rasa / perasaan
yang merujuk pada rasa solidaritas dengan saling hormat menghormati dalam
menggunakan bahasa Bali terhadap lawan bicara. Berikut adalah pembagian
terhadap tingkatan-tingkatan bahasa bali menurut Sor-Singgihnya yang terdiri
dari :
1. Basa Kasar ,Kasar Pisan/ Kasar Jabag
2. Basa Andap
3. Basa Madia
4. Basa Alus, Alus Sor, Alus Mider, dan Alus Singgih
5. Basa Mider
· Pembahasan Basa Kasar
Basa kasar adalah tingkatan bahasa
bali yang memiliki rasa bahasa paling bawah. Basa kasar dibedakan menjadi 2
yaitu : basa kasar pisan dan basa kasar jabag.
Basa kasar pisan adalah bahasa bali
yang didalam penggunaannya tergolong tidak sopan dan tidak memiliki nilai etika
moral, sehingga menimbulkan konotasi/ kesan yang buruk bagi penyimaknya. Bagi
mereka yang terkena perkataan / bahasa ini bias mendapat “leteh” yang
harus dibersihkan dengan melakukan penyucian diri (prayasita) bagi mereka yang
termasuk catur wangsa.
Contoh :
-
“Cicing iba, ngenken iba mai
ngleklek !”
-
“Anjing kamu, mau apa kamu kesini !”
-
“Iba bungut dogen, tegarang suud
mapeta !”
-
“kamu bicara saja, sudahi
pembicaraan !”
· Pembahasan Basa Kasar Jabag
Basa Kasar Jabag adalah Bahasa Bali
yang dalam penggunaannya tidak sesuai dengan situasi pembicaraan. Artinya,
kata-kata dalam bahasa itu tidak mengindahkan tingkat-tingkatan yang ada dalam
bahasa bali yang kadang kala melampaui etika pembicaraan. Biasanya
cenderung dipakai pada suatu konteks yang merujuk pada keadaan keakraban,
kelebihan dan keangkuhan sang pembicara dengan lawan bicaranya.
Contoh :
-
“I Bapa pules di bale
asagane”
-
“Ayah tidur di tempat
peristirahatan”
-
“Gusti ngurah mara teka, suba
ke ngabe gapgapan?”
-
“Gusti ngurah baru dating,
sudahkah membawa oleh-oleh?”
· Pembahasan Basa Andap
Basa Andap adalah tingkatan bahasa
bali yang digunakan dalam suasana bersahaja ( dalam pergaulan akrab dan
memiliki nilai kesopanan). Sehingga sering disebut dengan istilah basa kasar
sopan / basa lumrah dipakai dalam kehidupan sehari-hari bermasyarakat / kapara.
Bahasa ini sering digunakan pada masyarakat hindu di bali yang memiliki wangsa
jaba. Disini, bahasa bali sebagai bahasa sopan, digunakan apabila konteks
bergaulnya memiliki sikap keakraban / kekeluargaan yang terjalin erat, misalnya
sesama wangsa. Sama kedudukannya , sama umur, sama pendidikan, sama jabatan,
kawan sederajat dan merupakan bahasa kekeluargaan.
Contoh :
-
Percakapan antar wangsa
ksatriya
:
-
“Beli Gus De, dija kejang jajane
tuni, Mbok Dayu be kenyel pisan ngalihin”
-
“Kak Gus De, dimana menaruh kue, Kak
Dayu sudah letih sekali mencarinya”
· Pembahasan Basa Madia
Basa Madia adalah tingkatan bahasa
bali yang tergolong menengah, yang nilai rasa bahasanya berada diantara bahasa
bali andap dan bahasa bali alus. Artinya bahwa konotasi bahasa madia tidak
kasar, dan juga tidak halus, karena itulah sering juga disebut dengan bahasa
antara ( tidak halus dan juga tidak kasar). Basa Madia itu digunakan apa bila
wangsa atau status sosialnya dalam masyarakat lebih tinggi berbicara dengan
wangsa yang status sosialnya lebih rendah, tetapi lebih tua atau lebih disegani
yang mendududki suatu jabatan tertentu dalam masyarakat / adat misalnya “ klian
banjar dinas/ adat” maupun pejabat / instansi pemerintahan atau swasta, dalam
situasi percakapan tersebut tentunya akan menggunakan Basa Madia.
Contoh :
-
“Ampunang irika negak, ten
tepukin tiang”
“Jangan duduk disana, saya tidak
melihatmu”
-
“Mara suud ngajeng, suba
nagih mepamit”
“Baru saja selesai makan, sudah mau
pergi”.
· Pembahasan Basa Alus
Basa Alus adalah sebagai tingkatan
bahasa bali yang mempunyai nilai rasa bahasa yang tinggi atau sangat hormat,
biasanya bahasa ini digunakan dalam situasi resmi ( seperti rapat , pertemuan,
seminar, percakapan adat agama dll). Pembagian basa alus terdiri dari :
· Basa Alus Sor
Adalah tingkatan bahasa Bali alus
atau hormat yang mengenai diri sendiri atau digunakan untuk merendahkan diri
sendiri dan juga untuk orang lain / objek yang dibicarakan yang patut
direndahkan / bias juga karena status sosialnya yang dianggap lebih rendah dari
orang yang diajak bicara.
Contoh
:
-
Titiang jagi grereh pakaryan sane patut anggen pangupa
jiwa
Saya ingin mencari pekerjaan
yang sesuai untuk pemenuhan hidup
· Basa Alus Mider
Adalah tingkatan bahasa Bali alus
atau hormat yang memiliki nilai rasa tinggi atau sangat hormat yang dapat
digunakan untuk golongan bawah dan juga untuk golongan atas. Basa alus mider adalah
bahasa bali alus dwi fungsi, bias masuk dalam basa bali alus singgih dan juga
bias masuk dalam basa bali alus sor.
Contoh :
-
“Ipun makta asiki, ida
makta kekalih”
“Ia membawa satu, beliau membawa
dua”
· Basa Alus Singgih
Adalah tingkatan bahasa bali alus
atau hormat yang hanya dapat digunakan oleh pembicara untuk menghormati atau
memuliakan orang yang patut dihormati atau dimuliakan.
Contoh :
-
“ I Ratu kayun ngrayunang ulam bawi?”
-
“Ratu, yening wenten karya
ring geria, nikain
titiang”
· Pembahasan Basa Mider
Adalah kata-kata dalam bahasa bali
yang tidak memiliki tingkatan-tingkatan rasa bahasa, sehingga bahasa ini dapat
digunakan untuk dan kepada siapa saja. Selain itu dalam pemakaiannya tidak
terikat dengan status social dalam masyarakat, situasi / kondisi pembicaraan.
Contoh : (kata sifat) nyongkok, kija, ke kantor (tempat), televisi/
radio (kata benda),
Itulah tingkatan-tingkatan bahasa
bali yang digunakan dalam kehidupan bermasyarakat di bali pada umumnya.
SOR
SINGGIH
1.
Bahasa yang Digunakan Orang Bali
Bahasa
Bali Kepara (modern, baru) merupaka bahasa Bali yang masih hidup dan terpakai
dalam konteks komunikasi lisan dan tulis bagi masyarakat Bali sampai sekarang.
Istilah bahasa Bali Kepara dalam bahasa Bali berarti ketah, lumbrah dan
dalam bahasa Indonesia berarti umum. Kepara mengenal adanya tingkatan-tingkatan
berbahasa yang disebut dengan “anggah-ungguhin basa” atau “sor-singgih basa”.
Dalam anggah-ungguhing basa tersebut dibagi kembali menjadi beberapa kelas yang
sering disebut basa kasar, basa alus madia dan basa alus mider. Sedangkan untuk
kata-kata yang digunakan di dalamnya dinamakan kruna mider (kata
netral), kruna kasar, kruna alus madia, kruna alus sor, kruna
alus mider dan kruna alus singgih.
Bahasa
Bali kepara mengenal dua jenis ejaan yaitu ejaan dengan huruf Bali dan huruf
latin. Penanaman bahasa Bali modern ini karena bahasa Bali kepara itu tetap
berkembang pada zamanr modern seperi sekarang ini. Kehidupan dan perkembangan
bahasa Bali modern yang juga merupakan sarana dan wahana kehidupan kebudayaan,
agama, dan adat istiadat masyarakat etnis Bali yang berkelanjutan dari zaman ke
zaman kerajaan, penjajahan, sampai zaman kemerdekaan termasuk zaman setelah
kemerdekaan. Bahasa Bali dalam perkembangannya sampai saat ini banyak
mendapat pengaruh dari bahasa Sanskerta, bahasa Jawa Kuna, bahasa Melayu,
Bahasa Arab, bahasa Prancis, bahasa Inggris, bahasa Sunda dan bahasa Lainnya.
2.
Mengapa Model Bahasa Seperi itu yang DIgunakan
Bahasa
Bali sampai memiliki tingkatan-tingkatan berbicara tidak bisa lepas dari
sejarah pembentukannya. Pada mulanya bahasa yang digunakan di Bali tidak
memiliki tingkatan-tingkatan berbicara seperti itu. Kemudian datang orang-orang
Majapahit yang kemudian mulai mempengaruhi kebudayaan-kebudayaan di Bali.
Terjadilah pergeseran kebudayaan besar-besaran pada saat itu. Wong Majapahit
yang merupakan orang-orang yang berada dalam lingkungan kerajaan mulai
mengelompokkan orang-orang Bali menjadi empat kasta atau wangsa yang sering
disebut dengan caturwangsa. Adapun pembagian-pembagian golongan tersebut
dikelompokkan kembali menjadi dua bagian yaitu triwangsa dan wangsa Jaba. Tri
wangsa terdiri dari kaum Brahmana, Kesatria, dan Weisia. Catur wangsa yaitu
pelapisan masyarakat secara tradisional di Bali sehingga terdapatlah bahasa
Bali dalam ragam rendah pada golongan rendah pada golongan Jaba. Sebaliknya
jika orang-orang golongan Jaba berbicara kepada golongan triwangsa diharapkan
menggunakan bahasa Bali dengan ragam tinggi (alus).
Namun ada pula orang Bali yang tidak
menerima pengaruh dari Majapahit tersebut. Mereka kemudian mengungsi ke
daerah-daerah melarikan diri dan bermukim di daerah-daerah pegnungan yang ada
di Bali dan mempertahankan bahasa asli mereka yang dikenal dengan orang Bali
Aga. Jadi secara regional bahasa bali kemudian dibagi menjadi dua ragam besar
yaitu dialek pegunungan (Bali Aga) dan dialek Bali Dataran yang masing-masing
memiliki subdialek. Dialek Bali Aga yang terdapat di Kabupaten Karangasem
meliputi daerah Tenganan, Bugbug, Asak, Timrah dan Seraya. Yang berada di
sekitar Danu Batur (kabupaten Bangli) meliputi daerah Kedisan, Trunyan, Songan,
Pinggan, Siakin, Kintamani, dan Sukawana. Yang terdapat di kabupaten Badung
meliputi daerah Seminyak dan Tihingan. Daerah Tabanan meliputi daerah
Belimbing, Bantiran, Sanda, Pandangan, Pujungan, Batungsel dan Wangaya. Daerah
Kabupaten Buleleng meliputi Sembiran, Sepang, Tigawasa, Sidatapa, dan Cempaga.
3.
Orang-Orang yang Mengguanakan Bahasa Bali
Penggunaan bahasa Bali ini sama seperti bahasa Indonesia, akan tetapi dalam
bahasa Bali mempunyai tingkatan-tingkatan yang digunakan untuk berkomunikasi
dengan seseorang dari wangsa yang bebeda. Tingkatan-tingkatan berbahasa
tersebut dapat dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu Basa Alus, Basa Madia, dan
basa Kasar
Tingkatan-tingkatan
tersebut digunakan pada saat berbicara dengan orang-orang dari kalangan yang
berbeda-beda.
1. Basa Alus
a.
Bahasa Alus digunakan pada saat ngastawa
Ida Sang Hyang Widhi, misalnya:
-
“Ratu Sang Hyang Widhi, titian
ngaturang bakti”.
-
“Ratu Sang Hyang Paramawisesa, Sang
sane ngawisesayang sarwa mauripe rauhing sane tan maurip maka sami, durus
bancut jiwan titiange mangkin”.
b.
Diucapkan pada saat berbicara dengan
Guru Loka (Sulinggih, Nabe, Guru pangajian/guru di sekolah), misalnya:
-
“Majeng ring Sang Rumaga Dosen, para
guru lan Sang Rumaga Acarya seosan, titian nunas ring Sang inonek mangda ledang
ngambil linggih genah sane sampun cumawis!”.
c.
Digunakan pada saat mengikuti
pemerintah, misalnya:
-
Palungguh Bapak Gubernur, Sang
Rumaga Manggala Praja Jagat Bali sane dahat baktinin titiang. Titiang nglungsur
gung ampura, antuk kakirangan titiang sajeroning nyanggra lan nyambrama
sapangrauh Bapak saha parampean sinamian”
d.
Digunakan pada saat berkomunikasi
dengan para sesepuh Pakraman, Dinas, orang-orang yang lebih tua dalam padubugan
di masyarakat dan tokoh-tokoh masyarakat, misalnya:
-
“mantuk ring Jero Bendesa
Pakraman………… titiang angayu bagia, riantuk Jerone sampun sida tedun ring genah
titiang puniki”’
e.
Digunakan pada saat berbicara di
pertemuan-pertemuan, misalnya:
-
“Inggih para Semeton sinamian sane
wangiang titiang, nawegang titiang matur sisip antuk kasep titiang rauh
mangkin”
f.
Digunakan untuk berbicara dengan
orang yang beru di kenal.
2. Basa Madia
Basa
Madia ini umumnya digunakan pada lingkungan keluarga. Pada saat berkumpul
dengan keluarga seperti: berbicara kepada anak, suami, dan saudara-saudara
lainnya. Contoh:
-
“ Memene , dinane buin mani
semengan, beli luas ka gunung, nyaan sediaang beli bekel saadane”
-
“ Nah beli, tiang tuara ja bani
tempal kapin pamunyin Beline”.
3. Basa Kasar
Basa
Kasar merupakan kata yang umum digunakan oleh masyarakat Bali untuk menunjukkan
sesuatu pada binatang. Demikian pula pada saat marah. Biasanya saat marah orang
akan mengeluarkan kata-kata kasar saat berbicara ataupun saat berkelahi/adu
mulut. Contoh:
-
“ Apa buin ane tagih amah Iba, buka
kene amah-amahan Ibane, Ibane tusing dadi baan Iba ngelekang!”
Tata
karma berbicara tersebut merupakan ciri dalam beretika dan bersopan santun
dalam kehidupan masyarakat. Tingkatan-tingkatan berbahasa ada pula yang disebut
dengan “rasaning basa” yang digolongkan kembali menjadi tiga
bagian yaitu:
a.
Basa Alus Singgih
Basa
Alus Singgih merupakan bahasa yang digunakan pada saat berbicara dengan orang
yang patut dihormati. Misalnya:
-
“ Sapemadegan Palunguh I Ratu nenten
wenten purun sane nguragada”
-
“ Titiang nglungsur lingga tangan I
Ratu, ledangan picayang sane mangkin”.
b.
Basa Alus Mider
Basa
Alus Mider merupakan bahasa alus yang digunakan kepada orang-orang yang berada
di bawah atau orang yang berada di atas atau bahasa yang memuat rasa
meninggikan orang yang patut ditinggikan. Misalnya:
-
“Titiang wawu rauh saking pasar!”.
-
“ Ida yukti lali ring dewek titian?”
-
“Bapak guru nibakang pamatut ring
sang iwang”
c.
Basa Alus Sor
Basa
Alus Sor merupakan bahasa yang diucapkan digunakan di bawah, oleh orang yang
merendahkan diri. Misalnya:
-
“ Titiang madrebe pianak wantah
kalih diri, ipun sampun masekolah ring SMA”
-
“ Titiang ngantenang gunung punika
saking dunungan titiang”
-
“ Pawehwehin ipun reraman
titiangwantah akidik”
4.
Mengapa Terjadi Bahasa yang Berkelas-Kelas
Seperti yang telah diketahui bahwa bahasa Indonesia berasal dari
berbagaii bahasa daerah. Diantara kelompok-kelompok bahasa daerah yang ada di
Indonesia, ada empat bahasa daerah yang memiliki tingkatan-tingkatan bahasa
yaitu bahasa Madura, bahasa Jawa, bahasa Sunda dan bahasa Bali. Diantara
keempat daerah itu bahasa Bali yang memiliki tingkatan-tingkatan bahasa yang
tingkat kerumitannya paling tinggi yang disebut anggah-ungguhing Basa Bali yang
disebabkan berdasarkan pelapisan masyarakat yang tradisional maupun lapisan
masyrakat yang modern.
Sehubungan
dengan itu untuk mengetahui tingkat-tingkatan dalam berbicara yang akan dipilih
haruslah diketahui latar belakang faktor social budaya orang Bali yang
merupakan faktor terpenting dalam menentukan pilihan tersebut. Dan yang
dimaksud dengan factor social ini tidak lain adalah struktur masyarakat Bali dewasa
ini baik secara tradisional maupun secara modern. Struktur tradisional disini
maksudnya adalah struktur masyarakat Bali berdasarkan pada system wangsa atau
kasta yang dijadikan pedoman untuk mengukur tinggi rendah kedudukan seseorang
menurut kelahiran atau keturunannya.
Akibat
kemajuan zaman, munculnya elite-elite baru (masyarakat kelas atas)
mengakibatkan terjadinya pergeseran dalam system pemakaian sor-singgih.
Masyarakat kelas terutama yang memegang jabatan formal, ekonomi kelas atas
selalu mendapat penghormatan dari masyarakat kelas bawah, seperti sopir, buruh
walaupun mereka berasal dari wangsa Brahmana, tetapi untuk saat ini tidak
berlaku lagi. Saat ini tidak lagi melihat kasta. Hal ini tercermin pula dalam
interaksi verbal. Masyarkat kelas bawah berbicara kepada kelas atas
berkecenderungan menggunakan bahasa Bali ragam tinggi.
Dari
uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa factor sosiallah yang pertama
menentukan pimilihan pemakaian bahasa yang berkelas seperti itu. Apabila orang
yang diajak berbicara itu sama status dan umurnya maka biasanya dipakai bentuk
kasar, tetapi apabila orang yang diajak berbicara tidak sama statusnya maka
dipilihlah bentuk hormat. Bentuk hormat ini juga bisa digunakan untuk orang
asing atau orang yang belum dikenal.
5. Eksistensi
penggunaan bahasa yang bertingkat pada era masa kini
Bahasa Bali sebagai
bahasa ibu sebagian besar etnis Bali memiliku kedudukan dan fungsi yang amat
penting. Interaksi verbal keseharian (terutama dalam keluarga) etnis Bali
selalu didominasi oleh pemakaian bahasa Bali, lebih-lebih lagi dalam
topik-topik pembicaraan yang bersifat tradisional, seperti membicarakan masalah
adat, kebudayaan, dan agama (Hindu). Makin formal pembicaraan yang terjadi
dalam keluarga, makin tinggi pula intensitas pemakaian bahasa Balinya. Dalam
rapat keluarga, pembicaraan rencana ngaben dan menikah misalnya, masih dominan
digunakan bahasa Bali. Sebaliknya, makin santai situasi pembicaraan,
lebih-lebih lagi topic yang dibicarakan mengarah ke topic modern, intensitas
penggunaan bahasa Bali akan menurun dan munculah pemakaian bahasa campuran.
Hal
ini secara jelas dapat dirasakan, betapa masyarakat Bali kelihatan adanya
penurunan hadap pemahaman dan kurangnya menghargai kekayaan makna dan nilai
yang terkandung dalam budaya tradisi tersebut. Bahkan dalam penggunan
ungkapan-ungkapan tradisional, betapa dalam dan tulusnya kandungan budaya
sebagai jelmaan hati nurani, tidak tertangkap seutuhnya. Sikap demikian, tidak
saja terjadi dalam masyarakat biasa tetapi, terjadi pula pada kaum elite
sebagai pewaris budaya dan pemilik bahasa Bali. Selain itu, keberadaan
masyarakat etnik Bali dengan bahasa Balinya dalam konteks berbangsa dan
bernegara di daerah provinsi Bali sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), melalui Undang-Undang Dasar 1945 telah ditetapkan bahwa
bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa Negara dan sekaligus sebagai pengikat
dan pemersatu bangsa Indonesia. Penetapan ini telah menjadikan bahasa Indonesia
sebagai bahasa resmi. Akibatnya masyarakat etnik Bali dalam pergaulan hidupnya
sehari-hari disamping menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar, juga
menggunakan bahasa Indoesia.
Pada
awalnya kedua bahasa ini mempunyai fungsi yang berbeda-beda dalam komunikasi
masyarakat etnik bali (sebagai masyarakat yang diglosik). Namun dalam
perkembangannya, sedikit demi sedikit diglosia itu mengalami degradasi akibat
berbagai factor. Akibatnya, penggunaan bahasa Bali secara perlahan-lahan
disusupi oleh unsure-unsur bahasa Indonesia. Kemudian sejumlah fungsi yang
semula dijalankan oleh bahasa Bali, berubah dan dijalankan oleh bahasa
Indonesia, seperti dalam kegiatan keluarga, interetnik, adat, agama, dan
sebagainya (hal ini tentu tidak sejalan dengan rekomendasi Kongres Bahasa Bali
V tahun 2001), yang merekomendasikan agar fungsi-fungsi bahasa Bali
dipertahankan pada ranah-ranah pemakaiannya (untuk kepentingan dalam keluarga,
interetnik, adat, agama, dsb) sebagaimana juda dimuat dalam rubric harian Bali
Post tanggal 17 November 2001.
Karena
pengaruh modern yang telah masuk ke dalam masyarakat Bali baik secara vertical
dan horizontal, telah muncul kelas social baru yang asalnya tidak dari golongan
triwangsa. Golongan baru ini merobah pemekaian kaidah berbahasa secara
tradisional itu sehingga pada suatu ketika menimbulkan pertentangan di dalam
masyarakat Bali. Oleh karena pengaruh modernisasi itu tidak dapat dibendung dan
dihalang-halangi maka terjadilah perobahan tentang pemakaian tingkat-tingkatan
berbicara terutama pada kalangan pergaulan.golongan modern.
Hal
ini Nampak tidak dipakainya lagi kata serapan bentuk hormat ratu, atu lalu
dialihkan dengan meminjam kata-kata dari bahasa Indonesia yang dianggap sebagai
kata netral yang tidak membedakan tinggi rendah wangsa seseorang seperti kata
Bapak atau Ibu.
SOR SINGGIH
1.
Bahasa yang Digunakan Orang Bali
Bahasa
Bali Kepara (modern, baru) merupaka bahasa Bali yang masih hidup dan terpakai
dalam konteks komunikasi lisan dan tulis bagi masyarakat Bali sampai sekarang.
Istilah bahasa Bali Kepara dalam bahasa Bali berarti ketah, lumbrah dan
dalam bahasa Indonesia berarti umum. Kepara mengenal adanya tingkatan-tingkatan
berbahasa yang disebut dengan “anggah-ungguhin basa” atau “sor-singgih basa”.
Dalam anggah-ungguhing basa tersebut dibagi kembali menjadi beberapa kelas yang
sering disebut basa kasar, basa alus madia dan basa alus mider. Sedangkan untuk
kata-kata yang digunakan di dalamnya dinamakan kruna mider (kata
netral), kruna kasar, kruna alus madia, kruna alus sor, kruna
alus mider dan kruna alus singgih.
Bahasa
Bali kepara mengenal dua jenis ejaan yaitu ejaan dengan huruf Bali dan huruf
latin. Penanaman bahasa Bali modern ini karena bahasa Bali kepara itu tetap
berkembang pada zamanr modern seperi sekarang ini. Kehidupan dan perkembangan
bahasa Bali modern yang juga merupakan sarana dan wahana kehidupan kebudayaan,
agama, dan adat istiadat masyarakat etnis Bali yang berkelanjutan dari zaman ke
zaman kerajaan, penjajahan, sampai zaman kemerdekaan termasuk zaman setelah
kemerdekaan. Bahasa Bali dalam perkembangannya sampai saat ini banyak
mendapat pengaruh dari bahasa Sanskerta, bahasa Jawa Kuna, bahasa Melayu,
Bahasa Arab, bahasa Prancis, bahasa Inggris, bahasa Sunda dan bahasa Lainnya.
2.
Mengapa Model Bahasa Seperi itu yang DIgunakan
Bahasa
Bali sampai memiliki tingkatan-tingkatan berbicara tidak bisa lepas dari
sejarah pembentukannya. Pada mulanya bahasa yang digunakan di Bali tidak
memiliki tingkatan-tingkatan berbicara seperti itu. Kemudian datang orang-orang
Majapahit yang kemudian mulai mempengaruhi kebudayaan-kebudayaan di Bali.
Terjadilah pergeseran kebudayaan besar-besaran pada saat itu. Wong Majapahit
yang merupakan orang-orang yang berada dalam lingkungan kerajaan mulai
mengelompokkan orang-orang Bali menjadi empat kasta atau wangsa yang sering
disebut dengan caturwangsa. Adapun pembagian-pembagian golongan tersebut
dikelompokkan kembali menjadi dua bagian yaitu triwangsa dan wangsa Jaba. Tri
wangsa terdiri dari kaum Brahmana, Kesatria, dan Weisia. Catur wangsa yaitu
pelapisan masyarakat secara tradisional di Bali sehingga terdapatlah bahasa
Bali dalam ragam rendah pada golongan rendah pada golongan Jaba. Sebaliknya
jika orang-orang golongan Jaba berbicara kepada golongan triwangsa diharapkan
menggunakan bahasa Bali dengan ragam tinggi (alus).
Namun ada pula orang Bali yang tidak
menerima pengaruh dari Majapahit tersebut. Mereka kemudian mengungsi ke
daerah-daerah melarikan diri dan bermukim di daerah-daerah pegnungan yang ada
di Bali dan mempertahankan bahasa asli mereka yang dikenal dengan orang Bali
Aga. Jadi secara regional bahasa bali kemudian dibagi menjadi dua ragam besar
yaitu dialek pegunungan (Bali Aga) dan dialek Bali Dataran yang masing-masing
memiliki subdialek. Dialek Bali Aga yang terdapat di Kabupaten Karangasem
meliputi daerah Tenganan, Bugbug, Asak, Timrah dan Seraya. Yang berada di
sekitar Danu Batur (kabupaten Bangli) meliputi daerah Kedisan, Trunyan, Songan,
Pinggan, Siakin, Kintamani, dan Sukawana. Yang terdapat di kabupaten Badung
meliputi daerah Seminyak dan Tihingan. Daerah Tabanan meliputi daerah
Belimbing, Bantiran, Sanda, Pandangan, Pujungan, Batungsel dan Wangaya. Daerah
Kabupaten Buleleng meliputi Sembiran, Sepang, Tigawasa, Sidatapa, dan Cempaga.
3.
Orang-Orang yang Mengguanakan Bahasa Bali
Penggunaan bahasa Bali ini sama seperti bahasa Indonesia, akan tetapi dalam
bahasa Bali mempunyai tingkatan-tingkatan yang digunakan untuk berkomunikasi
dengan seseorang dari wangsa yang bebeda. Tingkatan-tingkatan berbahasa
tersebut dapat dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu Basa Alus, Basa Madia, dan
basa Kasar
Tingkatan-tingkatan
tersebut digunakan pada saat berbicara dengan orang-orang dari kalangan yang
berbeda-beda.
1. Basa Alus
a.
Bahasa Alus digunakan pada saat ngastawa
Ida Sang Hyang Widhi, misalnya:
-
“Ratu Sang Hyang Widhi, titian ngaturang
bakti”.
-
“Ratu Sang Hyang Paramawisesa, Sang
sane ngawisesayang sarwa mauripe rauhing sane tan maurip maka sami, durus
bancut jiwan titiange mangkin”.
b.
Diucapkan pada saat berbicara dengan
Guru Loka (Sulinggih, Nabe, Guru pangajian/guru di sekolah), misalnya:
-
“Majeng ring Sang Rumaga Dosen, para
guru lan Sang Rumaga Acarya seosan, titian nunas ring Sang inonek mangda ledang
ngambil linggih genah sane sampun cumawis!”.
c.
Digunakan pada saat mengikuti pemerintah,
misalnya:
-
Palungguh Bapak Gubernur, Sang
Rumaga Manggala Praja Jagat Bali sane dahat baktinin titiang. Titiang nglungsur
gung ampura, antuk kakirangan titiang sajeroning nyanggra lan nyambrama
sapangrauh Bapak saha parampean sinamian”
d.
Digunakan pada saat berkomunikasi
dengan para sesepuh Pakraman, Dinas, orang-orang yang lebih tua dalam padubugan
di masyarakat dan tokoh-tokoh masyarakat, misalnya:
-
“mantuk ring Jero Bendesa
Pakraman………… titiang angayu bagia, riantuk Jerone sampun sida tedun ring genah
titiang puniki”’
e.
Digunakan pada saat berbicara di
pertemuan-pertemuan, misalnya:
-
“Inggih para Semeton sinamian sane
wangiang titiang, nawegang titiang matur sisip antuk kasep titiang rauh
mangkin”
f.
Digunakan untuk berbicara dengan
orang yang beru di kenal.
2. Basa Madia
Basa
Madia ini umumnya digunakan pada lingkungan keluarga. Pada saat berkumpul
dengan keluarga seperti: berbicara kepada anak, suami, dan saudara-saudara
lainnya. Contoh:
-
“ Memene , dinane buin mani
semengan, beli luas ka gunung, nyaan sediaang beli bekel saadane”
-
“ Nah beli, tiang tuara ja bani
tempal kapin pamunyin Beline”.
3. Basa Kasar
Basa
Kasar merupakan kata yang umum digunakan oleh masyarakat Bali untuk menunjukkan
sesuatu pada binatang. Demikian pula pada saat marah. Biasanya saat marah orang
akan mengeluarkan kata-kata kasar saat berbicara ataupun saat berkelahi/adu
mulut. Contoh:
-
“ Apa buin ane tagih amah Iba, buka
kene amah-amahan Ibane, Ibane tusing dadi baan Iba ngelekang!”
Tata
karma berbicara tersebut merupakan ciri dalam beretika dan bersopan santun
dalam kehidupan masyarakat. Tingkatan-tingkatan berbahasa ada pula yang disebut
dengan “rasaning basa” yang digolongkan kembali menjadi tiga
bagian yaitu:
a.
Basa Alus Singgih
Basa
Alus Singgih merupakan bahasa yang digunakan pada saat berbicara dengan orang
yang patut dihormati. Misalnya:
-
“ Sapemadegan Palunguh I Ratu nenten
wenten purun sane nguragada”
-
“ Titiang nglungsur lingga tangan I
Ratu, ledangan picayang sane mangkin”.
b.
Basa Alus Mider
Basa
Alus Mider merupakan bahasa alus yang digunakan kepada orang-orang yang berada
di bawah atau orang yang berada di atas atau bahasa yang memuat rasa meninggikan
orang yang patut ditinggikan. Misalnya:
-
“Titiang wawu rauh saking pasar!”.
-
“ Ida yukti lali ring dewek titian?”
-
“Bapak guru nibakang pamatut ring
sang iwang”
c.
Basa Alus Sor
Basa
Alus Sor merupakan bahasa yang diucapkan digunakan di bawah, oleh orang yang
merendahkan diri. Misalnya:
-
“ Titiang madrebe pianak wantah
kalih diri, ipun sampun masekolah ring SMA”
-
“ Titiang ngantenang gunung punika
saking dunungan titiang”
-
“ Pawehwehin ipun reraman
titiangwantah akidik”
4.
Mengapa Terjadi Bahasa yang Berkelas-Kelas
Seperti yang telah diketahui bahwa bahasa Indonesia berasal dari
berbagaii bahasa daerah. Diantara kelompok-kelompok bahasa daerah yang ada di
Indonesia, ada empat bahasa daerah yang memiliki tingkatan-tingkatan bahasa
yaitu bahasa Madura, bahasa Jawa, bahasa Sunda dan bahasa Bali. Diantara
keempat daerah itu bahasa Bali yang memiliki tingkatan-tingkatan bahasa yang
tingkat kerumitannya paling tinggi yang disebut anggah-ungguhing Basa Bali yang
disebabkan berdasarkan pelapisan masyarakat yang tradisional maupun lapisan
masyrakat yang modern.
Sehubungan
dengan itu untuk mengetahui tingkat-tingkatan dalam berbicara yang akan dipilih
haruslah diketahui latar belakang faktor social budaya orang Bali yang
merupakan faktor terpenting dalam menentukan pilihan tersebut. Dan yang
dimaksud dengan factor social ini tidak lain adalah struktur masyarakat Bali
dewasa ini baik secara tradisional maupun secara modern. Struktur tradisional
disini maksudnya adalah struktur masyarakat Bali berdasarkan pada system wangsa
atau kasta yang dijadikan pedoman untuk mengukur tinggi rendah kedudukan
seseorang menurut kelahiran atau keturunannya.
Akibat
kemajuan zaman, munculnya elite-elite baru (masyarakat kelas atas)
mengakibatkan terjadinya pergeseran dalam system pemakaian sor-singgih.
Masyarakat kelas terutama yang memegang jabatan formal, ekonomi kelas atas
selalu mendapat penghormatan dari masyarakat kelas bawah, seperti sopir, buruh
walaupun mereka berasal dari wangsa Brahmana, tetapi untuk saat ini tidak
berlaku lagi. Saat ini tidak lagi melihat kasta. Hal ini tercermin pula dalam
interaksi verbal. Masyarkat kelas bawah berbicara kepada kelas atas
berkecenderungan menggunakan bahasa Bali ragam tinggi.
Dari
uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa factor sosiallah yang pertama
menentukan pimilihan pemakaian bahasa yang berkelas seperti itu. Apabila orang
yang diajak berbicara itu sama status dan umurnya maka biasanya dipakai bentuk kasar,
tetapi apabila orang yang diajak berbicara tidak sama statusnya maka dipilihlah
bentuk hormat. Bentuk hormat ini juga bisa digunakan untuk orang asing atau
orang yang belum dikenal.
5.
Eksistensi penggunaan bahasa yang bertingkat pada era masa kini
Bahasa Bali sebagai
bahasa ibu sebagian besar etnis Bali memiliku kedudukan dan fungsi yang amat
penting. Interaksi verbal keseharian (terutama dalam keluarga) etnis Bali
selalu didominasi oleh pemakaian bahasa Bali, lebih-lebih lagi dalam
topik-topik pembicaraan yang bersifat tradisional, seperti membicarakan masalah
adat, kebudayaan, dan agama (Hindu). Makin formal pembicaraan yang terjadi
dalam keluarga, makin tinggi pula intensitas pemakaian bahasa Balinya. Dalam
rapat keluarga, pembicaraan rencana ngaben dan menikah misalnya, masih dominan
digunakan bahasa Bali. Sebaliknya, makin santai situasi pembicaraan,
lebih-lebih lagi topic yang dibicarakan mengarah ke topic modern, intensitas
penggunaan bahasa Bali akan menurun dan munculah pemakaian bahasa campuran.
Hal
ini secara jelas dapat dirasakan, betapa masyarakat Bali kelihatan adanya
penurunan hadap pemahaman dan kurangnya menghargai kekayaan makna dan nilai
yang terkandung dalam budaya tradisi tersebut. Bahkan dalam penggunan ungkapan-ungkapan
tradisional, betapa dalam dan tulusnya kandungan budaya sebagai jelmaan hati
nurani, tidak tertangkap seutuhnya. Sikap demikian, tidak saja terjadi dalam
masyarakat biasa tetapi, terjadi pula pada kaum elite sebagai pewaris budaya
dan pemilik bahasa Bali. Selain itu, keberadaan masyarakat etnik Bali dengan
bahasa Balinya dalam konteks berbangsa dan bernegara di daerah provinsi Bali
sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), melalui
Undang-Undang Dasar 1945 telah ditetapkan bahwa bahasa Indonesia adalah sebagai
bahasa Negara dan sekaligus sebagai pengikat dan pemersatu bangsa Indonesia.
Penetapan ini telah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi. Akibatnya
masyarakat etnik Bali dalam pergaulan hidupnya sehari-hari disamping
menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar, juga menggunakan bahasa
Indoesia.
Pada
awalnya kedua bahasa ini mempunyai fungsi yang berbeda-beda dalam komunikasi
masyarakat etnik bali (sebagai masyarakat yang diglosik). Namun dalam
perkembangannya, sedikit demi sedikit diglosia itu mengalami degradasi akibat
berbagai factor. Akibatnya, penggunaan bahasa Bali secara perlahan-lahan
disusupi oleh unsure-unsur bahasa Indonesia. Kemudian sejumlah fungsi yang
semula dijalankan oleh bahasa Bali, berubah dan dijalankan oleh bahasa
Indonesia, seperti dalam kegiatan keluarga, interetnik, adat, agama, dan
sebagainya (hal ini tentu tidak sejalan dengan rekomendasi Kongres Bahasa Bali
V tahun 2001), yang merekomendasikan agar fungsi-fungsi bahasa Bali dipertahankan
pada ranah-ranah pemakaiannya (untuk kepentingan dalam keluarga, interetnik,
adat, agama, dsb) sebagaimana juda dimuat dalam rubric harian Bali Post tanggal
17 November 2001.
Karena
pengaruh modern yang telah masuk ke dalam masyarakat Bali baik secara vertical
dan horizontal, telah muncul kelas social baru yang asalnya tidak dari golongan
triwangsa. Golongan baru ini merobah pemekaian kaidah berbahasa secara
tradisional itu sehingga pada suatu ketika menimbulkan pertentangan di dalam
masyarakat Bali. Oleh karena pengaruh modernisasi itu tidak dapat dibendung dan
dihalang-halangi maka terjadilah perobahan tentang pemakaian tingkat-tingkatan
berbicara terutama pada kalangan pergaulan.golongan modern.
Hal
ini Nampak tidak dipakainya lagi kata serapan bentuk hormat ratu, atu lalu
dialihkan dengan meminjam kata-kata dari bahasa Indonesia yang dianggap sebagai
kata netral yang tidak membedakan tinggi rendah wangsa seseorang seperti kata
Bapak atau Ibu.
1. Basa kasar inggih punika basa
Bali sané rasa basanipun pinih sor, basané puniki wénten kalih soroh, inggih
punika: basa kasar pisan, lan basa kasar jabag. Basa Kasar Pisan inggih
punika basa Bali sané kasar pisan, sering kapiragi ri tatkala anaké sedek
marebat, upami: “Iba jelema bungut-bungut dogén”. Basa kasar jabag, inggih
punika basa sané tan anut ring ungguhan miwah kawéntenan, tan nganutin
kasusilan, basa sasar, angkuh, sombong bas bangga ring padéwékan, kanggén
olih i kawula ring sang patut jungjungan utawi patut singgihang, upami:
“Dayu, kija ibi luas?
2. Basa Andap inggih punika undagan basa sané kanggén ri tatkala mabaosan ring sawitra leket lan sopan nganutin kasusilan, awanan sering kabaos basa kasar sopan, basa Bali lumrah utawi kapara. Basané puniki kanggén ring pergaulan akrab, pepaden jeroning kawangsan, unggwan, yusa, miwah basa ring kulawarga. Basané puniki manut ring pangandikan suarjanané, sering kanggén olih wangsa jaba. Upami: “Bli Gus kija, paling mbok Nyoman ngalihin.” 3. Basa Madia inggih punika undagan basa Bali, sané ungguhanipuné amadyana, rasa basanipuné pantaraning basa andap lan basa alus, tegesipuné nénten ja alus taler nénten ja kasar, basa madiané puniki kanggén olih sang sinuhun ri kala niwakang babaos, panganika ring sang nyuhun. Basané puniki kawangun mula saking basa madia utawi kawangun saking basa alus antuk ngirangin salah tunggal aksaranipuné, sakadi: “titiang manados tiang, sampun manados ampun, punika manados nika. Upami: “Ajak sira ragané mriki?” ampunang drika negak!, “ampunang drika ngoyong, drika nak kebus pengeng nyén!” 4. Basa alus inggih punika undagan basa Bali sane madué rasa sané inggil utawi dahating singgih rasanipun, biasané basa puniki kanggén ring peparuman, pasangkepan, indik agama, adat lan salanturipun sané mapaiketan ring kawéntenan mabuat. Basa alusé puniki wénten tigang soroh, sakadi: Basa Alus Sor, Basa Alus Mider, lan Basa Alus Singgih. Basa alus sor inggih punika basa alus sané kanggén nyihnayang padéwékan, ngangkebin padéwékan saking rasa bangga miwah angkuh, ningkesang sang sané kabaosang, tatkala matur-atur ring sang patut singgihang, inggil jroning unggwan ring pakraman. Upami: “Icén titiang nglungsur asiki.” Basa alus mider inggih punika basa alus sané dados kanggén sareng sami, napiké olih sang patut singgihang utawi sang nyinggihang, napiké olih triwangsa lan jaba, upami: “Ida sampun mamargi, ipun taler sampun mamargi. “Bapan titiangé polih makarya mangkin, ida taler polih makarya mangkin.” Basa alus singgih inggih punika basa alus sané kanggén nyinggihang sang patut singgihang, tan patut nyinggihang padéwékan. “Yéning wénten karya ring gria nikain titiang”, “Ratu akuda sampun polih ngetik? 5. Basa mider inggih punika basa sané tan kapanggih alus ipun, wangunipuné wantah asiki, tan wénten kapanggih dasa naman ipun, awanan tan wénten jaga pilihin, riantukan asapunika, raris krunané punika kanggén sareng sami. Upami: Ratu sampunang irika nyongkok! Ipun irika nyongkok tatkala titiang nglintang, ia ditu nyongkok ajaka timpal-timpalné dugas I Madé kélangang gelang.
SOR
SINGGIH BASA
Ring
Majalah Widya Pustaka sane kamedalang olih Falkutas Sastra Universitas
Udayana Denpasar bulan mei 1984 ngunggahang mawarna – warni perangan sor
singgih basa, sakadi ring sor puniki :
1. Kalih soroh :
a) Basa kasar
b) Basa alus
2. Tigang soroh :
a) Basa kasar
b) Basa madia
c) Basa alus
Sane lianan wenten :
1.
Tigang soroh
a) Basa kasar
b) Basa kapara/ ketah, lumbrah
c) Basa alus
2. Tigang Soroh
a) Basa sor
b) Basa madia
c) Basa singgih
3. Petang Soroh
a) Basa kasar
b) Basa andap
c) Basa madia
d) Basa alus
4. Limang soroh :
a) Basa kasar
b) Basa alus
c) Basa singgih
d) Basa ipun
e) Basa madia
Yening
selehin perangan undag – undagan sor singgih basa inucap ring ajeng
pakantenannya mabina – binayan, sakewanten penerapanipun yening sampun
mabebaosan pateh kemaon.
Ring
sajeroning Majalah Widya Pustaka kaca 19 – 26 taun 1984 kabaosang istilah kapara
punika tan anut, santukan kapara madue arti lumbrah utawi ketah. Basa
sane mangge mangkin taler kabaosang ngarangkus rauhing basa alus.
Sapunika
taler ring buleleng lumbrah maosang basa sane mangge mabebaosan ring
pagubungan utawi kulawarga jaba saraina – raina boya ja kabaosang basa kasar.
Punika wantah marupa basa kasamen utawi basa kapara, sane wirasanipun
boya ja alus taler boya ja kasar.
Saantukan
asapunika kaananipun, pangaptin titiang mangda sami – sami ngenen, istilah
perangan basa punika kawaliang sakadiwedipun, inggih punika : Basa sor rauhing
Basa singgih
BASA
SINGGIH
Basa singgih inggih punika basa
sane kanggen nyungjungang ri kala matur – matur majeng ring :
1)
I Triwangsa
2)
Sang ngamong jagat/ mapangkat
3)
Atiti sane sane durung wauh
BASA
SOR
Basa sor, inggih punika basa
mangge mabebaosan marep ring :
1)
Wangsa andapan
2)
Sesamen wangsa jaba
3)
Pasawitran sane luket utawi ri kala maiyegan
Perangaipun sane tegep sakadi ring
sor puniki :
· Basa singgih
1.
Basa alus singgih ( a. si )
2.
Basa alus sor ( a. so )
3.
Basa alus madia ( a. ma )
4.
Basa alus mider ( a. mi )
· Basa sor :
1.
Basa kasamen ( b. s )
2.
Basa kasar ( b. k )
Basa singgih :
Basa alus singgihØ
Basa alus singgih mangge ritatkala
matur – atur majeng ring wangsa sane tegehan utawi ring janma sane patut
jungjungang/ singgihang. Lengkara – lengkara sane kanggen mabebaosang punika
marupa kruna – kruna sane sampun kaanutang, upami : seda ( = mati, wafat )
mantuk ( = mulih, pulang )
ngandika (= ngomong, bersabda )
ngaksi ( = ningalin, melihat )
mireng ( = madingehang, mendengar
)
ida ( = ia, beliau )
wikan ( = dueg, pandai )
parab ( = adan, nama )
gria ( = umah, istana )
ngrayunang ( = madaar, santap )
Basa alus sorØ
Basa alus sor mangge ngandapang
raga ri kala matur – atur ring wangsa sane tegehan utawi sane patut
singgihang. Kruna – kruna sane mangge matur – matur marupa kruna – kruna sane
alus sor, upami :
padem ( = mati, meninggal )
budal (= mulih, pulang )
matur ( = ngomong, berkata )
ngatonang (= ningalin, melihat )
miragi ( = ningeh, mendengar )
ipun ( = ia, dia )
tambet ( = belog, bodoh )
wasta ( = adan, nama )
pacanggahan ( = umah, rumah )
nglungsur ( = madaar, makan )
Basa alus madiaØ
Basa alus madia, marupa basa bali
alus sane wirasanipun tengah – tengah, dados mangge marep ring wangsa
tegehan, sesamen triwangsa miwah wangsa andapan sane patut jungjungang, upami
:
tiang, wit saking titiang ( =
icang, saya )
niki, wit saking puniki ( = ene,
ini )
nika, nit saking punika ( = ento,
itu )
ten, wit saking nenten ( = tusing,
tidak )
napi, wit saking punapi ( = apa,
apa )
ampun, wit saking sampun ( = suba,
sudah )
sira, wit saking sapasira ( =
nyen, siapa )
sirep ( = pules, tidur )
margi ( jalan, mari )
mriki ( mai, kemari )
ajeng ( daar, makan )
Basa alus miderØ
Basa malus mider marupa basa alus
sane ngrias kagunanipun ri kala mabebaosan marep ring wangsa sane tegehan
utawi ring wangsa andapan sane patut jungjungang, upami :
rauh (= teka, datang )
kanin (= matatu, luka )
mamargi (= majalan, berjalan )
lali (= engsap, lupa )
jinah (= pipis uang )
gelis (= enggal, cepat )
raris ( = lantas, lalu )
ayam (= siap, ayam )
puput (= pragat, selesai )
alit (= cerik,kecil )
Basa sorØ
a. Basa
kasamen/ kapara.
Kasamen, kruna lingganipun
saking sami, polih panganter ka rauhin pangiring an dados kasamian,
kasandiang dados kasamen. Dados basa kasamen artinipun basa sor sane dados
anggen sareng sami saha wirasanipun tan ja nyinggihang maliha tan ja
ngandapang, upami : cening mara teka ?
Lengkara puniki sami – sami
dados nganggen sajeroning mabebaosan. I Triwangsa nganggen asapunika taler I
Jaba dados nganggen.
upami
:
1).Sasamen jaba :
Rikala mabebaosan marep ring
paturu jaba sajeroning
pagubungan.
I Bapa
ngomong," Cening mara teka ?"
I Cening
masaut," Icang mara teka Bapa".
2).I Triwangsa
Ri kala
mabebaosan marep ring Jaba.
Ida Pranda
ngadika," Cening mara teka ?"
I Cening
matur," Titiang wau Ratu Pranda".
Lengkara : "Cening mara
teka" ring buleleng lumbrah kawastanin basa kapara, sane wirasanipun
krasayang tan ja alus maliha tan ja kasar. Saantukan wenten sane tan cupu (?)
ring istilah kapara, punika awinan gentosin titiang antuk istilah kasamen.
Conto – conto :
Kruna kasamen :
gedeg ( marah
) icang ( saya
)
nasi ( nasi
)
kema ( ke sana )
mai ( mari )
madaar ( makan )
pules ( tidur )
singgah ( mampir )
b. Basa kasar
Basa kasar puniki taler marupa
basa sor, sane katibakang marep ring pasawitran sane luket utawi ri kala maiyegan.
Kruna _ kruna sane mange, upami :
leklek ( daar, makan )
cicing (cicing, anjing )
nani ( cai, kamu lelaki )
tidik ( daar, makan )
bangka ( mati )
beler ( kual, kurang ajar )
ibe ( cai, kue, kamu )
siga ( nyai, kamu wanita )
medem ( pules, tidur )
Sumber
: Buku Sor Singgih Basa Bali
ANGGAH-UNGGUHING
BASA BALI
Pengantar
Anggah-ungguhing basa Bali adalah istilah untuk tingkatan-tingkatan bahasa
dalam bahasa Bali, yang pemakaiannya telah diresmikan dalam Pesamuhan Agung
(Loka Karya) Bahasa Bali III tahun 1974 di Singaraja. Sebelumnya ada beberapa
istilah untuk menyebutkan tingkatan-tingkatan bahasa dalam bahasa Bali,
antara lain : Masor Singgih atau Sor Singgih Basa, Kasar-Alus,
Undag-undagan Basa, dan Warna-warna Bahasa (Suasta: 14). Dari
beberapa istilah trsebut, yang paling sering kita dengarkan dan sering diucapkan
masyarakat suku Bali sampai sekarang adalah Sor Singgih Basa.
Berdasarkan tatacara pembentukan anggah-ungguhing basa Bali, maka yang paling
mendasar untuk dipahami dalam ussaha meningkatkan kemampuan berbicara dengan
bahasa Bali adalah perbedaan rasa bahasa kata-kata bahasa Bali. Berdasarkan
rasa bahasanya kata-kata bahasa Bali dapat dibedakan menjadi empat, yaitu :
(1) kata alus; (2) kata mider; (3) kata andap; dan (4) kata kasar.
A. KATA
ALUS (Kruna Alus)
Kata alus (Kruna alus) berdasarkan rasa bahasanya dapat dibedakan juga
menjadi empat, yaitu: (a) kata alus singgih; (b) kata alus madia; (c)
kata alus mider; dan (d) kata alus sor.
a)
Kata Alus Singgih
Kata Alus
Singgih adalah kata alus yang pada umumnya digunakan untuk menghormati
seseorang yang patut dihormati.
Contohnya:
1. séda, lebar, lina 'meninggal' (Ida Peranda
sampun séda/lebar/lina).
2. ngandika 'berbicara' (Titiang nunas mangda i ratu
dumunan ngandika).
3. mobot 'hamil' (Rabinida mangkiin sampun mobot)
4. ngaksi, nyuryanin 'melihat' (Ida sané polih ngaksi paksi
ring taman).
5. makolem 'tidur' (Ajinida kantun makolem ring
gedong).
6. ica 'tertawa' (Ida makasami ica mirengang aturipun).
7. sungkan 'sakit' (Ida kantun sungkan).
8. maputra 'punya anak' (Arinida ring Jawi mangkin sampun
maputra).
9. marayunan 'makan' (Ida kantun marrayunan ring
perantenan).
10. mabaos
'berbicara' (Ida mangda polih mabaos dumun, wawu budal), dst.
b)
Kata Alus Madia
Kata Alus
Madia adalah kata alus yang rasa bahasanya madia (menengah), yang pada
umumnya digunakan dalam berbicara pada seseorang yang belum dikenal, pada
seseorang yang hubungan keakrabannya belum begitu akrab. Kata alus madia
berdasarkan bentuk dan rasa bahasanya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
1) Kata
alus madia yang memang rasa bahasanya alus madia.
Contohnya:
1.sirah 'kepala' (Sirah
tiangé sakit ibi sanja).
2.sirep 'tidur' (I Mémé kari
sirep di baléné).
3.ngajeng 'makan' (I Bapa
ngajeng biu malablab), dst.
2) Kata
alus madia yang berasal dari kependekan bentuk alus yang lainnya.
Contohnya:
1.
ten 'tidak' -> kependekan dari
kata nénten (Tiang ten maan kema).
2.
tiang 'saya' -> kependekan dari
kata titiang (Tiang ten polih merika).
3.
ampun 'sudah' -> kependekan
dari kata sampun (Tiang ampun polih jinah).
4.
nika 'itu' -> kependekan dari
kata punika (Tiang nika sané ngambil).
5.
niki 'ini' -> kependekan dari
kata puniki (Baju niki ané anggona).
6.
sira 'siapa' -> kependekan dari
kata sapasira (Sira sané ngambil ayamé?).
7.
napi 'apa' -> kependekan dari
kata sapunapi (Napi sané ngutgut jajané?), dst.
c)
Kata Alus Mider
Adalah kata alus yang dapat
digunakan untuk menghormati seseorang yang patut dihormati, dan dapat pula
digunakan untuk merendahkan orang yang patut direndahkan. Berdasarkan hal
ini, maka kata alus mider memiliki tiga ciri, yaitu dapat digunakan untuk
menghormati, dapat digunakan untuk merendahkan diri, dan memiliki rasa bahasa
andap dalam bentuk kata lainnya (Suasta:26).
Perlu
diperhatikan bahwa, stiap kata (kruna) dalam bahasa Bali ada yang
memiliki bahasa alus (padanan kata) lebih dari satu dan ada juga yang tidak
memiliki bahasa alus (padanan). Kata dalam bahasa Bali yang hanya memiliki
satu padanan kata alus, maka kata alus tersebut disebut kata alus mider,
sedangkan kata yang netral atau tidak memiliki bahasa alus maupun kasar
disebut kata mider (kruna mider).
Contohnya :
1. éling 'ingat' (Ida kantun éling ring titiang, ipun naler
éling).
2. sareng 'turut' (Ida sareng maboros, ipun taler sareng).
3. rauh 'datang' (Ratu rauh meriki jagi tangkil, titiang rauh
meriki naler jagi tangkil).
4. malih 'lagi' (Bénjang ipun jagi nunas malih, i ratu pacang
mapaica malih?).
5. polih 'dapat' (Titiang polih nyingakin paksiné ring taman,
i ratu polih ngaksinin?).
6. pacang 'akan' (Biang i ratu pacang lunga ka pasar, pacang
kairing antuk ipun).
7. lali 'lupa' (Ipun sampun lali, i ratu sampunang lali).
8. sampun 'sudah' (Titiang sampun uning, Ida Gusti Patih
taler sampun uning).
9. durung 'belum' (Rakan i ratu durung rauh, naler ipun
parekané durung).
10. gelis
'cepat' (Ida mamargi gelis ka purian, titiang gelis ngambilang wastranidané).
d)
Kata Alus Sor
Adalah
kata alus yang dapat digunakan untuk merendahkan diri dan merendahkan
seseorang yang patut direndahkan (keandapang).
Contohnya :
1. mawasta 'bernama' (Titiang mawasta I Bodo).
2. maurip 'hidup' (Amonto sakit ipun, rauh mangkin I Nengah
kantun maurip).
3. miragi 'mendengar' (Titiang sampun miragi ortiné punika).
4. neda 'makan' (Asunidané sampun neda sanganan).
5. néwék 'sendiri' (Titiang rauh meriki néwék).
6. nunas 'minta' (Ipun rahina bénjang pacang nunas ka puri).
7. mapajar 'berkata' (Bapan titiang mapajar asapunika).
8. buntut 'kaki' (Buntut titiangé semutan kantos ngejer).
9. padem 'meninggal' (Mémén ipun sampun padem).
10. ngwehin
'memberi' (Dadong titiangé ngewehin jinah iwawu).
11. titiang
'saya' (titiang matur sisip ratu).
B. KATA
MIDER (Kruna Mider)
Kata mider adalah kata yang rasa
bahasanya netral. Maksudnya kata-kata mider tidak memiliki rasa bahasa yang
berbeda, sehingga dalam pemakaiannya tidak memiliki bentuk yang lain (Suasta:
31). Kata mider dalam pemakaiannya bisa digunakan untuk berbicara dengan
orang yang memang patut dihormati, orang yang lebih tua, orang yang tak dikenal,
maupun pada orang yang lebih rendah (jaba/kawula). Kata mider ini
hanya memiliki satu bentuk saja, tanpa memiliki padanan alus maupun kasar,
sehingga penggunaannya bisa saya katakan manasuka (pada siapa pun bisa
diucapkan).
Contohnya:
1. gulem 'mendung' (Gulemé nyansan
tebel ring langité tegeh).
2. kaang 'karang' (Ring segara
makéh wénten kaang, tongos mengkeb béné ané cenik-cenik).
3. kambing 'kambing' (Reraman
titiangé sané miara kambingé).
4. ngejer 'gemetar' (Preraganidané
kantos ngejer duké sabehan ring margi).
5. kija 'kemana' (I Ratu mangkin jagi
lunga kija?).
6. dija 'dimana' (Dija wénten
balih-balihan dibi sandé?).
7. bunter 'bulat' (Pulung-pulung
punika kirangan bunter).
8. gilik 'bulat panjang' (Kantos
gilik katik jatahé antuk ida ngerotin).
9. nyongkok 'jongkok' (Ida Peranda
nyongkok ring bataran gedongé).
10. ngepung
'mengejar' (Ida kantun ngepung ayam).
11. tembok
'tembok' (Tembok gedong idané kantun macét).
12. payuk
'periuk' (Sira ngambil payuké ring pwaregan?).
13. bulu
'bulu' (Duagung Gde ngarsayang bulun ayam).
14. manas
'nanas', kangkung, bluluk 'kolang-kaling' (Ida Duagung Biang ka pasar numbas
manas, kangkung, lan bluluk).
15. ender
'kejar', katanjung 'tersandung' (Gung Alit cokornyané katanjung daweg ngender
layangan ring alun-alun) dst.
C. KATA
ANDAP (Kruna Andap)
Kata andap adalah yang memiliki
nilai rasa bahasa biasa, tidak kasar, dan juga tidak halus. Apabila rasa
bahasa kata andap dipertentangkan dengan rasa bahasa kata alus, maka rasa
bahasa kata andap adalah dalam tinggkatan rasa bahasa rendah. Kata andap
digunakan dalam berbicara antar seseorang yang telah akrab, yang bersifat
kekeluargaan antara sesama wangsa, dan juga apabila golongan atas berbicara
dengan golongan bawah. Kata andap juga disebut dengan istilah kata kasar
sopan atau kata lepas hormat (Suasta: 34).
Contohnya:
1. apa
: Apa aliha I Nyoman mameteng di teba?
2. suba
'sudah' : Bapa
jani suba maan meli uyah.
3. pipis
'uang'
: Meme
ngelah pipis duang tali rupiah.
4. baas
'beras'
: Ene baas
ane adepa di warung.
5. tonden
'belum' : Dugas dibi tiang tonden maan
singgah ka Denpasar.
6. kedis 'burung'
: Kedis ane di gedonge belina di peken
Satria kin I Bapa.
7. batis 'kaki'
: Batis I Kadeke katanjung di puan di kayehan.
8. bok 'rambut'
: Gung Joni mabok gempel.
9. bedak 'haus'
: Bibihe bedak sajan
uli tuni.
10. lima
'tangan' : Limane matatu
dugase ngarit dibi.
11. panak
'anak' : Men Dana
ngelah panak dadua.
12. nasi
: Dija I Made meli nasi?
13. pula
'tanam' : Bunga
sandate kisidang pula di sanggah.
14. gedeg
'marah' : Bli Kadek sebengne angus,
mirib ulian gedeg basangne.
15. tendas
'kepala' : I Ketut tunian nimpug tendas
cicinge baan batu.
16. nyuh
'kelapa' : Di tegale liu ada nyuh
suba wayah.
17. ene
'ini'
: Ene mula pragina ane paling bauda.
18. ento
'itu'
: Ane ngajahin di sekolah, ento madan guru.
19. aba
'bawa' :
Yen cai lakar mulih, ingetang aba laware.
20. idih
'minta' : Wayan
ngelah uyah? Idih abedik lakar anggon nyangin jukut.
D. KATA
KASAR (Kruna Kasar)
Kata kasar adalah kata yang rasa
bahasanya kasar. Kata-kata kasar digunakan terutama dalam keadaan atau
kondisi marah atau jengkel, sehingga sering digunakan dalam bertengkar, dalam
bercacimaki (Suasta : 36). Namun belakangan ini kata-kata kasar juga sering
digunakan diluar konteks bertengkar, seperti saat bercanda dan terkejut. Saat
bercanda, penutur akan melihat lawan bicaranya sebelum bercanda menggunakan
bahasa kasar, biasanya penutur telah memiliki hubungan yang dekat/akrab.
Contohnya:
1.
pantet 'makan'
: Mantet dogenan gaen ibane, sing ja seleg
magae.
2.
tidik 'makan'
: Apa kar tidik nyai kemu?
nganten ka umah jelema lacur.
3.
segseg 'makan'
: To suba segseg telahang, pang kanti puntedan
batukayane.
4.
bangka 'mati'
: Bangka iba jani, wake sing
peduli teken cai.
5.
cai/ci 'kamu'
: Cai jelema jele goba
jele hati.
6.
Cang 'saya'
: Cang orahang
ci jejeh? da mangid bungute mapeta nah.
7.
mamelud
'tidur' : Bangunang iban caine, pragat mamelud dogen.
8.
Iba 'kamu'
:
Leak iba, dadi wake dengenga?
9.
nani 'kamu'
: Nyebak bungut
nanine dini, magedi nani ling jumah kolone.
10.
sin keleng (umpatan tabu), dll.
Contoh
di atas saya sajikan sedemikian rupa, bukan berarti saya mengajak pembaca
semua untuk berkata-kata kasar. Marilah mencermani kasanah bahasa Bali dengan
bijak, karena ini merupakan salah satu kekayaan budaya Bali.
Walaupun ada pembagian kata-kata bahasa Bali berdasarkan rasa bahasanya,
tidaklah berarti semua kata-kata dalam bahasa Bali memiliki rasa bahasa yang
lengkap. Contohnya kata cunguh 'hidung' memiliki alus singgih ungasan
dan irung, namun tidak memiliki rasa bahasa alus sor, alus madia,
maupun alus mider. Kata newek 'sendiri' tidak memiliki rasa bahasa
alus singgih, alus madia, maupun alus mider. Ia hanya memiliki rasa bahasa
andap yaitu padidi. Hal inilah yang menyebabkan komunikasi dengan
bahasa Bali sepertinya terganggu. Namun apabila telah memahami betul rasa
bahasa Bali, maka gangguan yang dirasakan akan dapat dihilangkan, sebagaimana
contoh-contoh pemakaian masing-masing yang disajikan di depan. Tampak benar
pleksibelitas pemakaian kata-katanya sesuai dengan keadaan rasa bahasa yang
dimiliki. Untuk merasakan rasa bahasa yang baik dan benar dalam suatu
komunikasi, memang memerlukan latihan-latihan yang lebih sering. Dengan
seringnya latihan maupun mendengar, maka rasa bahasa yang semula belum
dirasakan perbedaan rasa bahasanya, secara berangsur-angsur akan dapat
dirasakan.
Wirasan
Kruna, Lengkara, lan Basa Bali
Yening sampun maosang "basa
Bali", akehan parajana Baline pamekas sane kantun yoana makasami ajerih
miragi baos sakadi asapunika, duaning sampun majanten akeh pikobet sane
pacang kapanggihin ring sajeroning parikrama sane mapaiketan ring basa Bali
punika. Sakewanten, pikobet mabaos nganggen basa Bali karumasayang meweh
taler olih parajana Baline sane sampun duur. Kahanan sane asapunika
sangkaning kawentenan basa Bali duene puniki madue wirasa sane matios-tiosan
utawi maundag-undagang. Mawinan ri tatkala mabaos nganggen Basa Bali, patut
kawikanin dumun ngeninin indik; sang sane pacang kairing mabaos,
maosang sang sapasira, ri tatkala asapunapi pacang mabaos. Samaliha mangda
wikan taler sang sapasira sane gumanti pacang mabaos, punapi parajana Bali
sane maraga wangsa jaba utawi tri wangsa (Brahmana, Wesia, Satria).
Duaning asapunika ri tatkala pacang mabaos, sang sane pacang mabaos utawi
matur-atur patut ngwikanin kawentenan wirasan kruna, wirasan lengkara, miwah
wirasan basa Bali sakadi ring sor puniki.
Malarapan antuk kawéntenan linggih
krama Baliné punika, metu kruna-kruna basa Bali sané taler maderbé wirasa
matios-tiosan. Manut wirasannyané, kruna-kruna basa Baliné kapalih dados
pitung soroh, inggih punika: (1) kruna andap, (2) kruna mider, (3) kruna alus
mider (Ami), (4) kruna alus madia (Ama), (5) kruna alus singgih (Asi),
(6) kruna alus sor (Aso), lan (7) kruna kasar.
1)
Kruna Andap
Duké nguni, kruna andap puniki
kawastanin kruna lepas hormat utawi Kruna Kapara, inggih punika kruna-kruna
sané wirasan basannyané andap (éndép), nénten alus miwah nénten kasar.
Kruna-kruna puniki kanggén mabaos antuk anaké sané sesamén wangsa, sesamén
linggih utawi olih sang singgih ring sang sor.
Conto Kruna Andap: ningeh, ngomong,
daar, jemak, alih, pules, negak, pesu, miwah sane lianan.
2)
Kruna Mider
Kruna Mider inggih punika kruna-kruna
basa Baliné sané maderbé wangun wantah asiki, nénten maderbé wangun alus,
nénten maderbé wangun tiosan, mawinan dados maideran sajeroning
bebaosan. Binanipun ring kruna alus mider; alus mider maderbé wangun andap,
nanging kruna mider nénten maderbé wangun andap utawi wangun sané tiosan.
Sapunika taler, Kruna Mider matiosan ring Kruna Andap. Yéning Kruna Mider
nénten maderbé wangun tiosan, nanging Kruna Andap maderbé wangun alus.
Conto Kruna Mider:
kija
-
tembok
- gilik
-
laptop
- akuda
-
nyongkok
- sendeh
-
celana
- angkid
-
kabel
- sepatu
-
spidol
- bunter
- radio
- pulpen
- abulih
- miwah sane lianan.
3)
Kruna Alus Mider (Ami)
Kruna Alus Mider inggih punika
kruna-kruna basa Bali alus sané wirasan basannyané madué wiguna kekalih,
dados kanggén nyinggihang sang maraga singgih, sapunika taler dados kanggén
ngasorang sang maraga sor. Tiosan ring punika kruna alus mider taler madué wangun
andap.
Conto Kruna Alus Mider
(Ami):
Kruna
Andap
Kruna Ami
-
nawang
- uning
-
teka
- rauh
-
suba
- sampun
-
inget
- éling
-
meli
- numbas
-
ngadep
- ngadol
- uli
- saking
-
krana
- duaning-
4)
Kruna Alus Madia (Ama)
Kruna Alus Madia inggih punika
kruna-kruna basa Bali alus sané wirasan basannyané manengah. Kruna Alus Madia puniki makanten pinaka variasi kruna
alus tiosan (Bagus, 1979: 179). Tiosan ring puniki, kamulan wénten
kruna-kruna sané rasa basannyané alus madia, kruna alus sané kirang becik
yéning kanggén mabebaosan sane alus.
Conto Kruna Alus Madia:
Kruna
Andap
Kruna Ama
Kruna Ami
- ene,
ento
- niki,
nika
- puniki, punika
-
suba
-
ampun
- sampun
-
iang
-
tiang
- titiang
- nah
- gih
-
inggih
- miwah sane lianan.
5)
Kruna Alus Singgih (Asi)
Kruna Alus Singgih inggih punika
kruna-kruna basa Bali alus sané kanggén nyinggihang sang singgih. Kruna alus
singgih puniki pinaka panegep Kruna Alus Mider, santukan Kruna Alus Singgih
nénten maderbé wangun Alus Mider.
Conto Kruna Alus Singgih:
Kruna Andap
Kruna Asi
Kruna Aso
- mati
-
seda
- padem
-
beling
-
mobot
- abot
-
ia
- ida,
dane
- ipun
-
madan
-
mapasengan
- mawasta
- miwah sane lianan.
6)
Kruna Alus Sor (Aso)
Kruna Alus Sor inggih punika
kruna-kruna basa Baliné sané mawirasa alus, kanggén ngasorang raga utawi
ngasorang anaké tiosan sané linggihnyané sor utawi andap.
Conto Kruna Alus Sor:
Kruna Andap
Kruna Aso
Kruna Asi
- mati
- padem
- seda, mantuk, lina, lebar
- keneh
- manah
- pikayun
- ningeh
- mabanyu
- mawarih
-
ngemaang
- ngwehin, ngaturin -
ngicenin
- miwah
sane lianan.
7)
Kruna Kasar
Kruna Kasar inggih punika kruna-kruna
basa Baliné sané wirasan basannyané kaon, saha ketah kanggén ri kalaning
brangti, ri kalaning marebat utawi mamisuh.
Conto Kruna Kasar:
Kruna Andap
Kruna Kasar
- madaar
- ngamah, nidik, ngleklek, mantet
-
mati
- bangka
-
cai/nyai
- iba
-
sirep
- mamelud, medem
- miwah sane lianan.
Lengkara inggih punika pupulan kruna
sané madué teges sampun jangkep. Kawéntenan lengkara basa Baliné majanten
kawangun antuk kruna-kruna sané masor-singgih sakadi sané sampun kabaos ring
ajeng. Duaning asapunika lengkara-lengkara sané metu taler madué wirasa
matios-tiosan manut ring kruna-kruna sané ngwangun lengkara punika. Malarapan
antuk rasa basannyané punika, lengkara sajeroning basa Bali kaepah dados
nenem, inggih punika: (1) lengkara alus singgih, (2) lengkara alus madia, (3)
lengkara alus sor, (4) lengkara alus mider, (5) lengkara andap, miwah (6)
lengkara kasar. Mungguing sané kanggén minayang soang-soang lengkara basa
Baliné punika, inggih punika saking kruna pangentos sané kanggén sajeroning
lengkara punika, sakadi:
-
Ida,
Dané (alus singgih);
-
Titiang,
ipun (alus sor);
-
Tiang,
jero (alus madia);
-
Iraga,
druéné (alus mider);
-
Icang,
cai/nyai, ia (andap); lan
-
Iba,
siga, nani, kola, waké (kasar).
1)
Lengkara Alus Singgih
Lengkara alus singgih madué wirasa
alus sané kanggén nyinggihang sang singgih, yadiastun nénten makasami
kruna-krunannyané saking kruna alus singgih. Lengkara alus singgih sering
kawangun antuk kruna-kruna: alus singgih, kruna alus mider, miwah kruna
mider.
Upami:
a. Ida
kari makarya panggul.
(asi, ami, ami, mider)
b. Dané
Gusti Patih nénten mireng baos
okanné.
(asi, ami, asi, asi, asi)
c. Pak
Bupati sampun lunga ka Jakarta.
(asi, ami, ami, mider, mider)
d. Pak
Wayan Gama pinaka ketua STKIP.
(asi, ami, mider, mider)
2)
Lengkara Alus Madia
Lengkara alus madia inggih punika
lengkara Bali alus sané maderbé wirasa makanten kirang alus utawi kantun
madia. Lengkara alus madia puniki akeh nganggén kruna-kruna alus madia.
Sajaba punika taler maweweh kruna alus mider, kruna alus sor, kruna mider,
miwah kruna andap.
Upami:
a) Tiang
nunasang antuk linggih jeroné?
(ama, aso, aso, ami, ama)
b) Tiang
ten uning unduké nika.
(ama, ama, ami, andap, ama)
c) Tiang
kantun ngalap ron.
(ama, ami, andap, mider)
d) Pak
saking Abang, nggih?
(ama, ami, mider, ama)
3)
Lengkara Alus Sor
Lengkara alus sor inggih punika
lengkara sané ngwetuang wirasa alus saha kanggén ngasorang raga utawi
ngasorang anaké sané patut kasorang duaning linggihnyané pinaka sang
sor. Lengkara alus sor puniki kawangun antuk kruna-kruna alus sor, alus
mider, andap, miwah kruna mider.
Upami:
a) Titiang
manyama sareng lelima.
(aso, andap, ami, mider)
b) Ipun
kantun numbas celana ring Hardy’s.
(aso, ami, ami, mider, ami, mider)
c) Bapak
titiangé wawu rauh saking bangket.
(aso, ami, ami, ami, ami)
d) Pekak
titiange sampun padem.
(aso, ami, aso)
4)
Lengkara Alus Mider
Lengkara alus mider inggih punika
lengkara alus sané kanggén mabaos antuk sang mabaos masarengan sang kairing
mabaos. Lengkara alus mider puniki akéhan kawangun antuk kruna-kruna alus
mider maweweh kruna mider. Lengkara alus mider sering nganggén kruna
pangentos (kata ganti) iraga utawi
druéné, duaning kanggén maosang indik kawéntenan sang mabaos miwah sang
kairing mabaos (bahasa
bersama/mengajak/persuasif).
Upami:
a) Ngiring
iraga sareng-sareng ngastiti Ida Sang Hyang Widhi
Wasa!
(ami,
ami,
ami,
ami,
asi)
b) Ida-dané
sareng sami ngiring mangkin kawitin paruman
druéné!
(asi,
ami, ami,
ami, ami,
ami, ami, ami)
c) Dumogi
iraga sareng sami mangguh karahajengan.
(ami,
ami, ami, ami,
ami, ami)
d) Parikrama
puniki prasida labda karya antuk utsaha druéné.
(ami,
ami, ami,
ami, ami, ami,
ami)
5)
Lengkara Andap
Lengkara andap inggih punika lengkara
basa Baliné sané wirasannyané biasa, nénten kasar taler nénten alus. Lengkara
andap puniki kawangun antuk kruna-kruna sané andap miwah kruna mider.
Upami:
a) Ia
mara majalan ngabaang sampinné padang.
(andap, andap, andap, andap, mider)
b) Nyén
adan timpal caine?
(andap, andap, andap, andap)
c) Icang
lakar mayah montor ka dealer malu.
(andap, andap, andap, mider, mider,
mider, andap)
d) Dija
tongos mayah listrik jani?
(mider, andap, andap, mider, andap)
6)
Lengkara Kasar
Lengkara kasar inggih punika lengkara
sané madué wirasa sané kaon. Yadiastun asapunika nénten ja makasami
kruna-kruna sané ngwangun lengkara kasar punika saking kruna kasar. Taler
maweweh kruna andap miwah kruna mider.
Upami:
a) Yén
suba betek basangné pragat suba mamelud
di pedemanné.
(andap, andap, kasar, andap, andap,
andap, kasar, andap, kasar)
b) Depang
suba pang bangka polonné.
(andap, andap, andap, kasar, kasar)
c) Men
cai, ngléklék di sanggah ngae WC!
(andap, andap, kasar, andap, andap,
andap, mider)
d) Mula
bungut ibane galir, data-data petang iba!
(andap, kasar, kasar, mider, andap,
kasar, kasar)
Sané kabaos basa ring paplajahan
puniki inggih punika bebaosan sané kawangun antuk pupulan kruna-kruna sané
panjang, lintangan ring napi sané kabaos lengkara. Yéning mirengang anak
mabaos, bebaosan punika pacang makanten sor-singgih, wénten sané alus, wénten
sané madia, wénten sané andap, taler wénten sané ,mawirasa kasar.
Punika sami wantah sangkaning linggih
sang sané mabaos, sapasira sané kairing mabaos miwah sapasira sané kabaosang.
Malarapan ring wirasannyané, basa Baliné kapalih dados: (1) basa kasar, (2)
basa andap, (3) basa basa madia, miwah (4) basa alus.
Basa kasar inggih punika basa Baliné
sané wirasannyané kaon, sering kanggén marebat miwah mamisuh. Kanggén mabaos
antuk anaké ri sedek duka, brangti, wiroda (jengah), miwah kroda. Basa kasar
kapalih malih dados kekalih: (1) basa kasar pisan, miwah (2) basa kasar
jabag.
(1)
Basa Kasar Pisan
Basa kasar pisan inggih punika basa
Baliné sané wirasannyané yukti-yukti kaon, saha sering kanggén marebat utawi
mamisuh.
Conto Basa Kasar Pisan:
“Ih
cicing, delikang matan ibané! Apa léklék iba mai ah? Awak beduda pangkah
nagih nandingin geruda. Yén awak beduda, kanggoang to soroh tainé urek! Mai
iba nuké anyud, patigrépé polon ibané mai ngalih somah timpal. Dasar ibi
cicing bengil, pongah ngentut. Tuh kelik-kelik matan ibané, waluya matan buaya,
matan sundel. Magedi iba uli dini! Yén sing nyak iba magedi, to cicing
borosané lakar nyétsét clekotokan ibané!”
(2)
Basa Kasar Jabag
Basa kasar jabag inggih punika basa
Baliné sané kawangun antuk basa andap, taler ring asapunapiné maweweh
kruna-kruna alus madia, nanging kanggén mabaos ring sang singgih utawi
kanggén maosang indik sang singgih. Dadosnyané, basa andap sané kanggén
mabaos ring sang singgih miwah kanggén maosang sang singgih punika sané
kabaos basa kasar jabag. Conto Basa Kasar Jabag:
“Ih
Désak, payu malali bin mani? Yén Sak kal payu milu, ingetang liunang ngaba
bekel nah! Saya sing kal ngaba apa. Désak kar cagerang. Yén Sak sing ngelah
pis, Aku kal meliang malu. Kala ingetang nyen kamu ngulihang nah!”
Basa andap inggih punika basa Baliné
sané wirasannyané biasa, nénten kasar taler nénten halus. Basa andapé puniki
kanggén mabebaosan antuk anake sané linggihnyané pateh utawi papadan
(sesamén wangsa), miwah antuk anaké sané linggihnyané singgihan ring sang sané
soran.
Minakadi:
Ø Reraosan I bapa
sareng I mémé,
Ø Bebaosan ida aji
sareng Ida biang,
Ø Raos I bapa miwah I
mémé ring pianaknyané,
Ø Raos embok/beli
ring adinipun,
Ø Raos bapak/ibu guru
ring muridnyané,
Ø Baos raja ring
patih, panyroan, parekan,
Ø Baos patih ring
parekan/panyroan,
Ø Baos majukan ring
buruh,
Ø Baos pejabat ring
pegawénnyané,
Ø Baos sang triwangsa
ring wangsa jaba.
Conto
Basa Andap:
“Luh
……. Luh Sunari. Tegarang ja tolih i padang, liglig ia kameranan, angajap-ajap
kritisan ujan ané marupa tresnan luhé. Bedak layah ia ngulatiang sukalegan
idep luhé apanga ia sida nu maurip dini di guminé. Tan péndah ia i tuké
anyud, patigrépé ngalih paenjekan. Tulya i tabia dakep ané nyaratang
tungguhan apanga sida nu idup di guminé”.
Puniki raos I Wayan Duria ring
tunanganipun Luh Sunari.
Conto Basa Andap Tiosan:
Pupuh Ginada
Eda
ngadén awak bisa,
depang
anaké ngadanin,
geginané
buka nyampat,
anak
sai tumbuh luu,
ilang
luu buké katah,
yadin
ririh,
liu
enu paplajahan.
Basa madia inggih punika basa Baliné
sané makanten sakadi basa alus, nanging wirasannyané kantun madia, santukan
akéh kawangun antuk kruna-kruna alus madia. Basa madia puniki pinih akéh
katemuang ring bebaosan Bali sajeroning pagubugan maparajana. Sapatutnyané
maosang sampun, kabaos ampun, patutnyané maosang inggih kabaos nggih, patutnyané maosang nénten
kabaos ten, miwah selanturnyané.
Sajaba punika, basa madiané puniki sering kanggén mabebaosan antuk
sameton Baliné sané durung pada kenal, sané ketah mabaos matiang-jero.
Pinaka conto basa madia pacang
kaunggahang kekalih lagu pop Bali ring sor puniki, inggih punika lagu Pop
Bali Rajapala miwah Bungan Sandat.
RAJAPALA
Jero-jero
…
anak
lanang bagus genjing,
wantah
titiang widiadari,
Kén
Sulasih parab titiang.
Napi wénten …
ngambil busanan tiangé,
titiang nyadia mangentosin,
antuk jinah mas tur mirah.
Rajapala
parab titiang truna lara,
yéning suéca pakayunan makronan,
ratu ayu sareng titiang truna lara.
Mangkin wénten …
pinunas
tiang ring beli,
yéning
wénten putra adiri,
titiang
mapamit ring beli.
BUNGAN
SANDAT
Yen gumanti bajang
Tan bina ia pucuk nedeng kembang
Disubane layu tan ada ngrunguang
ngemasin makutang
Becik malaksana
da gumanti dadi kembang bintang
mentik di rurunge
makejang mangempok raris kaentungang
Ia i bungan sandat
salayu-layu layunne miik
‘to ia nyandang tulad
sauripe malaksana becik
Para truna-truni
mangda saling asah asih asuh
manyama braya ‘to kukuhin
rahayu kapanggih
Basa Bali alus
inggih punika basa Baliné sané wirasannyané alus utawi nyinggihang. Manut
tata krama mabaos Bali, basa alusé puniki kanggén mabebaosan antuk anaké sané
linggihnyané sor ring sang singgih.
Minakadi:
![]() ![]() ![]() ![]() ![]()
Basa Baliné sané wirasannyané alus puniki malih kapalih dados tigang
soroh, inggih punika: (1) basa alus singgih, (2) basa alus sor lan (3) basa
alus mider.
(1) Basa Alus
Singgih
Basa alus
singgih inggih punika basa Baliné sané wirasannyané alus saha kanggén
nyinggihang sang singgih sané kairing mabaos utawi sané sedek kabaosang.
Wangsa jaba sané mabaos
ring tri wangsa utawi maosang indik tri wangsa patut nganggén basa alus
singgih.
Conto Basa Alus
Singgih:
“Ratu déwa agung, makadi pranagata,
nadak sara cokoridéwa ngeséngin sikian titiang mangda titiang pedek tangkil rahinané mangkin. Samaliha sapamedal
cokoridéwa makanten ucem remrem tatwadana druéné, tan péndah kadi sekar
pucuké kaulet. Punapi manawi wénten sané sungsutang cokoridéwa ring
sajeroning pikayunan? Inggih durus-durus cokoridéwa mawecana, mabaos ring
panjaké sami!”.
(2) Basa Alus Sor
Basa alus sor inggih punika basa Baliné sané mawirasa alus, kanggén
ngasorang raga utawi ngasorang sang sané patut kasorang. Sang sapasira ugi sané sedek mabebaosan ring
bebaosan pakraman (resmi) kapatutang ngasorang raga nganggén basa alus sor.
Conto basa alus
sor:
“Ida Dané sané baktinin titiang,
sadurung titiang nglantur matur ring Ida Dané sareng sami, lugrayang riin
titiang nyinahang déwék. Mungguing wastan titiang I Wayan Jatiyasa. Titiang
wit saking Banjar Tumingal, Désa Tiyingtali, Kecamatan Abang, Kabupaten
Karangasem. Titiang manyama sareng lelima samaliha durung maderbé somah”.
Ring conto punika, titiang matur ring sang sareng akéh, minakadi pamilet
penataran. Titiang ngasorang raga nganggén basa alus sor. Titiang nénten
maosang mapeséngan, nanging mawasta. Titiang nénten maosang angga, nanging déwék. Titiang nénten maosang masameton,
nanging manyama. Taler nénten
maosang durung madué rabi, nanging durung maderbé somah.
Conto basa alus sor sané tiosan
Pupuh Sinom
Titiang jadma suniantara,
nista lacur manumadi,
malarapan suka legawa,
catur bekel titiang pasti,
suka duka lara pati,
nika wantah titiang tikul,
titiang mawasta I Tamtam,
nyadia titiang
tangkil mangkin,
ring Sang Ayu,
sané telas tunas
titiang.
Punika atur I Tamtam majeng ring Diah Adnyasuari, putrining jagat Mesir.
Duaning I Tamtam madéwék Jaba, ipun matur ring Sang Ayu Adnyasuari nganggén
basa alus sor, kaanggén ngasorang déwék ipuné.
(3) Basa Alus Mider
Basa alus mider
inggih punika basa Baliné sané mawirasa alus, sering kanggén mabebaosan
sajeroning peparuman, matur-atur ring sang sareng akéh. Bebaosan punika
ngeninin sang mabaos miwah sang sané kairing mabaos. Kruna pangentos sané kanggén
lumrahnyané kruna iraga utawi druéné.
Conto basa alus
mider kadi ring sor puniki:
“Inggih Ida Dané
krama banjar sané dahat wangiang titiang, duaning panamayané sampun nepek
ring sané kacumawisang, ngiring mangkin kawitin paparuman druéné. Sakéwanten
sadéréngé, ngiring sinarengan ngastiti bakti ring Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
nunas pasuécan Ida mangda asung ngicénin iraga karahajengan, gumanti
punapa-punapi sané pacang kabaosang malih ajebos prasida sidaning don miwah
labda karya. Ngiring sinarengan nyakupang kara kalih saha ngojarang
pangastungkara, Om Suastiastu”.
Buku Rujukan:
a. Bagus,
I Gusti Ngurah. 1979. Perubahan
Pemakaian Bentuk Hormat dalam Masyarakat Bali. Sebuah Pendekatan Etnografi
Berbahasa. Jakarta.
b. Suwija, I Nyoman dan Manda, I Gede. 2009. Widia Sari. Basa lan Sastra Bali 3.
Denpasar.
c.
Suwija, I Nyoman. 2007. Kamus
Anggah-ungguhing Basa Bali. Denpasar: Sanggar Ayu
Suara.
SARGA
V
KESIMPULAN
Kasusastraan Bali punika becik
pisan tur ngulangunin , punika mawinan sepatutne kalestariang tur kaplajahin
semangdane I raga sareng sinamian uning ring daging miwah pikenoh melajahin
kasusastraan Bali punika .
PEMUPUT
Ngantos asapuniki wau kawedar
antuk kasusastraan Bali semangdane wenten gunan ring para sametojn sane polih
ngewacen . Makalah punika doh pesan saking paripurna titiang nunasang para
semeton sane polih ngewacen makalah puniki sareng – sareng ngamecikang
semangdane dadi paripurna .
|
||||||||||||||||||||||||||||
Demikianlah materi tentang Makalah Bahasa Bali yang sempat kami berikan. semoga materi yang kami berikan dan jangan lupa juga untuk menyimak materi seputar Makalah Vegetarian yang telah kami posting sebelumnya. semoga materi yang kami berikan dapat membantu menambah wawasan anda semikian dan terimah kasih. Semoga dapat membantu menambah wawasan anda semikian dan terimah kasih.
Anda dapat mendownload Makalah diatas dalam Bentuk Document Word (.doc) melalui link berikut.
Download
Download
EmoticonEmoticon