Makalah Demokrasi - Jika dalam postingan ini, anda kurang mengerti atau susunanya tidak teratur, anda dapat mendownload versi .doc makalah berikut :
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Awal mula berkembangnya gagasan dan konsep demokrasi
di Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan situasi sosial politik
masa kolonial pada tahun-tahun pertama abad 20 yang ditandai dengan beberapa perkembangan
penting: Pertama, mulai terbuka terhadap arus informasi politik di tingkat
global. Kedua, migrasi para para aktifis politik berhaluan radikal Belanda,
umumnya mereka adalah para buangan politik, ke Hindia Belanda. Di wilayah yang
baru ini mereka banyak memperkenalkan ide-ide dan gagasan politik modern kepada
para pemuda bumiputera Ketiga, transformasi pendidikan di kalangan masyarakat
pribumi
Demokrasi sebagai sebuah konsep yang mengalami
perkembangan sejarah yang amat kompleks itu dipahami dalam perspektif
sosiologis. Di samping persoalan-persoalan yang menyangkut struktur dan budaya,
demokrasi sering mendapatkan interpretasi yang bersifat lokal dan partikular
yang tidak jarang malah menyingkirkan elemen-elemen yang bersifat universal.
Praktek demokrasi Orde Baru diangkat sebagai kasus dan sekaligus pijakan untuk
melihat kemungkinan mengembangkan sebuah wacana dan praktek demokrasi yang
lebih sejati di Indonesia. Pemahaman demokrasi sebagai sebuah proses, di
samping mengisyaratkan pentingnya usaha untuk membangun lembaga-lembaga politik
juga mengabarkan pentingnya masyarakat pada umumnya dan elit politik pada
khususnya mengembangkan kesadaran-kesadaran politik yang memungkinkan interaksi
di antara elemen-elemen demokrasi berlangsung secara konstruktif.
Sebagai
sebuah konsep teoritis maupun politis, demokrasi jelas sekali terikat oleh
faktor-faktor kesejarahan yang terjadi di Eropa sepanjang abad 17 hingga 19.
Prosesnya sendiri telah dimulai pada abad pertengahan ketika dunia, khususnya
Eropa, dilanda reformasi, dan kemudian revolusi, sosial. Reformasi intelektual
yang mengubah Eropa, dan kemudian dunia, merupakan proses sosial dan sejarah
yang amat panjang.
Makalah ini kami susun sebagai
bahan kajian untuk memahami bagaimana proses perkembangan demokrasi di
Indonesia, yang mungkin akan bermanfaat bagi pembaca, utama kami selaku
penyusun.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana proses perkembangan demokrasi di
Indonesia ?
2.
Apakah peranan masyarakat (civil society)
dibutuhkan dalam proses demokrasi ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Demokrasi
Istilah
demokrasi berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad
ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah
sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah
ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi
sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem demokrasi di banyak
negara.
Kata demokrasi
berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang
berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat,
atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam
bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini
disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi
menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara
(umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara
yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat.
Prinsip semacam
trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika
fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar
ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan
kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap
hak-hak asasi manusia.
Demikian pula
kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan
dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan
anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa
kebaikan untuk rakyat.
Intinya, setiap
lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada
mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan
mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi
kekuasaan lembaga negara tersebut
B. Perkembangan Demokrasi di Indonesia
1. Masa Demokrasi Liberal
Momentum
historis perkembangan demokrasi setelah kemerdekaan di tandai dengan keluarnya
Maklumat No. X pada 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Hatta. Dalam
maklumat ini dinyatakan perlunya berdirinya partai-partai politik sebagai
bagian dari demokrasi, serta rencana pemerintah menyelenggarakan pemilu pada
Januari 1946. Maklumat Hatta berdampak sangat luas, melegitimasi partai-partai
politik yang telah terbentuk sebelumnya dan mendorong terus lahirnya partai-partai
politik baru.
Pada tahun 1953
Kabinet Wilopo berhasil menyelesaikan regulasi pemilu dengan ditetapkannya UU
No. 7 tahun 1953 Pemilu. Pemilu multipartai secara nasional disepakati
dilaksanakan pada 29 September 1955 (untuk pemilhan parlemen) dan 15 Desember
1955 (untuk pemilihan anggota konstituante). Pemilu pertama nasional di
Indonesia ini dinilai berbagai kalangan sebagai proses politik yang mendekati
kriteria demokratis, sebab selain jumlah parpol tidak dibatasi, berlangsung
dengan langsung umum bebas rahasia (luber), serta mencerminkan pluralisme dan
representativ.
Fragmentasi
politik yang kuat berdampak kepada ketidakefektifan kinerja parlemen hasil
pemilu 1955 dan pemerintahan yang dibentuknya. Parlemen baru ini tidak mampu
memberikan terobosan bagi pembentukan pemerintahan yang kuat dan stabil, tetapi
justru mengulangi kembali fenomena politik sebelumnya, yakni gonta-ganti
pemerintahan dalam waktu yang relatif pendek.
Ketidakefektifan
kinerja parlemen memperkencang serangan-serangan yang mendelegitimasi parlemen
dan partai-partai politik pada umumnya. Banyak kritikan dan kecaman muncul,
bahkan tidak hanya dilontarkan tokoh-tokoh anti demokrasi. Hatta dan Syahrir
menuduh para politisi dan pimpinan partai-partai politik sebagai orang yang
memperjuangkan kepentingannya sendiri dan keuntungan kelompoknya, bukan
mengedepankan kepentingan rakyat. Namun begitu, mereka tidak menjadikan
demokrasi parlementer sebagai biang keladi kebobrokan dan kemandegan politik.
Hal ini berbeda dengan Soekarno yang menempatkan demokrasi parlementer atau
demokrasi liberal sebagai sasaran tembak. Soekarno lebih mengkritik pada
sistemnya. Kebobrokan demokrasi liberal yang sedang diterapkan, dalam penilaian
Soekarno, merupakan penyebab utama kekisruhan politik. Maka, yang paling
mendesak untuk keluar dari krisis politik tersebut adalah mengubur demokrasi
liberal yang dalam pandangannya tidak cocok untuk dipraktikkan di Indonesia.
Akhirnya, Soekarno menyatakan demokrasi parlementer tidak dapat digunakan untuk
revolusi.
2. Demokrasi Diktatorial (Dibawah Kepemimpinan
Soekarno dan Soeharto)
Dalam amanatnya
kepada sidang pleno Konstitante di Bandung 22 April 1959, Soekarno dengan lugas
menyerang konstituante, praktik demokrasi liberal, dan menawarkan kembali
konsepsinya tentang demokrasi Indonesia yang disebutnya sebagai Demokrasi
Terpimpin (Guided Democracy)
Demokrasi
Terpimpin Soekarno kemudian runtuh setelah terjadinya peristiwa perebutan
kekuasaan yang melibatkjan unsur komunis (PKI) dan angkatan bersenjata, yang
dikenal dengan Gerakan 30 September 1965. Perebutan kekuasaan ini mengakibatkan
hancurnya kekuasaan PKI serta secara bertahap berakhirnya kekuasaan Orde Lama
Soekarno. Muncul kekuasaan baru dibawah militer dibawah Letjen. Soeharto yang
menyatakan diri sebagai “Orde
Baru”.
Konsepsi
demokrasi Soeharto, rencana praksis politiknya, awalnya tidak cukup jelas. Ia
lebih sering mengemukakan gagasan demokrasinya, yang kemudian disebutnya
sebagai Demokrasi Pancasila, dalam konsep yang sangat abstrak. Pada dasarnya,
konsep dasar Demokrasi Pancasila memiliki titik berangkat yang sama dengan
konsep Demokrasi Terpimpin Soekarno, yakni suatu demokrasi asli Indonesia.
Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang sesuai dengan tradisi dan filsafat
hidup masyarakat Indonesia. Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi yang sehat
dan bertanggungjawab, berdasarkan moral dan pemikiran sehat, berlandaskan pada
suatu ideologi tunggal, yaitu Pancasila.
Langkah politik
awal yang dilakukan Soeharto untuk membuktikan bahwa dirinya tidak anti
demokrasi adalah dengan merespons penjadwalan pelaksanaan pemilihan umum
(pemilu), sebagaimana dituntut oleh partai-partai politik. Soeharto sendiri
pada hakekatnya tidak menghendaki pemilu dengan segera, sampai dengan
terkonsolidasikannya kekuatan Orde Baru. Sebagai upaya lanjut mengatasi
peruncingan ideologi Soeharto melakukan inisiatif penggabungan partai politik
pada 1973, dari 10 partai menjadi 3 partai politik (Partai Persatuan
Pembangunan, Golkar, Partai Demokrasi Indonesia). Golkar sendiri yang notabene,
dibentuk dan dikendalikan oleh penguasa tidak bersedia menyatakan diri sebagai
parpol melainkan organisasi kekaryaan. Fusi atau penggabungan partai ini
merupakan wujud kekesalan Soeharto terhadap parpol dan hasratnya untuk
membangun kepolitikan kekeluargaan. Menjaga citra sebagai negara demokrasi
terus dijaga oleh rezim Orde Baru.
Terhadap
tuntutan demokrasi yang berkembang kuat sejak pertengahan 1980-an, sebuah momen
perkembangan yang oleh Huntington dinamakan gelombang demokrasi ketiga.
Soeharto menjawab dengan kebijakan mulur mungkret liberalisasi politik
terbatas, yang oleh para pengkritik disebut sebagai demokrasi seolah-olah
(democracy as if), tetapi sekaligus mempertahankan instrumen represif terhadap
kelompok yang mencoba-coba keluar dari aturan “main” yang ditentukan rezim.
Praktik
democracy dictatorship yang diterapkan Soeharto mulai tergerus dan jatuh dalam
krisis bersamaan dengan runtuhnya mitos ekonomi Orde Baru sebagai akibat
terjadinya krisis moneter mulai 1997. Krisis moneter yang semakin parah menjadikan
porak porandanya ekonomi nasional yang ditandai dengan runtuhnya nilai mata
uang rupiah, inflasi, tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK), dan
semakin besarnya pengangguran. Krisis ekonomi memacu berlangsungya aksi-aksi
protes dikalangan mahasiswa menuntut Soeharto mundur.
3. Demokrasi Pasca Orde Baru (Era Reformasi)
Dalam
konteks Indonesia pasca Orde Baru upaya reformasi institusional atau
kelembagaan sebenarnya telah dimulai pada era pemerintahan BJ Habibie yang ditandai
dengan perubahan UU Pemilu, UU Kepartaian, dan UU Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR dan DPRD (UU Susduk). Atas dasar perubahan itu maka pemilu bebas dan
demokratis pertama pasca Orde Baru diselenggarakan pada Juni 1999. Pemilu di
bawah sistem multipartai tersebut kemudian menghasilkan DPR, MPR dan pemerintah
baru yang mengagendakan reformasi konstitusi melalui empat tahap perubahan
(amandemen), yakni amandemen pertama (1999) dan kedua (2000) pada era Presiden
Abdurrahman Wahid, serta amandemen ketiga (2001) dan amandemen keempat (2002)
pada era Presiden Megawati Soekarnoputeri.
Tampak
mulai disadari, kendati agak terlambat, bahwa konsensus prosedural dalam rangka
efektifitas format politik baru tak mungkin dicapai tanpa reformasi konstitusi
karena sistem demokrasi yang stabil hanya bisa tumbuh jika konsitusi yang memayunginya
cukup memadai untuk itu. Para ahli yang mendalami masalah transisi demokrasi
menggarisbawahi pentingnya reformasi konstitusi sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari proses transisi menuju konsolidasi demokrasi.
Amandemen
atas UUD 1945 pada akhirnya memang berhasil dilakukan, namun sulit dibantah
bahwa dalam realitasnya perubahan yang dilakukan oleh MPR atas konstitusi
tersebut cenderung bersifat tambal sulam. Paling kurang ada tiga kelemahan
mendasar pada hasil amandemen yang dilakukan Badan Pekerja MPR atas UUD 1945
sehingga diperlukan suatu komisi konstitusi yang bersifat independen, dibentuklah
Mahkamah Konstitusi. Kelemahan tersebut adalah pertama, proses amandemen yang
cenderung terjebak pada kepentingan jangka pendek dari elite partai-partai di
parlemen. Kedua, kualitas dan substansi perubahan yang cenderung inkonsisten
dan tambal-sulam satu sama lain. Dan ketiga, format legal drafting perubahan
yang tidak sistematik dan tak terpola serta membingungkan sehingga menyulitkan
pemahaman atasnya sebagai hukum dasar.
Dalam
konteks substansi hasil amandemen, di satu pihak hendak dibangun sistem
pemerintahan presidensiil yang kuat, stabil, dan efektif, namun di sisi lain
obsesi besar tersebut tidak didukung oleh struktur perwakilan bicameral yang
kuat pula. Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang semestinya merupakan
salah satu “kamar” dari sistem perwakilan dua-kamar, bahkan tak jelas karena
kekuasaan dan hak-haknya yang sangat terbatas. Tidak mengherankan jika para
anggota DPD dewasa ini mempertanyakan relevansi keberadaan mereka dalam sistem
yang berlaku. Sebaliknya, para politisi di Panitia Ad-Hoc I MPR selaku penyusun
konstitusi justru makin memperkuat posisi, kedudukan, kekuasaan, dan hak-hak
DPR melebihi yang seharusnya dimiliki oleh DPR dalam konteks sistem
presidensiil.
Selain
itu, UUD 1945 hasil amandemen tidak melembagakan berlakunya mekanisme checks
and balances di antara cabang-cabang kekuasaan pemerintahan utama, yakni
lembaga eksekutif-legislatif pada khususnya dan eksekutif-legislatif-yudikatif
pada umumnya. Di satu pihak, suatu UU dapat tetap berlaku apabila dalam waktu
30 hari tidak disahkan oleh Presiden, namun di pihak lain Presiden tidak
memiliki semacam hak veto untuk menolak UU yang telah disetujui DPR. Padahal
tegaknya prinsip checks and balances bersifat mutlak karena menjadi salah satu
fondasi utama bagi stabilitas dan efektifitas sistem pemerintahan presidensiil.
Urgensi prinsip saling mengawasi secara seimbang itu diabaikan pula oleh konstitusi
hasil amandemen dalam hal relasi DPR sebagai representasi perwakilan rakyat dan
DPD sebagai representasi perwakilan wilayah.
Substansi
hasil amandemen yang juga tidak koheren dan inkonsisten dengan kebutuhan
pembentukan sistem presidensiil yang kuat dan efektif adalah kedudukan dan
kelembagaan MPR, serta ketidakjelasan tata-hubungan lembaga yudikatif menyusul
keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY) selain Mahkamah
Agung (MA) yang telah ada sebelumnya. MPR yang semestinya merupakan sidang
gabungan (joint session) antara DPR dan DPD justru menjadi lembaga permanen
dengan kepemimpinan permanen pula.
Reformasi
kelembagaan yang cenderung tambal-sulam dan mengabaikan koherensi dan
konsistensi juga tercermin dalam UU bidang politik –UU Partai Politik (No.
31/2002), UU Pemilu (No. 12/2003), UU Pemilu Presiden (No. 23/2003), dan UU
Susduk (No. 22/2003)—dalam rangka Pemilu 2004. Secara teoritis, pilihan atas
sistem pemilu seharusnya merupakan konsekuensi logis dari pilihan terhadap sistem
perwakilan, sedangkan pilihan atas sistem kepartaian adalah konsekuensi logis
dari pilihan terhadap sistem pemilu. Namun dalam realitasnya kita
mempertahankan sistem proporsional (proportional representation system) untuk
pemilu legislatif, suatu pilihan politik sebenarnya tidak tepat karena sistem
proporsional merupakan basis bagi terbentuknya sistem multipartai. Padahal,
sistem presidensiil tak akan pernah bisa bekerja efektif apabila fragmentasi
dan polarisasi partai terlalu tinggi seperti sistem multipartai yang berlaku
dewasa ini.
Selain
problematik yang dikemukakan di atas, reformasi kelembagaan yang tambal-sulam
juga tampak dari diabaikannya urgensi keberadaan UU Lembaga Kepresidenan. Di
dalam suatu UU Lembaga Kepresidenan tak hanya bisa diatur wilayah politik yang
menjadi kewenangan Wakil Presiden --karena terbatasnya pengaturan oleh
konstitusi— melainkan juga format kabinet yang seharusnya berlaku untuk
memperkuat dan mengefektifkan pemerintahan presidensiil. Disharmoni relasi
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla tak perlu terjadi
seandainya ada pengaturan yang jelas mengenai apa saja sesungguhnya wilayah
kewenangan Wapres dalam “membantu” Presiden. Begitu pula, tarik-menarik
kepentingan partai-partai politik dalam pembentukan kabinet atau dalam isu
reshuffle kabinet tak perlu terjadi jika Presiden cukup percaya diri bahwa
pemerintahannya bukanlah kabinet partai-partai atau koalisi partai seperti
berlaku di dalam sistem parlementer. Di sisi lain, para politisi partai kita
semestinya menyadari bahwa mandat dan legitimasi Presiden dalam suatu sistem
presidensial tidak berasal dari parlemen ataupun partai-partai, melainkan dari
rakyat secara langsung.
Pengalaman
lebih dari sewindu reformasi memperlihatkan bahwa hampir selalu terdapat kesenjangan
antara obsesi para wakil rakyat dengan tindakan, perilaku, dan pilihan
politiknya. Dalam konteks sistem pemerintahan misalnya, di satu pihak para
politisi mengobsesikan sistem presidensiil, tetapi di pihak lain tindakan dan
perilaku politik mereka cenderung berorientasi parlementer. Kecenderungan
perilaku parlementarian itu pula yang tampak di balik isu tarik-menarik
dukungan terhadap pemerintahan sekarang ini.
C. Demokrasi sebagai Pengalaman Kultural
Sejak dua dekade terakhir dunia
menyaksikan kemajuan yang luar biasa dalam perkembangan demokrasi. Sejak 1972
jumlah negara yang mengadopsi sistem politik demokrasi telah meningkat lebih
dari dua kali lipat, dari 44 menjadi 107. Dari 187 negara saat ini di dunia,
lebih dari 58 persen di antaranya mengadopsi pemerintahan demokratis,
masing-masing dengan variasi sistem politik tertentu. Kecenderungan ini menguat
terutama setelah jatuhnya pemerintahan komunis di akhir tahun 80-an dan
karenanya telah menjadikan demokrasi sebagai “satu-satunya alternatif yang sah
terhadap berbagai bentuk rejim otoritarian”. Secara sosiologis mungkin ini
merupakan salah satu perubahan terpenting yang menandai tahun-tahun akhir
milineum kedua; sebuah perkembangan yang oleh Huntington dikonseptualisaikan
sebagai “gelombang ketiga demokratisasi”.
Secara konseptual, pembangunan
demokrasi di sebuah negara tidak lagi dilihat sebagai hasil-hasil dari tingkat
modernisasi yang lebih tinggi sebagaimana ditunjukkan melalui
indikator-indikator kemakmuran, struktur kelas borjuasi, dan independensi
ekonomi dari aktor-aktor eksternal. Melainkan, lebih dilihat sebagai hasil dari
interaksi-interaksi dan pengaturan-pengaturan strategis di antara para elit,
pilihan-pilihan sadar atas berbagai bentuk konstitusi demokratis, dan
sistem-sistem pemilihan umum dan kepartaian. Pemikiran ini didasarkan pada
argumentasi sentral bahwa pengalaman Barat tentang demokrasi tidak akan dapat
diulang dengan arah yang sama di negara-negara sedang berkembang.
Sebagai sebuah konsep teoritis maupun
politis, demokrasi jelas sekali terikat oleh faktor-faktor kesejarahan yang
terjadi di Eropa sepanjang abad 17 hingga 19. Prosesnya sendiri telah dimulai
pada abad pertengahan ketika dunia, khususnya Eropa, dilanda reformasi, dan
kemudian revolusi, sosial. Reformasi intelektual yang mengubah Eropa, dan
kemudian dunia, merupakan proses sosial dan sejarah yang amat panjang, bahkan
prinsip-prinsip dasarnya mungkin telah diawali dengan diperkenalkannya
institusi modern yang disebut dengan universitas. Dalam buku klasiknya yang terkenal
itu, The Triumph of Science and Reason, Nussbaum dengan jelas memberikan
ilustrasi sejarah tentang bagaimana masyarakat modern Eropa digerakkan oleh
berbagai kekuatan yang saling berkaitan. Dalam hal demikian itu, Nussbaum
menyebut faktor-faktor seperti surutnya monopoli institusi gereja, kemudian
negara, dalam mengkontrol ‘kebenaran’ (yang memberi arti penting bagi
diletakkannya tradisi berpikir bebas yang menghasilkan revolusi ilmu
pengetahuan dan teknologi pada abad-abad selanjutnya), dan mulai surutnya
masyarakat feodal diakhir abad ketujuhbelas, sebagai sejarah yang sangat
penting dalam menentukan perkembangan sosial, seperti, parlementarisme dan
pengakuan terhadap civil liberties.
Sampai dengan tahun 60-an dan 70-an,
penelitian-penelitian tentang demokrasi, sebagaimana ditunjukkan oleh hasil
kerja dari Lipset (1959), Almond dan Verba (1963), Dahl (1971), O’Donnell
(1979), banyak didominasi oleh upaya untuk menemukan kondisi-kondisi dan
persyaratan-persyaratan lainnya yang diperlukan guna munculnya sebuah demokrasi
yang stabil. Dalam perkembangannya sampai dengan dekade lalu, studi tentang
demokrasi diwarnai terutama oleh upaya untuk memahami dinamika dari transisi
demokratis dan konsolidasi. Hanya dalam beberapa tahun belakangan ini terjadi
pergeseran arah studi mengenai demokrasi. Penelitian belakangan ini memfokuskan
perhatiannya pada peran para pemimpin politik dan elit strategis lainnya dalam
proses demokrasi.
Dalam ikhwal ini banyak para ahli ilmu
sosial dewasa ini cenderung untuk berpikir bahwa transisi menuju demokrasi,
khususnya di negara-negara sedang berkembang, jarang sekali merupakan hasil
dari faktor-faktor yang digerakkan oleh tindakan-tindakan politik massa. Dengan
kata lain, kesuksesan dalam proses perubahan dan konsolidasi menuju demokrasi
lebih banyak ditentukan oleh para elit politik , di samping perkembangan
politik yang berlangsung di tingkat global dan internasional. Beberapa bahkan
berargumentasi bahwa sesungguhnya demokrasi semestinya diperlakukan sebagai
suatu hasil yang dapat direkayasa secara sosial sepanjang terdapat
craftsmanship di kalangan para elit politik. . Cara pandang semacam ini jelas
menolak argumentasi yang menganggap bahwa demokrasi tak dapat ditranplantasikan
di tanah asing, di luar konteks sosial dan budaya di mana demokrasi itu pada
awalnya dikembangkan.
Mengikuti argumentasi ini, tulisan ini
mengambil posisi teoritis yang mengasumsikan bahwa pada dasarnya perubahan
menuju demokrasi di Indonesia akan menjadi lebih feasible apabila para elit
politik Indonesia sebagai agen perubahan sosial memiliki peralatan-peralatan
teoritis yang memadai untuk memahami dan terlibat dalam proses-proses transisi
demokrasi. Ini berarti, faktor-faktor yang berhubungan dengan budaya dan
struktur politik tidak dilihat sebagai struktur operasional yang konstan dan
stabil, melainkan dilihat sebagai arena diskursus yang dinamis yang melibatkan
proses-proses konstruksi dan dekonstruksi dari para individu sebagai agen, khususnya
para elitnya , daripada semata-mata sebagai representasi dari struktur.
Bukti-bukti empiris terhadap
kecenderungan semacam ini sebenarnya dapat dilihat dari makin meluasnya
gerakan-gerakan oposisi di Indonesia yang mulai marak pada awal tahun 90-an yang
pada dasarnya digerakkan oleh elit dari berbagai golongan, misalnya
intelektual, mahasiswa, buruh, dan LSM, daripada oleh kekuatan-kekuatan yang
secara langsung tumbuh dari massa. Ini tidak berarti bahwa saya mengartikan
tidak terdapat masalah yang serius dalam ikhwal itu. Perbedaan yang besar di
antara diskursus resmi dan diskursus alternatif tentang bagaimana demokrasi itu
dikonstruksikan merupakan satu persoalan besar yang menghadang masa depan
demokrasi di Indonesia. Dalam uraian-uraian berikut ini, saya mencoba
memfokuskan perhatian pada isu tentang bagaimana format politik yang berkembang
selama Orde Baru ini menghasilkan pemahaman budaya politik yang khas yang
ditandai oleh hadirnya interpretasi resmi atas Demokrasi Pancasila sebagai
basis legitimasi spiritual dan Pembangunan sebagai basis legitimasi material.
D. Peran
Civil Society
Oligarki
politik lebih terkorekasi dengan baik jika masyarakat sipil (civil society)
diperkuat dan lebih berperanan terhadap proses perkembangan dan arah reformasi
di Indonesia. Civil society yang dimaksud di sini adalah institusi sosial yang
merdeka, bebas dari pengaruh negara, dan oleh sebab itu bersifat mandiri dan
otonom. Oligarki sebagai sebuah konsep dikembangkan secara sistematik oleh
Aristoteles dan mengacu pada entitas politik yang sederhana dan homogen
sehingga kekuasaan dilaksanakan oleh segelintir orang, dilakukan dengan
komando, tanpa partisipasi, tanpa negosiasi, tanpa kompromi di antara kekuatan
yang pluralistik. Masyarakat sipil harus berjuang keras demi masa depan bangsa
yang lebih baik dengan menyelamatkan proses reformasi yang dewasa ini sedang
berlangsung.
Politik
oligarkis telah menghasilkan berbagai undang-undang, antara lain UU Susunan dan
Kedudukan Anggota Parlemen, UU Pemilu Legislatif dan UU Pemilihan
Presiden/Wakil Presiden secara langsung yang didasarkan atas kompromi-kompromi
politik yang sangat oportunistik. Pada gilirannya UU yang demikian hanya akan
menghasilkan elite-elite politik baru yang tidak akan peduli, apalagi memihak
kepada keprihatinan dan kepentingan rakyat banyak.
Undang-undang
hanya sebagai instrumen untuk meneguhkan kekuasaan dan hanya memberikan sedikit
ruang bagi kontrol masyarakat terhadap masyarakat politik. Akibatnya, jumlah
peraturan perundangan yang telah diproduksi oleh lembaga perwakilan selama masa
reformasi tidak ada korelasi yang positif dengan penegakan hukum. Hasil
pemilihan umum 2004 sebagai pemilu kedua pasca Orde Baru secara nyata telah
menghasilkan masyarakat politik yang tidak jauh berbeda kualitasnya (dalam arti
mempunyai komitmen yang konsisten terhadap aspirasi, kehendak, dan keprihatinan
masyarakat layaknya pemilu orde baru dahulu). Artinya, agenda proses reformasi
tidak dapat hanya diserahkan kepada masyarakat politik.
Di
sinilah perlunya penyadaran masyarakat secara terus-menerus bahwa setiap
pemilihan umum harus dapat dijadikan sebagai peradilan rakyat. Artinya, rakyat
harus dicerahkan agar dapat mengetahui kandidat-kandidat anggota parlemen serta
kandidat presiden/wakil presiden yang pantas dipilih pada pemilu 2009. Para
kandidat yang bermasalah dalam kaitannya dengan skandal KKN, perusak
lingkungan, pelanggar HAM, dan hal buruk lainnya harus dihukum dengan cara
tidak memilih mereka kembali dalam pemilu 2009. Sementara itu bagi para
kandidat yang bersih dan telah menunjukkan komitmen dan kinerjanya bagi
kepentingan rakyat, serta bagi mereka yang tidak mempunyai permasalahan dengan
hal-hal di atas, dapat dipilih kembali.
Intinya,
persoalan yang sangat mendesak untuk dijawab adalah bagaimanakah peran
masyarakat sipil dalam menyelamatkan proses transformasi politik dewasa ini dan
nasib bangsa ke depan? Sebab, kegagalan penerapan agenda demokratisasi yang
tidak bersentuhan langsung dengan kepentingan hidup rakyat, ditambah lagi
dengan rendahnya tingkat ketertiban sosial, penegakan hukum serta tekanan
kehidupan sehari-hari yang semakin berat telah menyebabkan meningkatnya
keraguan masyarakat terhadap manfaat proses reformasi.
Jawaban
terhadap persoalan tersebut tentu tidak mudah, tetapi secara umum dapat
disebutkan bahwa tindakan yang sangat perlu dilakukan adalah memperkuat
masyarakat sipil. Tetapi sekali lagi, hal itu tidak sederhana mengingat
beberapa hal sebagai berikut. Pertama, masyarakat sipil yang mempunyai andil
besar terhadap tumbangnya rezim yang otoriter adalah masyarakat sipil yang
terbatas pada kalangan tertentu dan elitis, antara lain mereka itu adalah
kalangan mahasiswa dan dosen (civitas akademika), pekerja profesional termasuk
pengacara, budayawan, wartawan, dan aktivis dari berbagai organisasi kemasyarakatan.
Kedua,
gerakan demokratisasi menumbangkan Orde Baru lebih merupakan upaya menjatuhkan
rezim otoriter, tetapi tidak disertai dengan agenda yang jelas dan menyeluruh
mengenai proses reformasi selanjutnya. Penyusunan agenda semacam itu tidak
mudah mengingat proses reformasi tidak berhasil memisahkan secara hitam-putih,
siapa yang dapat dikategorikan sebagai kaum reformis murni dan siapa yang
sesungguhnya yang masih menjadi bagian, bahkan inti dari kekuatan sebelumnya.
Ketidakjelasan
kategorisasi tersebut mengakibatkan proses perubahan sangat terkontaminasi
dengan kekuatan yang sebenarnya ingin mempertahankan tatanan lama,
setidak-tidaknya secara oportunistik mereka berpura-pura menjadi tokoh atau
agen perubahan, tetapi sebenarnya hanya benalu yang justru akan mematikan
benih-benih demokrasi.
Ketiga,
watak elitis dari gerakan prodemokrasi berimbas kepada pendekatan selanjutnya
dalam mengelola proses perubahan. Gerakan prodemokrasi lebih mengandalkan
pendekatan yang elitis berupa tekanan-tekanan terhadap elite politik baik
melalui forum public discourse, memobilisasi massa untuk memberikan pressure
pada kebijakan yang dianggap tidak adil, dan pendekatan-pendekatan yang lebih
personal tetapi mengabaikan konstituensi yang sebenarnya mempunyai kepentingan
terhadap suatu masalah yang sedang diperjuangkan.
Pendekatan
elitis dalam melakukan agenda perubahan dengan menempatkan sebagai posisi lawan
bila berhadapan dengan masyarakat politik yang mempunyai otoritas dalam
pengambilan keputusan menjadi tidak efektif. Misalnya kasus-kasus korupsi yang
telah dibongkar oleh berbagai komponen masyarakat dan kemudian menjadi lebih
transparan setelah dijadikan diskusi terbuka di media massa, tetapi begitu
kasus tersebut masuk lembaga penegak hukum atau lembaga peradilan kasus
tersebut menjadi tidak jelas ujung pangkalnya.
Menghadapi
tantangan yang sedemikian besar, apakah masyarakat sipil mempunyai kekuatan
untuk menanggulanginya? Untuk menjawab pertanyaan itu mungkin perlu sedikit
menengok ke belakang mengenai keberadaan masyarakat sipil di Indonesia.
Sepanjang sejarah politik Indonesia modern, eksistensi masyarakat sipil di
Indonesia mengalami pasang surut. Keberadaan serta perannya berbanding terbalik
dengan tingkat kontrol negara terhadap masyarakat. Semakin ketat kontrol negara
terhadap aktivitas masyarakat semakin kecil peranan dan eksistensi masyarakat
sipil. Sebaliknya, semakin demokratis suatu negara semakin berkembang dan
signifikan peranan masyarakat sipil.
Dengan
mencermati secara singkat pasang surut dan perkembangan historis keberadaan
masyarakat sipil, sangat jelas bahwa masyarakat sipil mempunyai peran dan
kontribusi yang sangat besar dalam proses demokrasi. Bila hal itu dikaitkan
dengan konteks kehidupan politik dewasa ini dan arah perkembangan politik ke
depan, maka dalam menyusun strategi penguatan masyarakat sipil pertama-tama
perlu ditekankan bahwa perjuangan melawan rezim diktator berbeda dengan
perjuangan mewujudkan kehidupan demokrasi.
Kekuatan
masyarakat sipil ternyata telah mampu menjatuhkan sistem kekuasan yang
otoriter. Tetapi masyarakat sipil karena watak dan ruang lingkup perjuangannya
tidak begitu mudah mewujudkan demokrasi. Sebab, mengukir demokrasi secara
mutlak memerlukan pembangunan institusi politik baru yang dapat menopang
demokrasi serta mengembangkan kultur demokrasi. Khususnya budaya patronage
politik dan mental serta paradigma baru yang menempatkan pemimpin adalah hamba
atau pelayan rakyat dan bukan satrio piningit apalagi tuan atau ratu adil yang
dengan tuahnya dapat mengubah Indonesia menjadi surga. Oleh karena itu
perjuangan masyarakat sipil ke depan perlu dilakukan melalui suatu kerangka
strategi sebagai berikut.
Pertama,
melakukan assesment terhadap masalah yang paling mendasar yang dihadapi bangsa
dalam masa transisi dewasa ini. Pembacaan terhadap proses politik selama lebih
kurang sembilan tahun terakhir ini, masalah yang sangat fundamental adalah
justru perilaku masyarakat politik yang korup dan kolutif adalah penyebab utama
proses reformasi terancam gagal. Oleh sebab itu gerakan nasional perlu
melakukan identifikasi terhadap mereka yang akan duduk dalam lembaga-lembaga
politik dan negara. Selain itu kontrol terhadap mereka harus secara
terus-menerus dilakukan.
Kedua,
masyarakat sipil perlu melakukan konsolidasi ideologi dan jaringan sehingga
efek dari suatu gerakan akan lebih besar. Dalam hal ini, hubungan dan
komunikasi antara pusat dan daerah sangat diperlukan. Selain itu
pengorganisasian konstituensi berbasis kepentingan dan organisasi massa,
seperti buruh, petani, nelayan, perlu dilakukan. Kedua, para aktivis
prodemokrasi agar bersedia berjuang juga dalam tataran political society. Terus
terang harus diakui bahwa medan perjuangan ini cukup berat karena para aktivis
dihadapkan kepada dua lawan utama, yaitu pertama kekuatan konservatif yang
tetap menginginkan struktur kekuasaan otoritarian. Kedua, melawan diri sendiri
terhadap godaan politik yang mungkin sangat menggiurkan.
Ketiga, gerakan prodemokrasi bekerja sama dengan elite
politik dalam proses kebijakan publik tetapi tidak ikut menjadi bagian dari
masyarakat politik (cooperation without cooptation). Hal itu dapat dilakukan
dengan membentuk forum diskusi secara lebih permanen untuk membicarakan dan
merumuskan rencana kebijakan yang dianggap cukup strategis.
Dengan mencermati perkembangan politik selama lebih kurang
sembilan tahun dapat diproyeksikan bahwa politik Indonesia ke depan akan sangat
diwarnai oleh pertarungan antara masyarakat sipil dan masyarakat politiknya
(civil society vis a vis political society). Peran masyarakat sipil akan
semakin berkurang sejalan dengan pembangunan lembaga-lembaga politik yang dapat
menopang bangunan demokrasi serta kultur politik demokratis yang akan
memberikan roh bagi kehidupan demokrasi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
penjelasan panjang di atas, kami dapat menyimpulkan bahwa pada dasarnya
demokrasi di Indonesia sampai saat ini belum berjalan sesuai dengan apa yang
diinginkan masyarakat. Demokrasi seakan dikekang oleh keinginan-keinginan para
elit politik yang “bermain” atas nama seluruh rakyat. Namun kenyataannya,
mereka justru menyengsarakan rakyat demi kepentingan pribadi dan golongannya.
Untuk itu
peran masyakat sipil (civil society) sangat dibutuhkan, dalam memperbaiki
proses demokrasi di Indonesia. Masyarakat harus ikut mengawasi jalannya proses
demokrasi, agar hak-hak rakyat tidak terabaikan oleh para pemimpin bangsa dan
elit politik.
B. Saran
1.
Kepada seluruh lapisan masyarakat, hendaknya
ikut mengawasi dan berperan aktif dalam proses demokrasi.
2.
Kepada para politikus, jangan jadikan demokrasi
untuk meraup keuntungan pribadi yang dapat merugikan masyarakat
3.
Kepada pemerintah, hendaknya mengeluarkan
peraturan perundang-undangan yang betul-betul dapat menjadi pegangan yang kuat
dan berpihak kepada rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
Budiman, 2008. Demokrasi di
Indonesia. www.wikipedia.com. Diakses Tanggal 22 Oktober 2008.
Damayanti,
2008. Sejarah Perkembangan Demokrasi.
www.google.co.id. Diakses Tanggal 22 Oktober 2008
Khaerul,
2008. Demokrasi. www.google.co.id.
Diakses Tanggal 22 Oktober 2008.
Sutrisno,
2007. Proses Demokrasi di Indonesia. www.yahoo.com.
Diakses Tanggal 23 Oktober 2008.
Triyadi,
2008. Demokrasi dan Implikasinya pada
Pengembangan Lembaga Legislatif. www.google.co.id.
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL
KATA
PENGANTAR .................................................................................................. i
DAFTAR
ISI ............................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A.
Latar Belakang ....................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah .................................................................................. 2
BAB
II PEMBAHASAN ......................................................................................... 3
A.
Pengertian Demokrasi ............................................................................ 3
B.
Perkembangan Demokrasi di Indonesia ................................................ 4
C.
Demokrasi Sebagai Pengalaman Kultural ............................................ 11
D.
Peran Civil Society .............................................................................. 14
BAB
III PENUTUP ................................................................................................. 19
A.
Kesimpulan .......................................................................................... 19
B.
Saran .................................................................................................... 19
DAFTAR
PUSTAKA ................................................................................................ 20
Demikianlah materi tentang Makalah Demokrasi yang sempat kami berikan. semoga materi yang kami berikan dan jangan lupa juga untuk menyimak materi seputar Makalah Tax Amnesty (Kebijakan Pengampunan Pajak) yang telah kami posting sebelumnya. Semoga dapat membantu menambah wawasan anda semikian dan terimah kasih.
Anda dapat mendownload Makalah diatas dalam Bentuk Document Word (.doc) melalui link berikut.
EmoticonEmoticon