Makalah Hukum Pidana - Jika dalam postingan ini, anda kurang mengerti atau susunanya tidak teratur, anda dapat mendownload versi .doc makalah berikut :
Makalah Hukum Pidana
Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT.
Yang telah melimpahkan segala rahmat, taufiq serta inayahnya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan makalah yang merupakan menjadi komponen penilaian dalam perkuliahan
Hukum Pidana. Adapun tema yang kami
angkat adalah berkaitan dengan Konsep Dasar Perbuatan Pidana, penulis menyadari
sepenuhnya penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna baik dalam isinya
maupun dalam penyajianya, berkat dorongan dan bimbingan dari semua pihak maka
penulisan makalah ini dapat terselesaikan.
Semoga karya
sederhana ini layak untuk dijadikan sumber rujukan dalam mengkaji Ilmu Hukum khususnya
di bidang Hukum Pidana. Dan memberikan
kontribusi praktis maupun akademik bagi internal civitas akademik Universitas
Muslim Indonesia, utamanya bagi Fakultas Hukum, Jurusan Ilmu Hukum, Dan tak
dipungkiri bagi semua golongan. Semua kebenaran dalam makalah adalah semata
dari Allah SWT dan miliknya, sedangkan segala kesalahan kekurangan semata dari
keterbatasan kami.
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb.
Makassar, 30 Mei 2015
Penyusun,
Hukum adalah sebuah
aturan mendasar dalam kehidupan masyarakat yang dengan hukum itulah terciptanya
kedamaian ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat. Perbuatan pidana merupakan
suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana,
Perbuatan pidana (tindak pidana/delik) dapat terjadi kapan saja dan dimana
saja. Berbagai bentuk tindak kejahatan terus berkembang baik modus
maupun skalanya, seiring berkembangnya suatu masyarakat dan daerah seiring juga
perkembangan sektor perekonomian demikian pula semakin padatnya populasi
penduduk maka perbenturan berbagai kepentingan dan urusan diantara komunitas
tidak dapat dihindari. Berbagai motif tindak pidana dilatarbelakangi berbagai
kepentingan baik individu maupun kelompok.
Tindak pidana (delik),
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diberi batasan sebagai berikut ; “Perbuatan
yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap
undang-undang; tindak pidana”. .Dalam teori yang diajarkan dalam ilmu
hukum pidana latar belakang orang melakukan tindak pidana/delik dapat
dipengaruhi dari dalam diri pelaku yang disebut indeterminisme maupun dari luar diri pelaku yang disebut determinisme. Dalam makalah ini akan
membahas mengenai cara merumuskan perbuatan pidana, jenis-jenis dalam tindak
pindana serta subjek tindak pidana itu sendiri.
1.
Bagaimana cara
merumuskan perbuatan pidana?
2.
Sebutkan jenis-jenis
tindak pidana ?
3.
Siapa saja subjek
tindak pidana ?
1.
Untuk memahami cara
merumuskan perbuatan pidana;
2.
Untuk mengetahui
jenis-jenis tindak pidana;
3.
Untuk mengetahui subjek
tindak pidana.
LANDASAN TEORI
Didalam KUHP, juga
didalam Perundang-undangan pidana yang lain. Tindak pidana dirumuskan
didalam pasal-pasal. Perlu diperhatikan
bahwa di bidang hukum pidana kepastian hukum atau lex certa merupakan
hal yang esensial, dan ini telah ditandai oleh asas legalitas pada pasal 1 ayat
1 KUHP. Untuk benar-benar yang apa yang diamaksudkan didalam pasal-pasl itu
masih diperlukan penafsiran.
Dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana di
Negara-negara civil law lainnya, tindak pidana umumnya di rumuskan dalam
kodifikasi. Namun demikian, tidak terdapat ketentuan dalam KUHP maupun
peraturan perundang-undangan lainnya, yang merinci lebih lanjut mengenai cara
bagaimana merumuskan suatu tindak pidana.
Dalam buku II dan III KUHP Indonesia terdapat berbagai cara atau teknik perumusan
perbuatan pidana (delik), yang menguraikan perbuatan melawan hukum yang
dilarang atau yang diperintahkan untuk dilakukan, dan kepada barangsiapa yang
melanggarnya atau tidak menaatinya
diancam dengan pidana maksimum. Selain unsur-unsur perbuatan yang dilarang dan
yang diperintahkan untuk dilakukan dicantumkan juga sikap batin yang harus
dipunyai oleh pembentuk delik agar ia dapat dipidana.
Teknik
yang paling lazim digunakan untuk merumuskan delik menurut jonkers (terjemahan
Bina Aksara 1987 : 136-137) ialah dengan menerangkan atau menguraikannya,
misalnya rumusan delik menurt pasal 279, 281, 286, 242 KUHP. Cara yang kedua
ialah pasal undang-undang tertentu menguraikan unsur-unsur perbuatan pidana,
lalu ditambahkan pula kualifikasi atau sifat dan gelar delik itu, misalnya
pemalsusan tulisan (pasal 263 KUHP), pencurian (pasal 362 KUHP), penggelapan
(pasal 372 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP). Cara yang ketiga ialah pasal
undang-undang tertentu hanay menyebut kualifiasi (sifat, gelar) tanpa uraian
unsur-unsur perbuatan lebih lanjut. Uraian unsur-unsur delikd diserahkan kepada
yurisprudensi dan doktrin. Misalnya, perdagangan perempuan dan perdagangan
laki-laki yang belum cukup umur (minderjarige), pengania (pasal 351
KUHP). Kedua pasal tersebut tidak menjelaskan arti perbuatan tersebut, menurut
teori dan yurisprudensi, penganiayaan diartikan sebagai “ menimbulkan mestapa
atau derita atau rasa sakit pada orang lain pada orang lain.
Dalam
KUHP terdapat 3 dasar pembedaan cara dalam merumuskan tindak pidana :
1.
Dari
Sudut Cara Pencantuman Unsur-Unsur Dan Kualifikasi Tindak Pidana.
Dari
sudut ini, maka dapat dilihat bahwa setidak-tidaknya ada 3 cara perumusan,
ialah:
·
Mencantumkan
Unsur Pokok, Kualifikasi dan Ancaram Pidana.
Cara
pertama ini adalah merupakan cara yang paling sempurna. Cara ini diguanakan
terutama dalam hal merumuskan tindak pidana dalam bentuk pokok/standard, dengan
mencantumkan unsur-unsur objektif maupun unsur subyektif, misalnya pasal: 338
(pembunuhan), 362 (pencurian), 368 (pemerasan), 372 (penggelapan), 378
(penipuan), 406 (perusakan).
Dalam
hal tindak pidana yang tidak masuk dalam kelompok bentuk standard diatas, juga
ada tindak pidana lainnya yang dirumuskan secara sempurna demikian dengan
kualifikasi tertentu, misalnya 108 (pemberontakan).
Dimaksudkan
unsur pokok atau unsur esensiel adalah berupa unsur yang membentuk pengertian
yuridis dari tindak pidana tertentu. Unsur-unsur ini dapat dirinci secara
jelas, dan untuk menyatakan seseorang bersalah melakukan tindak pidana tersebut
dan menjatuhkan pidana, maka semua unsur itu harus dibuktikan dalam
persidangan.
·
Mencantumkan
Semua Unsur Pokok Tanpa Kualitatif Dan Mencantumkan Ancaman Pidana.
Cara
inilah yang paling banyak digunakan dalam merumuskan tindak pidana dalam KUHP.
Tindak pidana yang menyebutkan unsur-unsur pokok tanpa menyebut kualitatif,
dalam praktek kadang-kadang terhadap suatu rumusan diberi kualifikasi tertentu,
misalnya terhadap tindak pidana pada pasal 242 di beri kualifikasi sumpah
palsu, stellionat (305), penghasutan (160), laporan palsu (220), membuang anak
(305), pembunuhan anak (341), penggelapan oleh pegawai negri (415).
·
Mencantumkan
Kaulifikasi dan Ancaman Pidana
Tindak
pidana yang dirumuskan dengan cara ini adalah yang paling sedikit. Hanya
dijumpai pada pasal tertentu saja. Model perumusan ini dapat dianggap sebagai
perkecualian. Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara yang sangat singkat ini
dilatarbelakangi oleh semua ratio tertentu, misalnya pada kejahatan
penganiayaan (351). Pasal 351 (1) dirumuskan dengan sangat singkat yakni,
penganiayaan (mishandeling) diancam dengan pidala penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2.
Dari
Sudut Titik Beratnya Larangan
Dari
sudut titik beratnya larangan maka dapat diberikan pula antara merumuskan
dengan cara formil (pada tindak pidana formil) dan dengan cara materiil (pada
tindak pidana materiil).
I.
Dengan
Cara Formil
Perbuatan
pidana yang dirumuskan secara formil disebut dengan tindak pidana formil
(formeel delict). Disebut dengan cara formil karena dalam rumusan dicantumkan
secara tegas perihal larangan melakukan perbuatan tertentu. Jadi yang menjadi
pokok larangan dalam rumusan itu adalah melakukan perbuatan yang melawan hukum
tertentu. Apabila dengan selesainya tindak pidana, maka jika perbuatan yang
menjadi larangan itu selesai dilakukan, maka tindak pidana itu selesai pula,
tanpa bergantung pada akibat yang timbul dari perbuatan yang melawan hukum
tersebut. Misalnya pasal 362 KUHP merumuskan kelakuan yang dilarang yaitu
mengambil barang yang seluruhnya atau sebagiannya kepunyaan orang lain. Namun
kelakuan mengambil saja tidak cukup untuk memidana seseorang, diperlukan pula
keadaan yang menyertai pengambilan itu “adanya maksud pengambilan untuk
memilikunya dengan melawan hukum”.
Unsur tindak pidana ini dinamakan unsur melawan hukum
yang subyektif, yaitu kesengajaan pengambilan barang itu diarahkan ke perbuatan
melawan hukum, sehingga menjadi unsur objektif bagi para sarjana hukum yang
berpendapat monitis terhadap tindak pidana, atau merupakan unsur actus reus,
criminal act, perbuatan kriminal bagi yang perpendapat dualisasi
terhadap tindak pidana.
II.
Dengan
Cara Materiil
Tindak
pidana yang dirumuskan dengan cara materiil disebut dengan tindakan pidan
materiil (materieel delict). Perumusan perbuatan pidana dengan cara materiil
maksudnya ialah perbuatan pidana yang perumusannya menitikberatkan pada akibat
yang ditimbulkan dari perbuatan pidana tersebut, sedangkan wujud dari perbuatan
pidananya tidak menjadi persoalan. Dan
diancam dengan pidana oleh undang-undang. Misalnya pada pasal 338
(pembunuhan) yang menjadi larangan ialah menimbulkan akibat hilangnya nyawa orang
lain, sedangkan wujud dari perbuatan menghilangkan nyawa (pembunuhan) itu
idaklah menjadi persoalan, apakah dengan menembak, meracuni dan sebagainya.
Dalam
hubungannya dengan selesainya perbuatan pidana, maka untuk selesinya perbuatan
pidana bukan bergantung pada selesainya wujud berbuatan, akan tetapi bergantung
pada apakah dari wujud perbuatan pidana itu akaibatnya telah timbul apa belum.
Jika wujud perbuatan telah selesai, namun akibatnya belum timbul, maka
perbuatan pidana itu belum selesai, yang terjadi adalah percobaannya.
3.
Dari
Sudut Pembedaan Tindak Pidana Antara Bentuk Pokok, Bentuk Yang Lebih Berat Dan
Yang Lebih Ringan
I.
Perumusan
Dalam Bentuk Pokok
Jika
dilihat dari sudut sistem pengelompokan atau pembedaan perbuatan pidana antara
bentuk standar (bentuk pokok) dengan bentuk yang diperberat dan bentuk yang
lebih ringan, juga cara merumuskannya dapat dibedakan antara merumuskan
perbuatan pidana dalam bentuk pokok dan dalam bentuk yeng diperberat dan atau
yeng lebih ringan.
Dalam
hal bentuk pokok pembentukan UU selalu merumuskan secara sempurna, yaitu dengan
mencantumkan semua unsur-unsurnya secara lengkap. Dengan demikian rumusan
bentuk pokok ini adalah merupakan pengertian yuridis dari tindak pidana itu.
Misalnya pasal 338, 362, 378, 369, 406.
II.
Perumusan
Dalam Bentuk Yang Diperingan dan yang Diperberat
Rumusan
dalm bentuk yang lebih berat dan atau lebih ringan dari perbuatan pidana yang
bersangkutan, unsur-unsur bentuk pokoknya tidak diulang kembali atau dirumuskan
kembali, melainkan menyebut saja pasal bentuk pokok (misalnya: 364, 373, 379)
atau kualifikasi bentuk pokok (misalnya: 339, 363, 365). Kemudian menyebutkan
unsur-unsur yang menyebabkan diperingan atau diperberatnya perbuatan pidana
itu.
Cara
yang demikian dapat diterima, mengingat merumuskan perbuatan pidana prinsip
penghematan kata-kata (ekonomis) namun tegas dan jelas tetap harus dipegang
teguh.
·
Jenis-Jenis Tindak Pidana
Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar
tertentu, yaitu:
1.
Menurut
sistem KUHP
Di
dalam KUHP yang berlaku di Indonesia sebelum tahun 1918 dikenal kategorisasi
tiga jenis peristiwa pidana yaitu:
a.
Kejahatan
(crims)
b.
Perbuatan buruk (delict)
c.
Pelanggaran
(contravenrions)
Menurut
KUHP yang berlaku sekarang, peristiwa pidana itu ada dalam dua jenis saja yaitu
“misdrijf” ( kejahatan) dan “overtreding” (pelanggaran). KUHP
tidak memberikan ketentuan syarat-syarat untuk membedakan kejahatan dan
pelanggaran. KUHP hanya menentukan semua yang terdapat dalam buku II adalah
kejahatan, sedangkan semua yang terdapat dalam buku III adalah pelangaran.
2.
Menurut
cara merumuskannya:
Tindak
pidana dibedakan anatara tindak pidana formil (formeel delicten) dan
tindak pidana materiil (materieel delicten)
Tindak pidana formil itu adalah tindak pidana yang perumusannya
dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang. Delik tersebut telah selesai
dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik.
Misal : penghasutan (pasal 160 KUHP), di muka umum menyatakan perasaan kebencian, permusuhan atau penghinaan kepada salah satu atau lebih golongan rakyat di Indonesia (pasal 156 KUHP); penyuapan (pasal 209, 210 KUHP); sumpah palsu (pasal 242 KUHP); pemalsuan surat (pasal 263 KUHP); pencurian (pasal 362 KUHP).
Misal : penghasutan (pasal 160 KUHP), di muka umum menyatakan perasaan kebencian, permusuhan atau penghinaan kepada salah satu atau lebih golongan rakyat di Indonesia (pasal 156 KUHP); penyuapan (pasal 209, 210 KUHP); sumpah palsu (pasal 242 KUHP); pemalsuan surat (pasal 263 KUHP); pencurian (pasal 362 KUHP).
Tindak pidana materiil adalah tindak pidana yang perumusannya
dititikberatkan kepada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). tindak
pidana ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah
terjadi. Kalau belum maka paling banyak hanya ada percobaan. Misal : pembakaran
(pasal 187 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP). Batas
antara delik formil dan materiil tidak tajam misalnya pasal 362.
3.
Berdasarkan
bentuk kesalahannya: Dibedakan antara tindak pidana sengaja (doleus delicten)
dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten)
Tindak pidana sengaja (doleus delicten) adalah tindak pidana yang dalam rumusannya
dilakukan dengan kesengajaan atau ada unsur kesengajaan. Sementara itu tindak
pidana tidak sengaja (culpose delicten)
adalah tindak pidana yang dalam rumusannya mengandung unsur kealpaan yang unsur
kesalahannya berupa kelalaian, kurang hati-hati, dan tidak karena kesengajaan.
Contohnya:
Delik kesengajaan: 362 (maksud), 338 (sengaja), 480
(yang diketahui) dll
Delik culpa: 334 (karena
kealpaannya), 359 (karna kesalahannya).
Gabungan (ganda): 418, 480 dll
4.
Berdasarkan
macam perbuatannya: Dapat dibedakan antara tindak pidana aktif/positif dapat
juga disebut tindak pidana komisi (delicta commissionis) dan tindak
pidana pasif/negatif, disebut juga tindak pidana omisi (delicta omissionis).
Tindak pidana aktif (delicta commisionis) adalah
tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif (positif). Perbuatan
aktif (disebut perbuatan materiil) adalah perbuatan
yang untuk mewujudkan disyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat.
Perbuatan aktif ini terdapat baik dalam tindak pidana yang dirumuskan secara
formil maupun materiil. Sebagian besar tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP
adalah tindak pidana aktif.
Berbeda dengan tindak pidana pasif, dalam tindak
pidana pasif, ada suatu kondisi dan atau keadaan tertentu yang mewajibkan
seseorang dibebani kewajiban hukum untuk berbuat tertentu, yang apabila tidak
dilakukan (aktif) perbuatan itu, ia telah melanggara kewajiban hukumnya. Di
sini ia telah melakukan tindak pidana pasif. Tindak pidana ini dapat disebut
juga tindak pidana pengabaian suatau kewajiban hukum. Misalnya pada
pembunuhan 338 (sebenarnya tindak pidana aktif), tetapi jika akibat matinya itu
di sebabkan karna seseorang tidak berbuat sesuai kewajiban hukumnya harus ia
perbuat dan karenanya menimbulkan kematian, seperti seorang ibu tidak mnyusui
anaknya agar mati, peruatan ini melanggar pasal 338 dengan seccara perbuatan
pasif.
Contohnya:
Delik Aktif: 338, 351, 353, 362 dll.
Delik Pasif: 224, 304, 338 (pada ibu menyusui), 522.
5.
Berdasarkan
saat dan jangka waktu terjadinya: Maka dapat dibedakan antara tindak pidana
terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung
lama/berlangsung terus.
Tindak pidana yang terjadi dalam waktu yang seketika
disebut juga dengan aflopende delicten. Misalnya
pencurian (362), jika perbuatan mengambilnya selesai, tindak pidana itu menjadi
selesai secara sempurna.
Sebaliknya, tindak pidana yang terjadinya berlangsung
lama disebut juga dengan voortderende
delicten. Seperti pasal (333), perampasan kemerdekaan itu berlangsung lama,
bahkan sangat lama, dan akan terhenti setelah korban dibebaskan/terbebaskan.
Contohnya:
Delik terjadi seketika: 362,338 dll.
Delik berlangsung terus: 329, 330, 331, 333 dll.
6.
Berdasarkan
sumbernya: Dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus.
Tindak
pidana umum adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh setiap orang
sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana khusus adalah tindak pidana yang
hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu. Contoh tindak pidana khusus
adalah dalam Titel XXVIII Buku II KUHP : kejahatan dalam jabatan yang hanya
dapat dilakukan oleh pegawai negeri.
Contohnya:
Delik umum: KUHP.
Delik khusus: UU No. 31 th 1999 tentang
tindak pidana korupsi, UU No. 5 th 1997 tentang psikotropika, dll.
7.
Dilihat
dari sudut subjek hukumnya: Dapat dibedakan antara tindak pidana communia (delicta
communia) yang dapat dilakukan siapa saja dan tindak (pidana propia) dapat
dilakukan hanya oleh orang yang memiliki kualitas pribadi tertentu.
Jika dilihat dari sudut subjek hukumnya, tindak pidana
itu dapat dibedakan antara tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang
(delictacommunia ) dan tindak pidana
yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu (delicta propria).
Pada umumnya, itu dibentuk untuk berlaku kepada semua
orang. Akan tetapi, ada perbuatan-perbuatan tertentu yang hanya dapat dilakukan
oleh orang-orang yang berkualitas tertentu saja.
Contohnya:
Delik communia: pembunuhan (338), penganiayaan (351,
dll.
Delik propria: pegawai negri (pada kejahatan jabatan),
nakhoda (pada kejahatan pelayaran) dll.
8.
Berdasarkan
perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan: maka dibedakan antara tindak
pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan ( klacht
delicten).
Tindak pidana biasa adalah tindak pidana yang untuk
dilakukannya penuntutan pidana tidak disyaratkan adanya aduan dari yang berhak.
Sedangkan delik aduan adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan
pidana disyaratkan adanya aduan dari
yang berhak.
Contohnya:
Delik biasa: pembunuhan (338) dll.
Delik aduan: pencemaran (310), fitnah (311), dll.
9.
Berdasarkan
berat dan ringannya pidana yang diancamkan: Maka dapat dibedakan antara tindak
pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten) tindak pidana yang diperberat
(gequalificeerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan (gepriviligieerde
delicten).
Tindak pidana yang ada pemberatannya, misal : penganiayaan yang menyebabkan
luka berat atau matinya orang (pasal 351 ayat 2, 3 KUHP), pencurian pada waktu
malam hari dsb. (pasal 363). Ada delik yang ancaman pidananya diperingan karena
dilakukan dalam keadaan tertentu, misal : pembunuhan kanak-kanak (pasal 341
KUHP). Delik ini disebut “geprivelegeerd delict”. Delik sederhana; misal :
penganiayaan (pasal 351 KUHP), pencurian (pasal 362 KUHP).
10.
Berdasarkan
kepentingan hukum yang dilindungi: Maka tindak pidana terbatas macamnya
bergantung dari kepentingan hukum yang dilindungi seperti tindak pidana
terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsusan,
tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain sebagainya
11.
Dari
sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan antara
tindak pidana tunggal (enklevoudige delicten) dan tindak pidana
berangkai (samengestelde delicten).
Tindak pidana tunggal adalah tindak pidana yang
terdiri atas satu perbuatan yang hanya dilakukan sekali saja. Contoh pasal 480
KUHP (Penadahan). Sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana bersusun adalah
delik yang terdiri atas beberapa perbuatan. Contohnya adalah dalam pasal 481
KUHP : kebiasaan menyimpan barang-barang curian, contoh ini juga disebut gewoonte
delicten (delik kebiasaan) yang mungkin atau biasa dilakukan oleh tukang
rombengan/loak.
Terkait
dengan subjek tindak pidana perlu dijelaskan, pertanggungjawaban pidana
bersifat pribadi. Artinya, barangsiapa melakukan tindak pidana, maka ia harus
bertanggung jawab, sepanjang pada diri orang tersebut tidak ditemukan dasar
penghapus pidana. Selanjutnya, dalam pidana dikenal juga adanya konsep
penyertaan (deelneming). Konsep penyertaan ini berarti ada dua orang
atau lebih mengambil bagian untuk mewujudkan atau melakukan tindak pidana.
Menjadi persoalan, siapa dan bagaimana konsep pertanggung jawaban pidana, dalam
hukum pidana kualifikasi pelaku (subjek) tindak pidana diatur dalam Pasal 55-56
KUHP.
Dalam
KUHP terdapat lima bentuk yang merupakan subjek tindak pidana, yaitu sebagai
berikut.
·
Mereka
yang melakukan (dader). Satu orang atau lebih yang melakukan tindak
pidana.
·
Menyuruh
melakukan (doen plegen). Dalam bentuk menyuruh-melakukan, penyuruh tidak
melakukan sendiri secara langsung suatu tindak pidana, melainkan (menyuruh)
orang lain.
·
Mereka
yang turut serta (medeplegen). Adalah seseorang yang mempunyai niat sama
dengan niat orang lain, sehingga mereka sama-sama mempunyai.
·
Penggerakan
(uitlokking). Penggerakan atau dikenal juga sebagai Uitlokking unsur
perbuatan melakukan orang lain melakukan perbuatan dengan cara memberikan/
menjanjikan sesuatu, dengan ancaman kekerasan, penyesatan menyalahgunakan
martababat dan kekuasaan beserta pemberian kesempatan, sebagaimana diatur dalam
KUHP Pasal 55 ayat 1 angka 2.
·
Pembantuan
(medeplichtigheid). Pada pembantuan pihak yang melakukan membantu
mengetahui akan jenis kejahatan yang akan ia bantu.
Sebagaimana diuraikan
terdahulu, bahwa unsur pertama tindak pidana itu adalah perbuatan orang, pada
dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana itu manusia (naturlijke personen).
Ini dapat disimpulkan berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
1.
Rumusan delik dalam
undang-undang lazim dimulai dengan kata-kata : “barang siapa yang …….”. Kata
“barang siapa” ini tidak dapat diartikan lain
selain dari pada “orang”.
2.
Dalam pasal 10 KUHP
disebutkan jenis-jenis pidana yang dapat dikenakan kepada tindak pidana, yaitu
:
1)
Pidana pokok :
Ø pidana mati
Ø pidana penjara
Ø pidana kurungan
Ø pidana denda, yang dapat diganti dengan pidana kurungan
2)
Pidana tambahan :
Ø pencabutan hak-hak tertentu
Ø perampasan barang-barang tertentu
Ø dimumkannya keputusan hakim
Sifat dari pidana tersebut adalah sedemikian rupa, sehingga pada dasarnya
hanya dapat dikenakan pada manusia.
3.
Dalam pemeriksaan
perkara dan juga sifat dari hukum pidana yang dilihat ada / tidaknya kesalahan
pada terdakwa, memberi petunjuk bahwa yang dapat dipertanggungjawabkan itu
adalah manusia.
4.
Pengertian kesalahan
yang dapat berupa kesengajaan dan kealpaan itu merupakan sikap dalam batin
manusia.
Menurut asas-asas hukum pidana Indonesia, badan hukum tidak dapat
mewujudkan tindak pidana. Hoofgerechtshof van N.I. dahulu di dalam arrestnya
tanggal 5 Agustus 1925 (jonkers. 1946: 11) menegaskan dengan alasan bahwa
hukum pidana Indonesia dibentuk berdasarkan ajaran kesalahan Individual. Sistem
hukum pidana Indonesia tidak memungkinkan penjatuhan pidana denda kepada
koorporasi, oleh karena pihak yang dijatuhi pidana denda diberikan pilihan
untuk menggantinya dengan pidana kurungan atau pengganti dengan denda (pasal 30
(1), (2), (3) dan (4) KUHP).
A.
Kesimpulan
Menurut saya, kasus pencurian dengan kekerasan
ini tergolong pada Tindakn pidana
berkualifikasi dan formil, karena tindak pidana ini terjadi karena adanya
pelanggaran pada larangan yang dimuat dalam undang–undang (KUHP pasal 362 dan
365 ayat (1) dan (2) ). Pada kasus pencurian dasar (Pokok), pelaku dapat
dituntut maksimal hukuman penjara lima tahun, akan tetapi pada kasus pencurian
ini pelaku melakukan tindakan kekerasan kepada pemilik rumah sehingga keenam
pelaku dapat dijerat pasal 365 KUHP dengan hukuman penjara maksimal dua belas
tahun. Para pelaku pada kasus di atas dianggap cakap hukum, sadar akan
perbuatannya yang melawan hukum dan bertanggungjawab penuh terhadap
perbuatannya, sehingga tidak ada alasan penghapusan pidana. Hukuman yang tepat
diberikan pada mereka, selain merujuk kepada pasal – pasal dalam KUHP, akan
disesuaikan juga dengan keyakinan hakim dan yurisprudensi pada kasus ini.
B.
Saran
Dalam Penulisan makalah ini, kami menyadari masih banyak terdapat
kekurangan, kekeliruan dan kesalahan. Untuk itu kepada pembaca kami mohon
kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Abidin, Zainal. 2007, Hukum
Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika.
Chazawi, Adami. 2002, Pelajaran Hukum Pidana bagian I,
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
C.S.T. Kansil dan Christine. 2007, Pokok-Pokok
Hukum Pidana, Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Huda Chairul. 2006, Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju
Kepada Tiada Pertanggung jawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta: PT.
Kencana.
Prasetyo Teguh. 2011, Hukum
Pidana, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
R. Soesilo. 1991, KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA(KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi
Pasal, Bogor : Politea.
R. Sugandhi, 1980, KUHP
dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional.
Demikianlah materi tentang Makalah Hukum Pidana yang sempat kami berikan. semoga materi yang kami berikan dan jangan lupa juga untuk menyimak materi seputar Makalah Hukum Islam yang telah kami posting sebelumnya. semoga materi yang kami berikan dapat membantu menambah wawasan anda semikian dan terimah kasih. Semoga dapat membantu menambah wawasan anda semikian dan terimah kasih.
Anda dapat mendownload Makalah diatas dalam Bentuk Document Word (.doc) melalui link berikut.
EmoticonEmoticon