Makalah Kurban Dan Akikah - Jika dalam postingan ini, anda kurang mengerti atau susunanya tidak teratur, anda dapat mendownload versi .doc makalah berikut :
Makalah Kurban Dan Akikah
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang senantiasa melimpahkan rahmat dan ridhanya, sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah materi mata kuliah Fiqh 2 yang berjudul “Kurban dan Akikah”. Makalah ini berisikan uraian kurban dan akikah mulai dari
pengertian, hukum, hingga hikmah dengan referensi berbagai kitab klasik maupun
buku kontemporer.
Tidak lupa, kami mengucapkan rasa terima kasih kepada
Bapak Dr.
H. Muhammad Asrori, M.Ag selaku dosen
pembimbing kami dalam pembelajaran mata kuliah Fiqh 2, serta kepada teman-teman
yang telah memberikan dukungan kepada kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Harapan terdalam kami, semoga penyusunan makalah ini bisa
bermanfaat bagi kita semua serta menjadi tambahan informasi dan ilmu dalam
mengamalkan kurban dan akikah di kehidupan bermasyarakat.
Kami menyadari jika dalam menyusun makalah ini masih banyak
hal yang belum terlampirkan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan
saran yang konstruktif guna menyusun makalah yang lebih baik. Demikian makalah
ini kami susun, apabila ada kata-kata yang kurang berkenan dan banyak terdapat
kekurangan, kami mohon maaf. Semoga bermanfaat. Amin.
Malang, 6 September
2016
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 1
C. Tujuan Masalah .......................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 3
A. Kurban ....................................................................................................... 3
1. Pengertian Kurban dan Syariatnya ...................................................... 3
2. Syarat-Syarat Berkurban ...................................................................... 7
3. Waktu Berkurban ................................................................................. 8
4. Hewan Kurban dan Sifatnya ............................................................. 12
5. Usia Hewan yang Sah untuk
Berkurban ............................................ 15
6. Adab Berkurban ................................................................................. 20
7. Hukum Memakan Daging Kurban dan
Pendistribusiannya ............... 25
8. Hikmah Disyariatkan Berkurban ........................................................ 27
B. Akikah ...................................................................................................... 28
1. Pengertian Akikah dan Hukumnya .................................................... 28
2. Jenis, Usia, dan Sifat Hewan yang
Sah untuk Akikah ...................... 30
3. Waktu Berakikah ................................................................................ 34
4. Hukum Daging dan Kulit Hewan
Akikah ......................................... 38
5. Hikmah Disyariatkan Akikah ............................................................. 38
BAB III PENUTUP ............................................................................................ 40
A. Kesimpulan .............................................................................................. 40
B. Saran ........................................................................................................ 40
SKEMA PEMBAHASAN .................................................................................. 41
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 42
BAB 1
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Ibadah qurban dan aqiqah yaitu
dua ibadah dalam islam yang terkait dengan penyembelihan binatang. Kedua
ibadah ini terkadang dikesankan sama, padahal diantara keduanya terdapat
banyak perbedaan, terutama tentang ketentuan-ketentuan dasarnya. Dalam agama Islam terdapat ajaran
penyembelihan hewan kurban dan akikah. Penyembelihan hewan kurban dilakukan
pada Hari Raya Idul Adha dan hari tasyrik. Adapun akikah dilaksanakan pada hari
ketujuh dalam kelahiran seorang bayi. Hukum menyembelih hewan kurban dan akikah
adalah sunah Muakadah (mendekati wajib), yaitu sunah yang dianjurkan. Penyembelihan
hewan kurban dan akikah harus sesuai dengan ketentuan yang telah diajarkan oleh
Rasulullah SAW, karena penyembelihan yang tidak sesuai dengan syareat islam
adalah haram. Beberapa
dari ketentuan kedua ibadah ini akan dijabarkan dalam pembahasan qurban dan aqiqah.
2.
Rumusan Masalah
a.
Apa pengertian kurban dan akikah?
b.
Bagaimana syariat kurban dan akikah dalam
Islam?
c.
Apa saja syarat-syarat berkurban dan berakikah?
d.
Kapan waktu berkurban dan berakikah?
e.
Hewan apa yang dapat dikurbankan maupun
diakikahkan serta bagaimana sifatnya?
f.
Berapa usia hewan yang sah untuk berkurban
dan berakikah?
g.
Bagaimana adab berkurbandan berakikah?
h.
Bagaimana hukum memakan daging kurban maupun
akikah?
i.
Bagaimana sistem pendistribusian daging
kurban dan akikah?
j.
Apa hikmah dibalik disyariatkannya berkurban
dan berakikah?
3.
Tujuan Masalah
a.
Mengetahui seluk-beluk kurban dan akikah
serta penerapan ilmunya dalam kehidupan nyata bermasyarakat.
b.
Menjawab pertanyaan publik mengenai kurban
dan akikah
c.
Mengetahui perbedaan pendapat di kalangan ulama
ahli fikih mengenai kurban dan akikah
d.
Menyadari adanya hikmah yang dapat diambil
dari disyariatkannya kurban dan akikah dalam Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kurban
1.
Pengertian Kurban dan Syariatnya
Qurban merupakan salah satu ibadah yang asal
muasalnya dari kisah Nabi Ibrahim ‘alayhis salam dan Nabi Isma’il ‘alayhis
salam, hal ini diabadikan oleh Allah Subahanhu wa Ta’alaa didalam Al-Qur’an:
فَلَمَّا
بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ
فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن
شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ. فَلَمَّا أَسْلَمَا
وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ. وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ. قَدْ صَدَّقْتَ
الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ. إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاء
الْمُبِينُ. وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur
sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah
apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang
yang sabar. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan
anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah
dia: "Hai Ibrahim,. sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu
sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat
baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak
itu dengan seekor sembelihan yang besar”. (QS. Ash-Shaaffat 37 : 102-107)
Ibadah penyembelihan hewan qurban itu dikenal
juga dengan istilah udh-hiyah ( أضحیة ) sebagai bentuk jamak dari bentuk tunggalnya dhahiyyah (ضحیة). Dalam istilah yang baku, hewan-hewan qurban disebut dengan
hewan adhahi ( أضاحي ),
yaitu hewan yang disembelih untuk ibadah ritual pada tanggal 10 Zulhijjah
setelah usai shalat ‘Idul Adha hingga tanggal 13 Dzulhijjah (Hari Tasyri’)
Qurban bahasa arabnya adalah الأضحية (al-udhiyah) diambil dari kata أَضْحَى (adh-ha). Makna أَضْحَى (adh-ha) adalah permulaan siang setelah terbitnya matahari dan
dhuha yang selama ini sering kita gunakan untuk sebuah nama sholat, yaitu
sholat dhuha di saat terbitnya matahari hingga menjadi putih cemerlang.
Adapun الأضحية (al-udhiyah / qurban) menurut syariat adalah sesuatu yang
disembelih dari binatang ternak yang berupa unta, sapi dan kambing untuk
mendekatkan diri kepada Allah yang disembelih pada hari raya Idul Adha dan Hari
Tasyrik. Hari Tasyrik adalah hari ke 11, 12, dan 13 Dzulhijah.
Imam Zakariyya Al Anshori didalam Fathul
Wahab bi-syarhi Minhajith Thullab mengatakan : “Udlhiyyah adalah apa-apa
yang disembelih dari binatang ternak yang digunakan untuk mendekatkan diri
kepada Allah sejak hari ‘Idun Nahr (10 Dzulhijjah) sampai akhir hari Tasyriq
(13 Dzulhijjah)”.
Dari pengertian ini, maka hewan qurban
hanya disembelih pada tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah, sebab dihari-hari
tersebut adalah hari suka cita dan makan-makan bagi umat Islam. Sehingga diluar
hari tersebut, maka itu bukan qurban, melainkan termasuk kategori shadaqah.
كُلُّ
أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ (رواه الدارقطنى و البيهقى)
“Semua
hari-hari Tasyriq adalah (waktu) menyembelih qurban” (HR. Ad-Daruquthni dan Al
Baihaqi didalam As-Sunanul Kubro)
·
Allah mensyariatkan kurban
dalam Firman-Nya:
فَصَلِّ
لِرَبِكَ وَانْحَر
Artinya: Maka Solatlah karena Tuhanmu dan
berqurbanlah (QS. Al Kautsar : 2)
ولكلّ
امةجعلنامنسكاليدكروااسم الله علي مارزقهم من بهيمة الانعام
Artinya : Dan Kami jadikan sembelihan untuk
seluruh umat supaya bisa berdzikir kepada Allah atas rizki yang telah diberikan
kepada mereka daripada hewan-hewan ternak
·
Dasar Hadits:
وخبر
الترمذي عن عائشة رضي الله عنهاانّ النبي صلىّ الله عليه وسلم قال:ماعمل ابن ادم
يوم النّحرمن عمل احبّ الي الله تعالي من اراقة الدّم انّها لتاتي يوم القيامة
بقرونها واظلا فيها وانّ الدّم ليقع من الله بمكان قبل ان يقع من الارض فطيّبوا
بهانفسا.
Khabar Turmudzi dari Aisyah RA : “
Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW, bersabda: tidak ada amalan yang dikerjakan oleh
ibnu Adam pada hari Idul Qurban yang lebih dicintai Allah SWT. Selain dari pada
mengalirkan darah (qurban). Sungguh yakin, hewan qurban pasti datang menjemput
tuannya pada hari kiamat dengan tanduk dan sepatunya. Dan sesungguhnya darah
sembelihan qurban yakni akan tiba disisi Allah sebelum menetes ke bumi, oleh
karena itu relakan jiwamu dengan qurbanmu.
·
Dasar Qaul Ulama
Dalam kitab Syarqowi disebutkan:
عظموا
ضحايكم فانّها علي الصراط مطاياكم
“Besarkan, agungkan qurbanmu maka
sesungguhnya qurban itu sebagai kendaraan bagimu atas jembatan menuju Syurga
(Syiroth).
Hukum menyembelih qurban menurut madzhab Imam
Syafi’i dan jumhur Ulama adalah sunnah yang sangat diharap dan dikukuhkan.
Ibadah Qurban adalah termasuk syiar agama dan yang memupuk makna kasih sayang
dan peduli kepada sesama yang harus digalakkan.
Dan
sunnah disini ada 2 macam :
1.
Sunnah ‘Ainiyah, yaitu :
Sunnah yang dilakukan oleh setiap orang yang mampu.
2.
Sunnah Kifayah, yaitu :
Disunnahkan dilakukan oleh sebuah keuarga dengan menyembelih 1 ekor atau 2 ekor
untuk semua keluarga yang ada di dalam rumah.
Hukum Qurban menurut Imam Abu Hanifah adalah
wajib bagi yang mampu. Perintah qurban datang pada tahun ke-2 (dua) Hijriyah.
Adapun qurban bagi Nabi Muhammad SAW adalah wajib, dan ini adalah hukum khusus
bagi beliau. Kapan qurban menjadi wajib dalam madzhab Imam Syafi’i dan jumhur
Ulama ?
Qurban
akan menjadi wajib dengan 2 hal :
1.
Dengan bernadzar, seperti:
Seseorang berkata: “Aku wajibkan atasku qurban tahun ini.” Atau “Aku bernadzar
qurban tahun ini.” Maka saat itu qurban menjadi wajib bagi orang tersebut.
2.
Dengan menentukan,
maksudnya: Jika seseorang mempunyai seekor kambing lalu berkata: “Kambing ini
aku pastikan menjadi qurban.” Maka saat itu qurban dengan kambing tersebut
adalah wajib.
Dalam hal ini sangat berbeda dengan ungkapan
seseorang: “Aku mau berkorban dengan kambing ini. “ Maka dengan ungkapan ini
tidak akan menjadi wajib karena dia belum memastikan dan menentukan. Dan sangat
berbeda dengan kalimat yang sebelumnya, yaitu “Aku jadikan kambing ini kambing
qurban.”
2.
Syarat-Syarat Berkurban
Syarat Orang Yang Berqurban :
a.
Seorang muslim / muslimah
b.
Usia baligh, Baligh
ada 3 tanda, yaitu : a. Keluar mani (bagi anak laki-laki dan perempuan)
pada usia 9 tahun hijriah. b. Keluar darah haid usia 9 tahun hijriah (bagi
anak perempuan). c. Jika tidak keluar mani dan tidak haid maka di tunggu
hingga umur 15 tahun. Dan jika sudah genap 15 tahun maka ia telah baligh dengan
usia yaitu usia 15 tahun Dan jika ada anak yang belum baligh maka tidak
diminta untuk melakukan kurban, akan tetapi sunnah bagi walinya untuk berqurban
atas nama anak tersebut.
c.
Berakal , maka orang gila
tidak diminta untuk melakukan kurban, akan tetapi sunnah bagi walinya untuk
berqurban atas nama orang gila tersebut.
d.
Mampu, Mampu disini
adalah punya kelebihan dari makanan pokok, pakaian dan tempat tinggal untuk
dirinya dan keluarganya di hari raya Idul Adha dan hari Tasyrik.
Maka bagi siapapun yang memenuhi
syarat-syarat tersebut, sunnah baginya untuk melakukan ibadah qurban.
3.
Waktu Berkurban
Terdapat perbedaan di kalangan fuqaha’
tentang awal dan akhir pelaksanan kurban, serta dalam haramnya berkurban pada
malam hari raya.
Namun fuqaha’ sepakat bahwa afdholnya
berkurban pada hari pertama sebelum tergelincirnya matahari, sebab itu adalah
sunnah, di dalam hadits Al-Bara’ ibn ‘Azib berkata Rasulullah saw bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ مَا نَبْدَأُ بِهِ فِي يَوْمِنَا هَذَا
أَنْ نُصَلِّيَ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ، مَنْ فَعَلَهُ فَقَدْ أَصَابَ
سُنَّتَنَا وَمَنْ ذَبَحَ قَبْلُ فَإِنَّمَا هُوَ لَـحْمٌ قَدَّمَهُ لِأَهْلِهِ
لَيْسَ مِنَ النُّسُكِ فِي شَيْءٍ
“Sesungguhnya yang pertama kali kita mulai pada hari ini adalah sholat.
Kemudian kita pulang lalu menyembelih hewan qurban. Barangsiapa berbuat
demikian maka dia telah sesuai dengan sunnah kami, dan barangsiapa yang telah
menyembelih sebelumnya maka itu hanyalah daging yang dia persembahkan untuk
keluarganya, tidak termasuk ibadah sedikitpun.” (Shohih Al-Bukhari no. 5545 dan
Shohih Muslim no. 1961)
"و وقت الذبح من وقت صلاة العيد إلى
غروب الشمس من آخر أيام التشريق."
“Dan waktu penyembelihan hewan kurban yakni mulai shalat idul
adha hingga terbenamnya matahari pada akhir hari tasyriq.”[1]
Dan berikut ini adalah perbedaan di kalangan
fuqaha’:
a.
Hanafiyah
قال الحنفية: يدخل وقت التضحية عند طلوع فجر
يوم الأضحى، ويستمر إلى قبيل غروب شمس اليوم الثالث، إلا أنه لا يجوز لأهل الأمصار
المطالبين بصلاة العيد الذبح في اليوم الأول إلا بعد أداء صلاة العيد، ولو قبل
الخطبة، أو بعد مضي مقدار وقت الصلاة في حال تركها لعذر. وأما أهل القرى الذين ليس
عليهم صلاة العيد، فيذبحون بعد فجر اليوم الأول.
Awal masuknya
pelaksanaan kurban dimulai dari terbitnya fajar dihari Ied Adha dan berakhir
hingga waktu sebelumnya sedikit tenggelamnya matahari ketiga , hanya saja tidak
diperbolehkan nagi penduduk kota yang dituntut menjalankan shalat Ied
menyembelih kurban dihari pertama kecuali setelah menjalankan shalat Ied
meskipun sebelum pelaksanaan khutbah. Sedang bagi yang meninggalkan shalat Ied
karena udzur setelah berjalannya waktu seukuran mengerjakan shalat, dan bagi
penduduk desa yang tidak dijumpai pelaksaan shalat Ied ditempatnya boleh
menyembelihnya setelah terbitnya fajar dihari pertama.[2]
Sedangkan
dalam redaksi yang lain, di antara syarat-syarat sahnya menyembelih
kurban adalah sesudah imam shalat dan berkhutbah. Namun, penduduk kampung sudah
boleh berkurban sesudah terbit fajar kedua.[3]
b.
Malikiyah
وقال المالكية : يبتدئ وقت التضحية لإمام صلاة
العيد بعد الصلاة والخطبة، فلو ذبح قبلها لم يجز. وغير الإمام يذبح في اليوم
الأول، بعد ذبح الإمام، أو مضي زمن قدر ذبح الإمام أضحيته إن لم يذبح الإمام، فإن
ذبح أحد قبل الإمام متعمداً لم يجزئه، ويعيد ذبح أضحية أخرى، وعليه فلا جزئ الذبح
قبل الصلاة، ولا قبل ذبح الإمام.
Bagi Imam shalat Ied
awal masuknya pelaksanaan kurban dimulai setelah ia rampung menjalani shalat
Ied beserta khutbahnya, bila ia menyembelih sebelumnya maka tidak
diperbolehkan, sedang bagi selain Imam pelaksanaan kurbannya selepas imam
menyembelih kurbannya atau setelah terlewatnya waktu ukuran pelaksanaan
penyembelihan kurbannya imam bila ia tidak berkurban, bila seseorang berkurban sebelum
imam menyembelih kurbannya maka tidak diperbolehkan. Dengan demikian
penyembelihan sebelum dilaksanakan shalat Ied dan sebelum imam menyembelih
kurbannya maka tidak diperbolehkan.[4]
Sesuai hadits Nabi saw. yang artinya:
“Hadis riwayat Jundab bin Sufyan ra., ia berkata: Aku pernah berhari raya kurban bersama Rasulullah saw. Beliau
sejenak sebelum menyelesaikan salat. Dan ketika beliau telah menyelesaikan
salat, beliau mengucapkan salam. Tiba-tiba beliau melihat hewan kurban sudah disembelih sebelum beliau
menyelesaikan salatnya. Lalu beliau bersabda: Barang siapa telah menyembelih
hewan kurbannya sebelum salat (salat Idul Adha), maka hendaklah ia menyembelih
hewan lain sebagai gantinya. Dan barang siapa belum menyembelih, hendaklah ia
menyembelih dengan menyebut nama Allah. ” (Shahih Muslim No.3621)
c. Syafi’iyah
وقال الشافعية: يدخل وقت التضحية بمضي قدر
ركعتين وخطبتين خفيفات بعد طلوع شمس يوم النحر، ثم ارتفاعها في الأفق كرمح على
الأفضل وهو بدء وقت صلاة الضحى، فإن ذبح قبل ذلك لم تقع أضحية لخبر الصحيحين عن
البراء بن عازب المتقدم: «أول ما نبدأ به في يومنا هذا نصلي، ثم نرجع، فننحر
Awal masuknya pelaksanaan berkurban adalah telah
terlewatnya ukuran waktu dua rakaat dan dua khutbah ringan setelah terbitnya
matahari dihari kurban, kemudian bila pelaksanaannya saat matahari dicakrawala
meninggi sepenggalah (waktu yang biasanya awal shalat dhuha) adalah saat yang
utama, bila pelaksaan kurban sebelum waktu tersebut hewan kurbannya tidak
tergolong udhiyyah berdasarkan hadits riwayat al-barraa’ Bin ‘Aazib “Permulaan
pelaksanaannya dihari kami ini adalah saat kami shalat, kemudian pulang maka
kami mulai menyembelih” (HR. Bukhori-Muslim)
Demikian pula di dalam buku Fiqih Empat Madzhab yang
merupakan terjemahan Kitab Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-A’immah karya Syaikh
al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi disebutkan dengan redaksi
yang lain bahwa waktu penyembelihan hewan kurban adalah sejak terbit matahari
pada hari nahar (Idul Adha) dan telah berlalu kadar waktu shalat hari raya dan
dua khutbahnya, baik imam sudah shalat maupun belum. Sedangkan akhir waktu
bolehnya menyembelih kurban adalah hari tasyrik terakhir.
d. Hanbaliyah
وقال الحنابلة: يبدأ وقت الذبح من نهار الأضحى
بعد مضي قدر صلاة العيد والخطبتين في أخف ما يكون كما قال الشافعية، والأفضل أن
يكون الذبح بعد الصلاة وبعد الخطبة وذبح الإمام إن كان، خروجاً من الخلاف، لا فرق
في هذا بين أهل المصر وغيرهم.[5]
Waktu penyembelihan
kurban dimulai dihari kurban selepas waktu kira-kira pelaksanaan shalat Ied
dengan dua khutbahnya yang teringan sebagaimana kalangan Syafi’iyyah.
Yang paling utama
pelaksanaannya setelah dikerjakannya shalat Ied dan khutbah serta
menyembelihnya Imam pada kurbannya bila ia berkurban demi keluar dari pendapat
yang mewajibkannya. Dalam ketentuan tersebut tidak terdapat perbedaan antara
penduduk kota dan selainnya.
4.
Hewan Kurban dan Sifatnya
اتفق العلماء على أن الأضحية لا تصح إلا من
نَعَم: إبل وبقر (ومنها الجاموس( وغنم (ومنها المعز) بسائر أنواعها فيشمل الذكر
والأنثى. والخصي والفحل، فلا يجزئ غير النعم من بقر الوحش و غيره، والظباء وغيرها
لقوله تعالى:
(( ولكل
أمة جعلنا منسكاً ليذكروا اسم الله على ما رزقهم من بهيمة الأنعام))(الحج34)،ولم ينقل عنه صلى الله عليه وسلم ولا
عن أصحابه التضحية بغيرها[6]
Para Ulama Fiqh sepakat bahwa kurban tidak
diperbolehkan kecuali dengan binatang ternak yaitu : Unta, Sapi (termasuk
kerbau) dan kambing (termasuk kambing kacang) dengan segala jenisnya mencakup
ternak jantan atau betina, yang dikebiri atau menjadi pejantan.
Dengan demikian kurban tidak diperkenankan
memakai selain binatang ternak seperti sapi alasan (hutan), kijang dan
lain-lain berdasarkan firman Allah “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami
syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap
binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka” (QS. 22:34.)
Dan tidak diriwayatkan dari nabi Muhammad
shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat berkurban memakai selain
binatang ternak.
a.
Baqar (Sapi)
الْبَقَرُ : اسْمُ جِنْسٍ . قَال ابْنُ سِيدَهْ
: وَيُطْلَقُ عَلَى الأهْلِيِّ وَالْوَحْشِيِّ ، وَعَلَى الذَّكَرِ وَالأُنْثَى ،
وَوَاحِدُهُ بَقَرَةٌ ، وَقِيل : إِنَّمَا دَخَلَتْهُ الْهَاءُ لأنَّهُ وَاحِدٌ
مِنَ الْجِنْسِ . وَالْجَمْعُ : بَقَرَاتٌ ، وَقَدْ سَوَّى الْفُقَهَاءُ
الْجَامُوسَ بِالْبَقَرِ فِي الأحْكَامِ ، وَعَامَلُوهُمَا كَجِنْسٍ وَاحِدٍ) المصباح المنير ولسان العرب والقاموس المحيط في
المادة .
Al-Baqar (Sapi) adalah kata jenis, berkata Ibn Siidah
“Sapi diucapkan untuk menamai yang jinak maupun yang liar, jantan atau betina,
bentuk tunggalnya baqaratun dikatakan dalam kalimatnya terdapat ta’ karena
bentuk tunggal dari isim jinis, bentuk jamaknya baqaraatun.
Ulama Fuqaha menyamakan hukumnya dengan kerbau dan
menjadikan keduanya seperti satu jenis. (Mishbah al-Muniir, Lisaan al-‘Arab dan
Kamus al-Muhiith)[7]
b.
Binatang Ternak
الأنعام : يُراد بها الإبل والبقر ، وألحق بالبقر
الجاموس ، ولم يُذكَر لأنه لم يكُنْ موجوداً بالبيئة العربية ، والغنم وتشمل الضأن
والماعز
Yang dikehendaki dengan binatang ternak adalah unta, sapi
dan kambing (domba). Kerbau disamakan dengan sapi dalam
al-Quran tidak disebut karena binatang ini tidak terdapat dilingkuran arab.[8]
Hewan kurban yang sakit (cacat) sedikit tidak menghalangi
bolehnya dijadikan kurban. Tetapi jika cacatnya besar, maka tidak dibolehkan.
Hewan tua yang sudah tidak baik dagingnya, tidak sah
dijadikan kurban. Juga, hewan yang kudisan tidak boleh dijadikan kurban, karena
telah merusakkan dagingnya. Hewan yang buta dan cacat matanya tidak boleh
dijadikan kurban. Demikian menurut kesepakatan para imam madzhab.
Binatang yang tanduknya patah adalah makruh dipakai
kurban. Hanbali berpendapat: Tidak sah kurban dengan hewan yang patah
tanduknya.
Tidak sah berkurban dengan hewan yang pincang. Demikian
menurut pendapat Maliki dan Syafi’i. Hanafi berpendapat: Sah.
Menurut kesepakatan para ulama, binatang yang terpotong
telinganya tidak sah dipakai untuk kurban. Demikian pula, binatang yang
terpotong ekornya karena hilang sebagian dagingnya. Jika ekor tersebut hanya
sedikit saja terpotong, maka menurut pendapat Syafi’i yang paling kuat: Tidak
boleh.Sedangkan pendapat yang dipilih oleh para ulama Syafi’i kemudian: Boleh.
Hanafi dan Maliki berpendapat: Jika sedikit saja yang hilangnya maka boleh,
sedangkan jika banyak maka tidak boleh. Dari Hanbali diperoleh dua riwayat, di
antaranya adalah tidak boleh jika yang terpotong lebih dari sepertiganya.[9]
5.
Usia Hewan yang Sah untuk Berkurban
Para ulama –rahimahullah- sepakat bahwa
syari’at telah menentukan umur tertentu pada hewan kurban, yang tidak boleh
berkurban dengan binatang ternak yang berumur dibawah yang telah ditentukan.
Dan barang siapa yang berkurban dengan binatang di bawah umur, maka kurbannya
tidak sah.[10]
Ada beberapa hadits yang menunjukkan akan hal
itu, di antaranya adalah:
Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori (5556)
dan Muslim (1961) dari al Barra’ bin ‘Azib –radhiyallahu ‘anhuma- berkata:
Pamanku yang bernama Abu Burdah berkurban sebelum shalat, maka Rasulullah
bersabda kepadanya:
( شَاتُكَ شَاةُ لَحْمٍ ) . فَقَالَ : يَا
رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّ عِنْدِي دَاجِنًا جَذَعَةً مِنْ الْمَعَزِ . وفي رواية :
(عَنَاقاً جَذَعَةً ) .
وفي
رواية للبخاري ( 5563) ( فَإِنَّ عِنْدِي جَذَعَةً هِيَ خَيْرٌ مِنْ مُسِنَّتَيْنِ
آذْبَحُهَا ؟) قَالَ : ( اذْبَحْهَا ، وَلَنْ تَصْلُحَ لِغَيْرِكَ ) وفي رواية : ( لا تُجْزِئ عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ
) . ثُمَّ قَالَ : (
مَنْ
ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلاةِ فَإِنَّمَا يَذْبَحُ لِنَفْسِهِ ، وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ
الصَّلاةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ ، وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِينَ(
“Kambingmu kambing pedaging”. ia berkata:
“Wahai Rasulullah, saya mempunyai jadza’ah (usia 8-9 bulan) dari kambing”. dan
dalam sebuah riwayat: “jadza’ah dari kambing betina”. Dan dalam riwayat Bukhori
(5563) “Saya mempunyai jadza’ah dari kambing, itu lebih baik dari dua musinnah
(yang berumur 1 tahun) yang saya sembelih ?” beliau bersabda: “Sembelihlah,
namun tidak untuk selainmu”. dan dalam riwayat yang lain: “Hal itu tidak
dibolehkan untuk orang lain sesudahmu”. Kemudian beliau bersabda:
)مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلاةِ فَإِنَّمَا
يَذْبَحُ لِنَفْسِهِ ، وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلاةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ ،
وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِينَ(
“Barang siapa yang menyembelih sebelum shalat
maka ia menyembelih untuk dirinya sendiri, dan barang siapa yang menyembelih
setelah shalat maka ia telah menyempurnakan kurbannya, dan sesuai dengan sunnah
kaum muslimin”.
Di dalam hadits ini disebutkan bahwa jadza’ah
dari kambing belum boleh untuk berkurban. Arti Jadza’ah akan dijelaskan
selanjutnya.
Ibnul Qayyim dalam “Tahdzibus Sunan” berkata:
“ Sabda Rasulullah: “Hal itu tidak dibolehkan untuk orang lain sesudahmu”. Maka
larangan tersebut sifatnya qat’i, yaitu; tidak dibolehkan kepada selainnya.
Hadits yang lain, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Muslim 1963, dari Jabir –radhiyallahu ‘anhu- berkata:
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
) لا تَذْبَحُوا إِلا مُسِنَّةً إِلا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ
فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنْ الضَّأْنِ(
“Janganlah kalian menyembelih kecuali
musinnah (yang berumur satu tahun), dan jika kalian sulit mendapatkannya, maka
sembelihlah jadza’ah (antara usia 8-9 bulan) dari domba/biri-biri”.
Hadits ini juga menunjukkan dengan jelas
bahwa yang boleh disembelih adalah musinnah, kecuali untuk domba/biri
dibolehkan untuk menyembelih jadza’ah “.
An Nawawi dalam “Syarah Muslim” berkata:
“Para ulama berkata: “al Musinnah adalah yang
tanggal gigi serinya ke atas baik dari unta, sapi atau kambing, dari sini sudah
jelas bahwa tidak boleh sama sekali menyembelih jadza’ah kecuali dari
domba/biri-biri”.
Al Hafidz berkata:
“Yang jelas makna hadits tersebut menunjukkan
bahwa jadza’ah dari domba tidak boleh kecuali sulit mendapatkan yang berusia
musinnah. Sedangkan ijma’ menyangkalnya. Maka wajib di takwil dan fahami kepada
makna yang lebih utama, jadi yang dimaksud adalah disunnahkan untuk tidak
menyembelih kecuali musinnah (yang berumur satu tahun)”. Demikian pernyataan
Imam Nawawi dalam “Syarah Muslim” nya. [11]
Disebutkan dalam “ ‘Aunul Ma’bud”: “Takwil
ini adalah yang seharusnya dilakukan”.
Kemudian beliau menyebutan beberapa hadits
yang membolehkan menyembelih jadza’ah dari kambing untuk berkurban, di
antaranya adalah hadits ‘Uqbah bin ‘Amir –radhiyallahu ‘anhu- berkata:
(ضَحَّيْنَا مَعَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِجِذَعٍ مِنْ الضَّأْن ) أَخْرَجَهُ النَّسَائِيُّ (4382) . قَالَ
الْحَافِظ سَنَده قَوِيّ وصححه الألباني في صحيح النسائي
“Kami berkurban bersama Rasulullah
–shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan jadza’ah (usia 8-9 ulan ) dari domba”.
(HR. Nasa’i 4382. al Hafidz berkata: sandnya kuat, dan dishahihkan oleh al
Baani dalam “Shahih Nasa’i)
Disebutkan juga dalam “al Mausu’ah al
Fikhiyah” 5/83, ketika menyebutkan syarat-syarat berkurban:
Agar hewan kurban mencapai usia yang telah
ditentukan, yaitu; Tsaniyah (yang tanggal gigi serinya), atau di atasnya, baik
dari unta, sapi atau kambing. Jadza’ah (usia 8-9 bulan) dari kambing atau di
atasnya, tidak dibolehkan berkurban dengan hewan yang belum tanggal gigi
serinya kecuali kambing, juga tidak boleh jadza’ah kecuali kambing…. Syarat ini
sudah disepakati oleh para ulama, namun mereka berbeda pendapat pada penafsiran
makna Tsaniyah dan Jadza’ah.
Ibnu Abdil Bar –rahimahullah- berkata: “Saya
tidak mengetahui adanya perbedaan bahwa jadza’ah dari kambing atau hewan ternak
yang lain tidak boleh untuk berkurban kecuali domba, yang boleh untuk berkurban
adalah mulai tsaniyah (tanggal gigi serinya) ke atas dari semua hewan ternak.
Boleh jadza’ah dari domba dengan usia yang telah ditentukan”. (Tartib Tamhid:
10/267)
“Adalah merupakan konsensus umat, bahwa tidak
boleh berukurban dengan unta, sapi atau kambing kecuali tsaniyah (tanggal gigi
serinya), dan dengan domba kecuali jadza’ah (usia 8-9 bulan). Semua yang
disebutkan di atas boleh dilakukan kecuali pendapat sebagian rekan kami Ibnu
Umar dan Zuhri bahwasanya ia berkata: Jadza’ah dari domba tidak boleh. Dari
‘Atha’ dan Auzaa’i beliau menyatakan: Dibolehkan berkurban dengan jadza’ah dari
unta (usia 4 masuk 5 tahun), jadza’ah dari sapi (usia 2 masuk 3 tahun),
jadza’ah dari kambing atau domba (usia 8-9 bulan)”. [12]
Adapun usia yang menjadi syarat berkurban
para imam berbeda pendapat:
Jadza’ah dari domba/biri-biri: Yang berusia
genap 6 bulan menurut Hanafiyan dan Hanbaliyah. Sedangkan menurut Malikiyah dan
Syafi’iyah yang genap berusia satu tahun.
Musinnah (Tsaniyah) dari kambing: Yang
berusia genap satu tahun, menurut Hanafiyah, Malikiyah dan Hanbaliyah.
Sedangkan menurut Syafi’iyah: yang berusia genap dua tahun.
Musinnah dari sapi: Yang berusia genap dua
tahun menurut Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanbaliyah. Sedangkan menurut Malikiyah
adalah berusia tiga tahun.
Musinnah dari unta: Yang berusia genap lima
tahun menurut Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanbaliyah.
Baca: “Bada’ius Shana’i’ “ : 5/70, “Al Bahrur
Raiq”: 8/202, “At Taaju wal Iklil”: 4/363, “Syarh Mukhtashar Kholil”: 3/34, “al
Majmu’: 8/365, “al Mushni”: 13/368.
Syeikh Ibnu ‘Utsaimin –rahimahullah- berkata
dalam “Ahkam Udhhiyyah”:
“Tsaniy dari unta: yang berusia genap 5
tahun, tsaniy dari sapi yang berusia genap 2 tahun, tsaniy dari kambing yang
berusia genap 1 tahun. Sedangkan Jadza’ah adalah yang berusia genap ½ tahun.
Dan tidak sah kurbannya dengan hewan ternak di bawah usia tsaniy dari unta,
sapi atau kambing. dan di bawah usia jadza’ah dari domba”.
“Dalil-dalil syar’i telah menunjukkan bahwa
usia minimal dari domba/biri-biri adalah 6 bulan, dan dari kambing 1 tahun,
dari sapi usia 2 tahun, da dari unta usia 5 tahun, di bawah usai di atas tidak
boleh untuk hady (sembelihan haji) atau kurban. Inilah makna mustaisirun min
hady (sembelihan yang mudah didapatkan); karena dalil dari al Qur’an dan Hadits
satu sama lain menafsiri yang lainnya”. [13]
“Penyebutan usia hewan kurban tersebut di
atas adalah untuk mencegah kurangnya usia, bukan larangan untuk usia maksimal.
Bahkan jika seseorang berkurban dengan usia di bawahnya tidak dibolehkan, dan
jika berkurban dengan usia di atasnya boleh dan lebih utama. Juga tidak
dibolehkan untuk berkurban hewan ternak yang sedang bunting, peranakan kambing
yang jantan, anak sapi yang jantan dan anak unta; karena tidak termasuk dalam
usia yang telah ditentukan oleh syari’at sebagaimana yang kami sebutkan tadi”. [14]
Dengan demikian menjadi jelas bahwa
menyembelih sapi di bawah usia 2 tahun tidak satu pun para ulama
membolehkannya.
6.
Adab Berkurban
Adab berkurban mencakup tata cara dan sunnah berkurban
Tata Cara Berqurban
Pertama: dianjurkan untuk menajamkan pisau yang akan
digunakan untuk menyembelih.
عَنْ شَدَّادِ بْنِ
أَوْسٍ قَالَ ثِنْتَانِ حَفِظْتُهُمَا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
قَالَ « إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ
فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ
أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ ».
Dari
Syadad bin Aus, beliau berkata, “Ada dua hal yang kuhafal dari sabda Rasulullah
yaitu Sesungguhnya Allah itu mewajibkan untuk berbuat baik terhadap segala
sesuatu. Jika kalian membunuh maka bunuhlah dengan cara yang baik. Demikian
pula, jika kalian menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaknya
kalian tajamkan pisau dan kalian buat hewan sembelihan tersebut merasa senang”
(HR Muslim no 5167).
Kedua: penyembelih dianjurkan untuk menghadap kiblat dan
menghadapakan hewan sembelihan ke arah kiblat.
عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَأَنَّهُ
كَانَ إِذَا أَهْدَى هَدْيًا مِنْ الْمَدِينَةِ قَلَّدَهُ وَأَشْعَرَهُ بِذِي
الْحُلَيْفَةِ يُقَلِّدُهُ قَبْلَ أَنْ يُشْعِرَهُ وَذَلِكَ فِي مَكَانٍ وَاحِدٍ
وَهُوَ مُوَجَّهٌ لِلْقِبْلَةِ يُقَلِّدُهُ بِنَعْلَيْنِ وَيُشْعِرُهُ مِنْ
الشِّقِّ الْأَيْسَرِ ثُمَّ يُسَاقُ مَعَهُ حَتَّى يُوقَفَ بِهِ مَعَ النَّاسِ
بِعَرَفَةَ ثُمَّ يَدْفَعُ بِهِ مَعَهُمْ إِذَا دَفَعُوا فَإِذَا قَدِمَ مِنًى
غَدَاةَ النَّحْرِ نَحَرَهُ قَبْلَ أَنْ يَحْلِقَ أَوْ يُقَصِّرَ وَكَانَ هُوَ
يَنْحَرُ هَدْيَهُ بِيَدِهِ يَصُفُّهُنَّ قِيَامًا وَيُوَجِّهُهُنَّ إِلَى
الْقِبْلَةِ ثُمَّ يَأْكُلُ وَيُطْعِمُ
Dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar, adalah Ibnu Umar
jika membawa hadyu dari Madinah maka beliau tandai bahwa hewan tersebut adalah
hewan hadyu dengan menggantungkan sesuatu padanya dan melukai punuknya di
daerah Dzul Hulaifah. Beliau gantungi sesuatu sebelum beliau lukai. Dua hal ini
dilakukan di satu tempat. Sambil menghadap kiblat beliau gantungi hewan
tersebut dengan dua buah sandal dan beliau lukai dari sisi kiri. Hewan ini
beliau bawa sampai beliau ajak wukuf di Arafah bersama banyak orang kemudian
beliau bertolak meninggalkan Arafah dengan membawa hewan tersebut ketika banyak
orang bertolak. Ketika beliau tiba di Mina pada pagi hari tanggal 10 Dzulhijjah
beliau sembelih hewan tersebut sebelum beliau memotong atau menggundul rambut
kepala. Beliau sendiri yang menyembelih hadyu beliau. Beliau jajarkan onta-onta
hadyu tersebut dalam posisi berdiri dan beliau arahkan ke arah kiblat kemudian
beliau memakan sebagian dagingnya dan beliau berikan kepada yang lain (HR Malik
dalam al Muwatha’ no 1405).
عن نافع أن ابن عمر كان يكره أن يأكل ذبيحة ذبحه لغير
القبلة.
Dari Nafi’, sesungguhnya Ibnu Umar tidak suka memakan
daging hewan yang disembelih dengan tidak menghadap kiblat (Riwayat Abdur Razaq
no 8585 dengan sanad yang shahih).
عن ابن سيرين قال : كان يستحب أن توجه الذبيحة إلى
القبلة.
Dari Ibnu Sirin (seorang tabiin) beliau mengatakan,
“Dianjurkan untuk menghadapkan hewan sembelihan ke arah kiblat” (Riwayat Abdur
Razaq no 8587 dengan sanad yang shahih).
Riwayat-riwayat di atas dan yang lainnya menunjukkan
adanya anjuran untuk menghadapkan hewan yang hendak disembelih kea rah kiblat.
Namun jika hal ini tidak dilakukan daging hewan sembelihan tersebut tetap halal
dimakan. An Nawawi menyebutkan adanya
anjuran untuk membaringkan sapi dan kambing pada lambung kirinya. Dengan
demikian proses penyembelihan akan lebih mudah. Bahkan dalam al Mufhim 5/362,
al Qurthubi mengatakan bahwa membaringkan hewan yang hendak disembelih pada lambung
kirinya adalah suatu yang telah dipraktekkan kaum muslimin semenjak dahulu
kala.
Bahkan Ibnu Taimiyyah mengklaim tata cara seperti ini
sebagai salah satu sunnah Nabi. Beliau
berkata, “Hewan sembelihan baik hewan kurban ataupun yang lainnya hendaknya
dibaringkan pada lambung kiri dan penyembelih meletakkan kaki
kanannya di leher hewan tersebut sebagaimana yang terdapat dalam hadits
yang shahih dari Rasulullah. Setelah itu hendaknya penyembelih mengucapkan bismilah
dan bertakbir. Lengkapnya yang dibaca adalah sebagai berikut “Bismillahi
allahu akbar. Allahumma minka wa laka. Allahumma taqabbal minni kama taqabbalta
min Ibrahim khalilika”.
Barang siapa yang membaringkan hewan tersebut pada
lambung kanannya dan meletakkan kaki kirinya di leher hewan tersebut akhirnya
orang tersebut harus bersusah payah menyilangkan tangannya agar bisa
menyembelih hewan tersebut maka dia adalah seorang yang bodoh terhadap sunnah
Nabi, menyiksa diri sendiri dan hewan yang akan disembelih. Akan tetapi daging
hewan tersebut tetap halal untuk dimakan. Jika hewan tersebut
dibaringkan pada lambung kirinya maka lebih nyaman bagi hewan yang hendak
disembelih dan lebih memperlancar proses keluarnya nyawa serta lebih mudah
dalam proses penyembelihan. Bahkan itulah sunnah yang dipraktekkan oleh
Rasulullah dan seluruh kaum muslimin bahkan praktek semua orang. Demikian pula dianjurkan agar hewan yang hendak
disembelih tersebut dihadapkan ke arah kiblat” (Majmu Fatawa 26/309-310).
Ketiga: Dimakruhkan memotong leher hewan yang disembelih
عن نافع أن بن عمر كان لا يأكل الشاة إذا نخعت
Dari Nafi, sesungguhnya Ibnu Umar tidak mau memakan
daging kambing yang disembelih hingga lehernya terputus (Riwayat Abdur Razaq no
8591dengan sanad yang shahih).
عن بن طاووس عن أبيه قال لو أن رجلا ذبح جديا فقطع رأسه
لم يكن بأكله بأس
Dari Ibnu Thawus dari Thawus, beliau berkata, “Andai
ada orang yang menyembelih hewan hingga lehernya putus maka daging hewan
tersebut tetap boleh dimakan” (Riwayat Abdur Razaq no 8601 dengan sanad yang
shahih).
عن معمر قال سئل الزهري عن رجل ذبح بسيفه فقطع الرأس قال
بئس ما فعل فقال الرجل فيأكلها قال نعم
Dari Ma’mar, Az Zuhri –seorang tabiin- ditanya tentang
seorang yang menyembelih dengan menggunakan pedang sehingga leher hewan yang
disembelih putus. Jawaban beliau, “Sungguh jelek apa yang dia lakukan”. “Apakah
dagingnya boleh dia makan?”, lanjut penanya. “Boleh”, jawab az Zuhri (Riwayat
Abdur Razaq no 8600 dengan sanad yang shahih).
Tentang hal ini, ada juga ulama yang memberi rincian. Jika
dilakukan dengan sengaja maka dagingnya jangan dimakan. Akan tetapi jika tanpa
sengaja maka boleh. Di antara yang berpendapat demikian adalah Atha,
seorang ulama dari generasi tabiin.
عن عطاء قال إن ذبح ذابح فأبان الرأس فكل ما لم يتعمد
ذلك
Dari Atha’, beliau berkata, “Jika ada orang yang
menyembelih hewan hingga kepala terpisah dari badannya maka silahkan kalian
makan asalkan orang tersebut tidak sengaja” (Riwayat Abdur Razaq no 8599 dengan
sanad yang shahih).
Imam Ahmad pernah ditanya tentang masalah ini. Beliau
membenci perbuatan ini jika dilakukan dengan sengaja sebagaimana dalam Sualat
Abdullah bin Ahmad hal 260 no 980 dan 981. Demikian pula Imam Syafii membenci hal ini (al Hawi
15/87-91).[15]
Sunnah-sunnah Berqurban
Disunnahkan sewaktu menyembelih korban beberapa perkara berikut ini
·
Membaca “Bismillah Wallahu Akbar” dan Shalawat
atas Nabi s.a.w.
·
Orang yang berkurban sendiri disunnatkan
menyembelihnya, dan jika ia wakil
menyembelihkannya, maka disunnatkan ia hadir ketika menyembelih.
·
Berdoa supaya kurban diterima Allah.
Sunnat
membaca do’a :
بِسْمِ اَللَّهِ, اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ
وَآلِ مُحَمَّدٍ, وَمِنْ أُمّةِ مُحَمَّدٍ )
"Dengan nama Allah. Ya
Allah, terimalah (kurban ini) dari Muhammad, keluarganya, dan umatnya."
Kemudian beliau berkurban dengannya.”
·
Binatang yang disembelih disunnatkan dihadapkan ke kiblat[16]
7.
Hukum Memakan Daging Kurban dan
Pendistribusiannya
Dan cara pembagiannya
daging qurbannya
adalah dengan disunnahkan bagi orang yang berqurban
memakan daging qurban dan menghadiahkannya kepada para kerabat, dan
menyedekahkannya kepada orang-orang fakir. Rasulullah bersabda:
فَكُلُوْامِنْهَاوَاطْعِمُوْااْلبَائِسَ
الْفَقِيْرَ
“Maka makanlah
daripadanya beri makanlah orang-orang yang sangat fakir ”.
Dalam
kaitan ini para ulama mengatakan: Yang afdhal bahwa ia memakan sepertiga,
bersedekah sepertiga, dan menyimpan sepertiga. Daging qurban boleh diangkut
sekalipun ke Negara lain. Tetapi tidak boleh dijual, begitu juga kulitnya. Dan
tidak boleh memberi tukang potong daging sebagai upah. Tukang potong berhak
menerimanya sebagai imbalan kerja. Orang yang berqurban bersedekah dan boleh
mengambil daripadanya untuk dimanfaatkan. Menurut Abu Hanifah, bahwa boleh
menjual kulitnya dan bayarannya disedekahkan atau membelikannya barang yang
bermanfaat untuk rumah.[17]
Dalam
pembagian daging kurban masa sekarang tata caranya tidak jauh berbeda. Hanya
saja bentuk pendistribusiannya yang berbeda, pelaksanaan kurban cara baru,
yaitu melalui system kemasan (kornet). Lebih praktis dan tahan lama.
KH
Ma’ruf Amin, salah seorang pengurus PBNU, yang juga ketua Komisi Fatwa MUI
Pusat membolehkan pengiriman daging kurban siap saji (baca : dalam bentuk
kornet, dll), asalkan penyembelihan dilakukan pada masa hari tasyrik (tanggal
10 – 13 Dzulhijah).
Kornet dapat di-analog-kan
(dikategorikan) dalam iddikhar,menyimpan dalam waktu lebih dari
tiga hari, karena kebutuhan. Adapun syarat yang harus dipenuhi dalam
pendistribusian hewan kurban dalam bentuk kornet adalah sebagai berikut:
· Waktu
penyembelihan harus tetap pada hari Tasyriq (tanggal 10-13 Zulhijjah), yaitu
setelah Sholat Idul Adha s.d sebelum Maghrib tgl. 13 Zulhijjah.
Hadits Rasulullah SAW,”Setiap sudut kota
Makkah adalah tempat penyembelihan dan setiap hari-hari tayriq adalah [waktu]
penyembelihan.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, Al-Baihaqi, Thabrani, dan
Daruquthni).
Pendapat Imam Syafi’i mengenai masalah
ini ”Jika matahari telah terbenam pada akhir hari-hari tasyriq [tanggal
13 Zulhijjah], lalu seseorang menyembelih kurbannya, maka kurbannya tidak sah.”
·
Adanya hajat sebagai dasar penyimpanan daging kurban
lebih dari tiga hari.misalnya masih adanya kaum muslimin yang
miskin, menderita kelaparan, jarang makan daging, tertimpa bencana, dan
sebagainya.[18]
8. Hikmah Disyariatkan Berkurban
a. Taqqarub (medekatkan diri) kepada Allah
subhanahu wa ta'ala,karena Allah telah berfirman
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka shalatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah
(berqurban).”
b. Menghidupkan sunah imam ahli tauhid, Ibrahim
'alaihissalam ketika beliau diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih putranya
Ismail 'alaihissalam, kemudian Allah menggantinya dengan domba yang besar,
Allah berfirman:
وفديناه بذبح عظيم [الصافات:107].
“Dan kami
gantikan gengan sembelihan yang besar.”(Ash-Shaaffat: 107)
c. Berbagi kesenangan kepada orang fakir dan
miskin, dengan daging yang disedekahkan kepada mereka.
d. Merupakan bentuk syukur kepada Allah yang
telah menundukkan binatang ternak kepada kita. Allah berfirman:
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ
كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (36) لَن يَنَالَ اللَّهَ
لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِن يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنكُمْ كَذَلِكَ
سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ
الْمُحْسِنِينَ [الحج:37،36].
“Maka makanlah sebahagiannya dan beri
makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta)
dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukan unta-unta itu kepada
kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.Daging-daging unta dan darahnya itu
sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwan dari
kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkanya untuk
kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan
berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Hajj:36-37)
B. Akikah
1. Pengertian Akikah dan Hukumnya
Akikah merupakan kata dari Bahasa Arab yaitu
aqiqah yang memiliki arti potongan. Bentuk kata lainnya adalah (al-aqiq),
(al-aqiqah), (al-iqqah) berarti rambut yang tumbuh di kepala jabang bayi saat
dilahirkan.
Seperti perkataan Abu ‘Abid:
الأصل في العقيقة الشعر على المولود. و جمعها عقائق[19]
“Asal kata akikah adalah rambut yang tumbuh
diatas bayi yang lahir. Dan bentuk jamaknya adalah ‘aqaiq. ”
Imam Syaukani berpendapat bahwa akikah adalah
sembelihan untuk bayi. Sedang al-aqqu pada dasarnya bermakna asy-syaqqu
(memotong) dan al-qathu (memotong). Sembelihan itu dinamakan akikah karena
tenggorokannya (lehernya) dipotong.
Terkadang akikah berarti rambut sang bayi, arti inilah
yang digunakan Zamakhsyari sebagai arti dasar. Akikah juga berarti kambing
(yang disembelih) tetapi menurut Zamakhsyari ini bukan arti dasar.
"Aqqa an waladihi aqqan,"
artinya menyembelih kambing untuk anaknya pada hari ketujuh dari kelahirannya,
juga berarti mencukur rambut anaknya.
Sedangkan Akikah menurut syara berarti memotong
kambing dalam rangka mensyukuri kalahiran sang bayi yang dilakukan pada hari
ketujuh dari kelahirannnya sebagai salah satu sunnah Rasulullah Saw.
Praktek akikah sebetulnya sudah dilaksanakan oleh
masyarakat Arab sebelum datangnya risalah Muhammad Saw. Namun hanya berlaku
bagi bayi berjenis kelamin laki-laki. bahkan mereka melumuri kepala bayi dengan
darah kambing yang telah disembelih itu.
Setelah Rasulullah Saw diutus, praktek akikah
masih dilaksanakan, namun Nabi mengubah tradisi mereka yang tidak benar.
Hukum asal akikah adalah:
و الصحيح أنها سنة
مئكدة, و ذبحها أفضل من الصدقة بثمنها[20]
“Memang benar bahwa
akikah hukumnya sunnah muakkad, dan penyembelihannya lebih utama daripada
sedekah dengan harga hewan sembelihannya.”
Menurut pendapat
Maliki dan Syafi’i, akikah itu disyariatkan. Hanafi berpendapat: Akikah
dibolehkan, dan saya tidak berpendapat bahwa hal itu adalah sunnah. Dari
Hanbali diperoleh dua riwayat. Pertama, yang masyhur, yaitu disunnahkan. Kedua,
yang dipilih oleh sebagian ulama pengikutnya: Wajib hukumnya. Menurut pendapat
al-Hasan dan Dawud, akikah adalah wajib.[21]
2. Jenis, Usia, dan Sifat Hewan yang
Sah untuk Akikah
Tidak
ada perbedaan pendapat di kalangan ulama pendapat tentang masyru’-nya kambing
atau domba untuk ‘aqiqah. Boleh dari jenis jantan ataupun betina. Hal ini
didasarkan oleh hadits :
عن
أم كرز قالت سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول : عن الغلام شاتان وعن الجارية
شاة لا يضركم أذكرانا كن أم إناثا
Dari Ummu Kurz ia berkata : Aku mendengar
Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Untuk seorang anak laki-laki
adalah dua ekor kambing dan untuk anak perempuan adalah seekor kambing. Tidak
mengapa bagi kalian apakah ia kambing jantan atau betina”
Namun mereka berselisih pendapat tentang jenis hewan selain kambing atau domba (misalnya : onta atau sapi).
Namun mereka berselisih pendapat tentang jenis hewan selain kambing atau domba (misalnya : onta atau sapi).
a.
Jumhur ulama
membolehkannya.
Mereka berdalil dengan
beberapa hadits, diantaranya :
أن
أنس بن مالك كان يعق عن بنيه الجزور
”Bahwasannya
Anas bin Malik mengaqiqahi dua anaknya dengan onta”.
عن
أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من ولد له غلام فليعق عنه من
الإبل أو البقر أو الغنم
Dari
Anas bin Malik ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallam bersabda : ”Barangsiapa dikaruniai seorang anak laki-laki, hendaklah
ia beraqiqah dengan onta, sapi, atau kambing”.
Namun atsar ini tidak shahih.
Namun atsar ini tidak shahih.
Mereka
(jumhur) juga beralasan bahwa makna syaatun (شاة) dalam bahasa Arab bisa bermakna domba, kambing, sapi, unta,
kijang, dan keledai liar.
b.
Sebagian ulama tidak
membolehkannya, bahkan mereka menyatakan tidak sah ’aqiqah selain dari jenis
kambing atau domba.
Dalil mereka adalah
dalil-dalil yang telah disebutkan pada pembahasan di atas yang semuanya
menyebut dengan istilah domba atau kambing. Selain itu, mereka juga berdalil
dengan atsar berikut :
عن
يوسف بن ماهك قال دخلت أنا وبن مليكة على حفصة بنت عبد الرحمن بن أبي بكر وولدت
للمنذر بن الزبير غلاما فقلت هلا عققت جزورا على ابنك فقالت معاذ الله كانت عمتي
عائشة تقول على الغلام شاتان وعلى الجارية شاة
Dari
Yusuf bin Maahik ia berkata : ”Aku dan Ibnu Mulaikah masuk menemui Hafshah
binti ’Abdirrahman bin Abi Bakr yang saat itu sedang melahirkan anak dari
Mundzir bin Az-Zubair. Aku pun berkata: ’Mengapa engkau tidak menyembelih
seekor onta untuk anakmu ?’. Ia pun menjawab : ’Ma’aadzallah (aku berlindung
kepada Allah) ! Bibiku, yaitu ’Aisyah, pernah berkata : ”Untuk anak laki-laki
dua ekor kambing dan untuk anak perempuan seekor kambing”.
عن
عَبْدِ الْجَبَّارِ بْنِ وَرْدٍ الْمَكِّيُّ قَالَ سَمِعْت ابْنَ أَبِي مُلَيْكَةَ
يَقُولُ { نُفِسَ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ غُلَامٌ فَقِيلَ
لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ عُقِّي عَنْهُ جَزُورًا فَقَالَتْ مَعَاذَ
اللَّهِ وَلَكِنْ مَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ }
Dari
’Abdil-Jabbar bin Ward Al-Makkiy ia berkata : Aku mendengar Ibnu Abi Mulaikah
berkata : ”Ketika anak laki-laki ’Abdurrahman bin Abi Bakr lahir, ditanyakan
kepada ’Aisyah : ’Wahai Ummul-Mukminin, apakah boleh seorang anak laki-laki
di-’aqiqahi dengan seekor onta ?’. ’Aisyah menjawab : ’Ma’aadzallah, akan
tetapi sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : ’Dua ekor
kambing yang setara/sama’”.
عن
أم كرز وأبي كرز قالا نذرت امرأة من آل عبد الرحمن بن أبي بكر إن ولدت امرأة عبد
الرحمن نحرنا جزورا فقالت عائشة رضى الله تعالى عنها لا بل السنة أفضل عن الغلام
شاتان مكافئتان وعن الجارية شاة
Dari
Ummu Kurz dan Abu Kurz, mereka berdua berkata : ”Telah bernadzar seorang wanita
dari keluarga ’Abdurrahman bin Abi Bakr jika istrinya melahirkan anak, mereka
akan menyembelih seekor onta. Maka ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa berkata :
”Jangan, bahkan yang disunnahkan itu lebih utama. Untuk anak laki-laki dua ekor
kambing dan untuk anak perempuan seekor kambing”.
Dari
dua pendapat di atas, yang rajih menurut kami adalah pendapat kedua yang
menyatakan ketidakbolehan ’aqiqah selain dari jenis kambing atau domba.
Walaupun telah shahih riwayat dari Anas radliyallaahu ’anhu bahwasannya ia
menyembelih onta, namun itu tidak dapat dipertentangkan dengan hadits-hadits
Nabi shallallaahu ’’alaihi wasallam yang semuanya menyebutkan atau membatasi pada
jenis kambing atau domba saja. Apalagi telah shahih pengingkaran ’Aisyah
radliyallaahu ’anhaa tentang hal itu. ’Aqiqah merupakan satu bentuk ibadah yang
dalam pelaksanaannya bersifat tauqifiyyah (berdasarkan nash). Termasuk di
dalamnya adalah dalam penentuan jenisnya. Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallam tidak beraqiqah dengan selain kambing/domba, tidak pernah
memerintahkannya, dan tidak pernah pula memberikan taqrir (persetujuan) kepada
para shahabat. Oleh karena itu, sunnah beliau shallallaau ’alaihi wasallam
tidaklah bisa dibatalkan oleh ijtihad Anas bin Malik radliyallaahu ’anhu.
Adapun
alasan bahwa secara bahasa syaatun itu bisa bermakna pada selain kambing, maka
jawabannya : ”Pada asalnya kata syaatun itu jika diucapkan secara mutlak, maka tidak
ada makna lain kecuali kambing. Adapun makna selain kambing, maka ia adalah
makna secara majazy yang hanya bisa dipakai jika ada qarinah (keterangan) yang
menunjukkan pada makna tersebut. Oleh karena itu, Ibnul-Mandzur dalam
Lisaanul-’Arab berkata : ”Syaat adalah bentuk tunggal dari kambing, baik jantan
maupun betina. Dikatakan : Syaat adalah domba, kambing, kijang, sapi, onta, dan
keledai liar”.
Al-Hafidh
berkata :
ويذكر
الشاة والكبش على أنه يتعين الغنم للعقيقة.... وعندي أنه لا يجزئ غيرها
”Dan disebut asy-syaatun dan al-kabsyun
adalah untuk menentukan jenis kambing untuk ‘aqiqah..... Dan menurutku, tidak
boleh (untuk ’aqiqah) selain dari jenis kambing”.
3. Waktu Berakikah
Para ulama
sepakat bahwa yang disunnahkan dalam menyembelih hewan aqiqah adalah para hari
ketujuh, yaitu ketika seorang bayi telah berusia tujuh hari, terhitung sejak
dia lahir pertama kali di dunia ini.
Dasarnya
adalah beberapa hadits berikut ini :
كُلُّ
غُلاَمٍ رَهِيْنَةٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُسَمَّى
فِيْهِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ
Dari Samurah bin Jundub radhiyallahuanhu
bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Anak laki-laki tergadaikan dengan hewan
aqiqahnya, maka disembelihkan untuknya pada hari ke tujuh, diberi nama lalu
digunduli dan (HR. Abu Daud)
عَقَّ
رَسُولُ اللهِ عَنِ الحَسَنِ وَالحُسَيْنِ عَلَيْهِمَا السَّلاَمِ يَوْمَ
السَّابِعِ وَسَمَّاهُمَا
Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa Rasulullah
SAW menyembelihkan hewan aqiqah untuk Hasan dan Husain alaihimassalam pada hari
ketujuh dan memberi nama keduanya. (HR. Al-Baihaqi)
Namun para
ulama berbeda pendapat tentang boleh atau tidak bolehnya menyembelih aqiqah
bila waktunya bukan pada hari ketujuh.
Al-Malikiyah
Mazhab Al-Malikiyah menetapkan bahwa waktu untuk
menyembelih hewan aqiqah hanya pada hari ketujuh saja. Di luar waktu itu, baik
sebelumnya atau pun sesudahnya, menurut mazhab ini tidak lagi disyariatkan
penyembelihan. Artinya hanya sah dilakukan pada hari ketujuh saja.
Asy-Syafi’iyah
Pendapat mazhab Asy-Syafi’iyah lebih luas, karena mereka
membolehkan aqiqah disembelih meski belum masuk hari ketujuh. Dan mereka pun
membolehkan disembelihkan aqiqah meski waktunya sudah lewat dari hari ketujuh.
Dalam pandangan mazhab ini, menyembelih hewan aqiqah pada
hari ketujuh adalah waktu ikhtiyar. Maksudnya waktu yang sebaiknya dipilih.
Namun seandainya tidak ada pilihan, maka boleh dilakukan kapan saja.
Al-Hanbaliyah
Mazhab Al-Hanbaliyah berpendapat bahwa bila seorang ayah
tidak mampu menyembelih hewan aqiqah pada hari ketujuh dari kelahiran bayinya,
maka dia masih dibolehkan untuk menyembelihnya pada hari keempat-belas.
Dan bila pada hari keempat-belasnya juga tidak mampu
melakukannya, maka boleh dikerjakan pada hari kedua-puluh satu.
Ibnu Hazm menyebutkan bahwa tidak disyariatkan bila
menyembelih hewan aqiqah sebelum hari ketujuh, namun bila lewat dari hari
ketujuh tanpa bisa menyembelihnya, menurutnya perintah dan kewajibannya tetap berlaku
sampai kapan saja.
Sekedar catatan, Ibnu Hazm termasuk kalangan yang
mewajibkan penyembelihan hewan aqiqah. Sehingga karena dalam anggapannya wajib,
maka bila tidak dikerjakan, wajib untuk diganti atau diqadha’. Dan qadha’ itu
tetap berlaku sampai kapan pun.
Para ulama juga
berbeda pendapat tentang kapan yang utama dilakukan penyembelihan hewan aqiqah.
Sebagian ada
yang menqiyaskan dengan jam penyembelihan hewan udhiyah, yaitu pada waktu
Dhuha. Sebagian lainnya ada yang mengatakan bahwa lebih utama dikerjakan pada
saat matahari terbit.
Dan sebagian
yang lain tidak terlalu mempermasalahkan tentang jam penyembelihan. Dalam
pandangan mereka, hewan aqiqah silahkan dibolehkan dilakukan pagi hari di waktu
Dhuha, siang, sore bahkan malam hari sekali pun juga boleh.
Pendapat yang
terakhir ini barangkali yang lebih tepat, karena lebih meringankan, serta tidak
dasarnya harus disamakan atau diqiyaskan dengan ketentuan yang berlaku pada
penyembelihan hewan udhiyah.
Cara
Menghitung Waktu Berakikah
Para ulama sepakat
bahwa waktu yang paling utama dan tidak ada perbedaan pendapat untuk
menyembelih hewan aqiqah adalah hari ketujuh sejak kelahiran bayi. Namun mereka
berbeda pendapat ketika menetapkan cara menghitungnya. Apakah hari kelahiran
bayi ikut dihitung sebagai hari pertama, ataukah hitungan hari pertama jatuh
pada hari berikutnya.
a.
Cara
Al-Malikiyah
Al-Imam Malik menghitung hari pertama kelahiran bayi
adalah keesokan harinya atau sehari setelah hari kelahiran. Misalnya, seorang
bayi dilahirkan pada hari Selasa, maka hitungan hari pertama adalah Rabu, hari
kedua Kamis, hari ketiga Jumat, hari keempat Sabtu, hari kelima Ahad, hari
keenam Senin dan hari ketujuh adalah hari Selasa.
Maka waktu untuk menyembelih hewan aqiqah adalah hari
Selasa, yaitu hari yang sama dengan hari kelahiran bayi, seminggu kemudian.
Tetapi ada sedikit catatan, yaitu bila bayi lahir lewat
tengah malam sebelum terbit fajar, maka hari kelahirannya itu sudah mulai
dihitung sebagai hari pertama. Misalnya bayi lahir hari Selasa dini hari jam
02.00. Maka hari Selasa itu sudah dianggap hari pertama, sehingga hitungan hari
ketujuh akan jatuh di hari Senin dan bukan hari Selasa.
Pendapat Al-Imam Malik ini sejalan dengan pandanga para
ulama lain seperti Al-Imam An-Nawawi dan Al-Buwaithi dari mazhab
Asy-Syafi’iyah.
b.
Cara Ibnu Hazm
Sedangkan Ibnu Hazm berpendapat bahwa cara menghitungnya
adalah dengan menjadikan hari kelahiran sebagai hari pertama. Sehingga bila ada
bayi lahir di hari Selasa, maka hari pertama adalah Selasa, hari kedua Rabu,
hari ketiga Kamis, hari keempat Jumat, hari kelima Sabtu, hari keenam Ahad, dan
hari ketujuh adalah Senin.
Maka hewan aqiqah disembelih pada hari Senin dan bukan
hari Selasa.
Yang sejalan dengan pendapat Ibnu Hazm ini antara lain Ar-Rafi’i dari mazhab Asy-Syafi’iyah.
Yang sejalan dengan pendapat Ibnu Hazm ini antara lain Ar-Rafi’i dari mazhab Asy-Syafi’iyah.
Tabel
Untuk memudahkan kita memahami perbedaan cara perhitungan
dari keduanya, silahkan lihat tabel di bawah ini :
HARI
|
Malikiyah
|
Ibnu Hazm
|
Selasa
|
Hari 0 : LAHIR
|
Hari 1 :
LAHIR
|
Rabu
|
Hari 1
|
Hari 2
|
Kamis
|
Hari 2
|
Hari 3
|
Jumat
|
Hari 3
|
Hari 4
|
Sabtu
|
Hari 4
|
Hari 5
|
Ahad
|
Hari 5
|
Hari 6
|
Senin
|
Hari 6
|
Hari 7 :
AQIQAH
|
Selasa
|
Hari 7 : AQIQAH
|
-
|
Kedua pendapat itu muncul karena metode penghitungannya
berbeda. Dan sayangnya tidak ada dalil yang qath'i dari Al-Quran dan As-Sunnah
tentang contoh penghitungannya. Sehingga terjadi peluang perbedaan pendapat
dalam cara penghitungannya.
Satu lagi yang penting dicatat bahwa inti ritual aqiqah
bukan pada resepsi acaranya, melainkan pada penyembelihannya. Resepsi dan pesta
terserah mau dilakukan kapan saja, yang penting penyembelihannya itu sendiri.
Karena inti dari ritual aqiqah sebenarnya adalah menyembelih hewan dan bukan
pesta.
4. Hukum Daging dan Kulit Hewan
Akikah
Daging kambing aqiqah boleh di
makan oleh keluarga sendiri dan juga dibagikan sebagai sedekah kepada orang
lain baik dalam bentuk daging mentah atau sebagai sebuah hidangan menurut
jumhur ulama kecuali Malikiyah.
Dianjurkan untuk memisahkan
bagian hewan aqiqah pada persendiannya (jika memungkinkan) agar tidak
mematahkan tulangnya sebagai symbol optimisme harapan agar anggota tubuh bayi
juga sehat sempurna dan tidak mengalami kekurangan.
Untuk kulit dan kepala kambing
aqiqah juga tidak boleh di jual belikan namun hendaknya disedekahkan. Hal ini
menurut mayoritas ulama selain imam ahmad bin hambal dalam satu riwayat dari
beliau.
5. Hikmah Disyariatkan Akikah
·
Akikah
merupakan salah satu sunnah
Rasulullah Saw sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat yang telah Allah
berikan berupa kelahiran seorang anak.
·
Akikah merupakan kurban seorang hamba untuk
ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT sebagai ungkapan rasa senang
dan gembira karena memeroleh nikmat berupa kelahiran seorang anak.
·
Akikah
merupakan tebusan untuk menebus
sang bayi dari segala macam musibah dan malapetaka. Allah SWT menebus Isma'il
dengan seekor domba yang disembelih, sehingga peristiwa tersebut menjadi sunnah
(tradisi) yang masih dilaksanakan oleh anak cucu Isma'il. Ketika Rasulullah
diutus, sunnah tersebut tetap beliau lestarikan.
·
Akikah berfungsi untuk membuka ketertahanan
sang bayi sehingga ia dapat memberi syafaat kepada kedua orang tuanya.
Sebagaimana yang disebutkan dalam hadis Samurah. Akikah merupakan sebuah acara
keislaman yang mengandung nilai-nilai sosial.
·
Akikah
berfungsi juga sebagai sarana
untuk memperkuat ikatan kasih sayang antara individu anggota masyarakat Muslim,
melalui berkumpulnya mereka pada undangan pelaksanaan akikah dan mengucapkan
selamat kepada kedua orang tua bayi.
·
Akikah
merupakan sarana untuk
merealisasikan takaful ijtima'I (kepedulian sosial) yang akan membantu
terwujudnya keadilan dalam masyarakat. Karena dalam perayaan akikah orang-orang
berkumpul baik yang miskin, yang kaya, yang besar maupun yang kecil tanpa
mengistimewakan suatu golongan saja.
·
Akikah
merupakan simbol perwujudan
seruan Nabi yang mulia ketika beliau bersabda, "Sesungguhnya aku
membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat lain."
·
Akikah
merupakan bukti kebaikan orang
tua terhadap anaknya sehingga anak tersebut kelak dapat menjadi anak yang
berbakti dan dapat memberikan syafaat kepada orang tuanya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara garis besar, kurban dan
akikah memiliki persamaan, yakni menyembelih hewan ternak. Dan tujuannya sama-sama
untuk menjalankan syariat sekaligus bertaqarrub kepada Allah. Hanya saja motif
atau latar belakang dilaksanakannya kurban dan akikah berbeda. Jika kurban
karena ia adalah ibadah yang disyariatkan sebagai rasa syukur dan dilaksanakan
pada bulan Dzul Hijjah, sedangkan akikah disyariatkan untuk mewujudkan rasa
syukur sebab dikaruniai seorang anak.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa Allah
mensyariatkan sesuatu kepada manusia bersamaan dengan ketentuan dan perbedaan.
Perbedaan tersebutlah yang harus dipahami manusia sebagai suatu rahmat dan
bentuk kasih sayang Allah. Sebab banyak pelajaran berharga yang dapat kita
garis bawahi di dalam perbedaan.
B. Saran
Kami menyadari jika dalam menyusun makalah ini masih
banyak hal yang belum terlampirkan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang konstruktif guna menyusun makalah yang lebih baik.
Demikian makalah ini kami susun, apabila ada kata-kata yang kurang berkenan dan
banyak terdapat kekurangan, kami mohon maaf. Semoga bermanfaat. Amin.
SKEMA PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hushni, Taqiyyuddin Abu Bakar Muhammad.
2001. Kifayatul Akhyar. Beirut: Darun Ahya’ At-Turats Al-‘Arabiy
Alkaf , Abdullah Zaki. 2012. Fiqih Empat Mazhab.
Bandung: Hasyimi
Al-Qarni,
Aidh bin Abdullah. 2007. Hadits Pilihan. Jakarta: Darul Haq
Al-Qurthubi, Imam Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin
Rusyd. 1995, Syarah Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid.
Mesir: Darus Salam
Amar,
Imron Abu. 2002. Terjemahan Fathul Qarib al Mujiib karya Syaikh Syamsuddin
Abu Abdillah Muhammad bin Qasim As-Syafi’i. Kudus: Menara
Asrori,
Achmad Ma’ruf. 1998. Khitan dan Aqiqah, Surabaya: Al-Miftah
Az-Zuhaili, Dr. Wahbah. 2006. Al-Fiqh Ala Al-Islami Wa
Adillatuh. Beirut: Darul Fikr
Darajat,
Zakiah, 1995. Ilmu Fiqih, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf
Fauzan, Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Ali. 2007. Al-Mulakhas
Al-Fiqhiy, Dammam: Darun Ibn al-Jauziy
Qasim,
Rizal. 2005. Pengalaman Fiqih. Yogyakarta: PT. Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri
Rasjid, Sulaiman. 1954. Fiqih
Islam. Jakarta
: Attahiriyah
Sabiq, Sayyid. 1995.
Fikih Sunnah 13. Bandung: PT Alma’arif
Demikianlah materi tentang Makalah Kurban Dan Akikah yang sempat kami berikan. semoga materi yang kami berikan dan jangan lupa juga untuk menyimak materi seputar Makalah Beriman Kepada Qada’ dan Qadar yang telah kami posting sebelumnya. semoga materi yang kami berikan dapat membantu menambah wawasan anda semikian dan terimah kasih. Semoga dapat membantu menambah wawasan anda semikian dan terimah kasih.
Anda dapat mendownload Makalah diatas dalam Bentuk Document Word (.doc) melalui link berikut.
EmoticonEmoticon